Perbedaan Dakwah Bertahap dan Dakwah Merusak
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Setelah kemarin saya menulis bahwa shalawatan jedag-jedug dengan irama koplo yang disertai joget campur laki-laki dan perempuan adalah acara haram, maka tidak sedikit yang menolak dengan alasan hal tersebut adalah bagian dari dakwah secara bertahap seperti dicontohkan oleh Walisongo.
Sebenarnya yang belajar fikih pasti tahu bahwa alasan ini salah, tapi sebab orang awam banyak yang tidak memahami apa yang dimaksud dakwah secara bertahap dan apa bedanya dengan dakwah yang merusak, maka saya akan membahasnya di tulisan ini.
Dakwah memang harus dilakukan secara bertahap sebab biasanya objek dakwah tidak bisa langsung dipaksa berubah 180 derajat sempurna dalam satu waktu.
Namun yang dimaksud dengan bertahap adalah menarik sedikit-sedikit dari jalan yang salah ke jalan yang benar. Contohnya demikian:
1. Suatu masyarakat tidak pernah mau naik ke masjid sehingga masjid sepi. Mereka hobinya datang ke acara adu ayam.
Dalam rangka dakwah bertahap, masjid membuat undangan shalat berjamaah di saat waktu maghrib.
Di masjid juga disediakan kopi buat ngobrol habis maghrib. Hukum ngobrol dan ngopi di masjid tidak haram sehingga tidak mengapa dijadikan penarik masyarakat agar betah di masjid.
Meskipun jelas bahwa masjid bukan didirikan untuk tempat ngopi. Bila masyarakat sudah betah setelah maghrib, maka mereka diajak shalat isya berjamaah.
Secara bertahap kemudian diajak meramaikan masjid di lima waktu shalat. Ini yang disebut dengan dakwah bertahap.
Akan tetapi bila kemudian takmir mengundang masyarakat tersbut untuk lomba adu ayam di halaman masjid dengan alasan agar masyarakat mau ke masjid.
Maka ini bukan dakwah secara bertahap tapi dakwah yang merusak. Adu ayam adalah kegiatan haram sehingga tidak boleh diselenggarakan dengan alasan apa pun.
2. Suatu masyakarat gemar berjudi. Acara perjudian selalu ramai sedangkan acara kajian ilmu selalu sepi.
Akhirnya dalam acara kajian diberi hadiah bagi peserta paling aktif yang diberikan setelah acara.
Dengan itu masyarakat makin tertarik untuk ikut kajian dengan iming-iming hadiah.
Kemudian secara bertahap hadiahnya dapat dikurangi atau dihapus agar tidak memberatkan Sang Daí setelah masyarakat sadar akan manfaat ilmu yang mereka dapat. Ini yang disebut dengan dakwah bertahap.
Ada pun bila kajian ilmunya dicampur dengan acara judi dengan alasan agar ramai, maka itu bukan dakwah bertahap tapi dakwah yang merusak. Judi adalah haram diselenggarakan dengan alasan apa pun.
Dari dua contoh ini terlihat jelas perbedaan antara dakwah bertahap dengan dakwah yang merusak.
Dakwah bertahap artinya mengajak pelan-pelan ke arah yang benar sedangkan dakwah yang merusak justru memfasilitasi praktek yang haram.
Paling banter, dalam dakwah bertahap yang terjadi adalah “memaklumi” sedikit keharaman untuk dihilangkan secara bertahap, bukan “mempertahankan” keharaman apalagi dijadikan merek dagang.
Misalnya, ketika di suatu masyarakat para wanita muslimahnya tidak ada yang mau disuruh memakai pakaian yang syar’i, maka langkah dakwah pertama adalah diperkenalkan jilbab yang ala kadarnya dulu dan mereka “dimaklumi” meskipun misalnya pakaiannya masih ketat atau lehernya masih sedikit terlihat.
Catat, dimaklumi berbeda dengan dianggap benar. Sudah mau memakai jilbab ala kadarnya saja sudah bagus sebagai langkah awal.
Pelan tapi pasti lalu mereka diajari bagaimana bentuk jilbab yang benar dan bagaimana pakaian islami yang benar.
Adapun bila misalnya si dai malah mempertahankan jilbab ala kadarnya yang tidak menutup leher atau mempertahankan kebaya yang tidak menutup aurat dengan alasan itu adalah budaya di daerah itu, maka itu adalah dakwah yang merusak sebab secara aktif mempromosikan praktek yang salah, bukan lagi dakwah secara bertahap.
Bedakan antara secara aktif mempromosikan kesalahan dengan secara pasif “memaklumi” sisa-sisa praktek yang salah untuk diubah pelan-pelan agar masyarakat tidak antipati.
Dai yang secara aktif mempromosikan praktek yang salah adalah berdosa dan menyesatkan.
Sedangkan Dai yang secara pasif memaklumi sisa-sisa praktek yang salah untuk diubah pelan-pelan tidak berdosa sebab dia sedang berproses tapi belum berhasil sepenuhnya.
Yang berdosa dalam proses itu adalah masyarakatnya yang melakukan praktek yang salah tersebut yang tidak mau langsung meninggalkan keharaman secara menyeluruh.
Selama dainya menjelaskan bagaimana aturan agama yang benar, maka dia telah lepas dari tanggung-jawab dosa meskipun masyarakatnya masih mengikuti separuh-separuh.
Berbeda jauh bila justru dainya yang secara aktif mempromosikan kebenaran yang separuh-separuh bercampur dengan kebatilan, maka jelas dainya berdosa bahkan menjadi sumber dosa jariyah turun temurun.
Dalam konteks “shalawat koplo” yang jelas haram itu, panitia dan artisnya jelas secara aktif memfasilitasi kemungkaran dan menjadikan kemungkaran itu sebagai daya tarik agar warga datang.
Hal ini dari sudut pandang mana pun adalah haram dan merusak agama.
Tidak bisa seseorang memakai alasan hal tersebut sebagai dakwah bertahap sebab dalam dakwah bertahap, yang haram tetap tidak boleh diselenggarakan apalagi dianggap benar.
Yang ikut shalawat koplo itu sampai kapan pun tidak akan berubah sebab mereka datang hanya karena difasilitasi untuk joget koplo campur lawan jenis sebagaimana di konser musik pada umumnya.
Ketika unsur itu dihilangkan, mereka tidak akan datang lagi sebab daya tariknya hilang.
Lihat saja buktinya, meski beralasan dakwah bertahap, penyelenggara konser shalawat koplo itu sampai kapan pun tetap tidak mengubah apa pun sebab itu adalah merek dagang penyelenggaranya.
Saya ulangi, bagian yang haram tersebut menjadi merek dagang “si dai”, dan sudah maklum dalam teori ekonomi bahwa merek dagang yang menghasilkan keuntungan tidak akan diubah oleh pemegang mereknya, kecuali memang sudah mau rugi kehilangan pengikut dan materi.
Semoga bermanfaat. []