Cak Nun dan Dakwah Kultural yang Menyejukkan

 Cak Nun dan Dakwah Kultural yang Menyejukkan

Cak Nun (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Kabar memburuknya kesehatan Cak Nun, sapaan akrab dari Emha Ainun Nadjib membuat publik atau masyarakat gelisah, terutama para maiyah (sebutan jamaah yang sering menonton Cak Nun dan Kiai Kanjeng).

Saya yang cukup antusias dengan kabar buruk tersebut, sering memantau website caknun.com untuk mendapatkan informasi yang akurat tentang perkembangan kesehatan guru tersebut.

Mengapa saya sebut guru? Ia dalah sosok sastrawan, pendakwah dan guru yang mampu mengajari kehidupan.

Kita bisa melihat beberapa aspek yang tampak dari diriya melalui media sosial.

Barangkali setiap orang memiliki pandangan berbeda tentang Cak Nun, namun sebagai orang yang pernah mengikuti kegiatan Cak Nun dan Kiai Kanjeng, rasa ingin mengulang kesempatan yang sama sangat besar. Membahagiakan dan melegakan ketika menonton Cak Nun.

Saya menyebut kata “menonton” karena tidak memiliki kata yang cukup cocok untuk menggambarkannya.

Jangan bayangkan bahwa acara yang dibawa oleh Cak Nun dan Kiai Kanjeng adalah menyanyi dan menari bersama.

Ini kegiatan yang tidak kita temukan di acara manapun.

Sebab dalam kegiatan ini, kita akan menemukan kegiatan dakwah dengan model dialog yang sama sekali tidak menghakimi satu sama lain.

Kita juga sholawatan bersama khas nusantara yang diiringi oleh gamelan beserta alat musik tradisional.

Tidak ketinggalan jaman, acara juga diiringi oleh lagu populer yang digemari anak muda. Bukankah ini perpaduan yang lengkap kan?

Dakwah yang Menyejukkan

Dalam sepak terjangnya, Cak Nun adalah seorang intelektual Muslim yang produktif.

Ia memiliki banyak karya yang berkolaborasi dengan Kiai Kanjeng, grup sholawat yang sudah biasa menyenandungkan sholawat di pelosok tanah air.

Dakwah yang dilakukan olehnya selama kurun waktu 20 tahun lebih, membuktikan sikap telaten dan istiqomah yang dimiliki oleh Cak Nun.

Ia melakukan dakwah melalui pengajian yang disebut dengan Forum Maiyah.

Forum ini bisa diikuti oleh semua kelompok masyarakat, mulai dari ras, budaya, agama, hingga berbagai kaum.

Dalam praktiknya, masyarakat dari kalangan apapun, tidak segan untuk mengikuti Forum Maiyah karena forum ini sangat terbuka dan tidak seperti ceramah pada umumnya.

Saya memiliki pengalaman bertemu dengan seorang LGBT, ketika mengikuti Forum Maiyah.

Ia selalu mengikuti kegiatan tersebut (ketika berada di Jawa Timur) lantaran menyukai gaya dakwah yang dibawakan oleh Cak Nun.

Ia sendiri merasa tidak canggung meskipun dikenal oleh masyarakat sebagai gay lantaran di forum tersebut, tidak membatasi untuk siapa.

Ini menunjukkan bahwa, keseganan masyarakat untuk hadir dalam Forum Maiyah bukti keberhasilan Cak Nun, membuat forum ini mampu mengumpulkan masyarakat dari berbagai jenis latar belakang.

Metode yang dilakukan oleh Cak Nun juga berdialog. Meskipun para Maiyah yang hadir bisa disebut ribuan dalam satu kali forum, ia selalu bertanya tentang topik yang dibahas, dan mempersilahkan orang lain untuk menyampaikan pendapatnya masing-masing.

Adanya interaksi satu sama lain menunjukkan bahwa, terjadi pertukaran informasi, pendapat bahkan perkenalan satu sama lain antara penonton yang hadir dengan Cak Nun.

Menurut hemat penulis, praktik ini sebenarnya dilakukan karena Cak Nun ingin membongkar ruang eksklusifitas wacana yang berkembang di pemahaman sebagian masyarakat.

Sejauh ini, acara ceramah yang kita lihat hanya sebatas pada ruang bertanya yang dimiliki oleh para peserta.

Namun, pada Forum Maiyah bukan pertanyaan, melainkan mengemukakan pendapat terhadap topik yang sedang dibahas.

Cak Nun mengajak setiap orang untuk memahami dulu kondisi orang lain.

Dalam konteks ini, sosial budaya yang berkembang sebelum memberikan penilaian terhadap sesuatu.

Ciri khas ini juga menunjukkan bahwa Cak Nun memiliki wawasan terbuka dan berupaya untuk memaklumi kearifan lokal setempat asal tidak masuk ranah kriminalitas.

Pendekatan kultural yang dilakukan oleh Cak Nun menembus batas para hadirin sehingga selalu tergugah dan tersentuh jiwanya.

Pola semacam ini sangat jarang kita temui dalam forum-forum dakwah yang bernafas Islam.

Para hadirin tidak merasa dihakimi atau dipaksa untuk percaya atau mengikuti ajaran-ajaran tertentu.

Keberadaan Kiai Kanjeng juga menjadi salah satu ciri khas dalam Forum Maiyah.

Dalam setiap penampilan yang dibawakannya, lagu-lagu yang dibawakan selalu memunculkan nafas Islam, seperti sholawat dan berbagai lirik lagu yang bernuansa Islam.

Keduanya melebur menjadi satu, dalam forum dakwah yang menyejukkan dan selalu membawa lokalitas Indonesia. []

Muallifah

Mahasiswa S2 Universitas Gajah Mada, Penulis lepas

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *