Penghapusan Ajaran Muktazilah pada Masa Khalifah Al-Mutawakkil
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Penghapusan ajaran Muktazilah pada masa Khalifah Al-Mutawakkil (berkuasa 847–861 M) dari dinasti Abbasiyah menjadi salah satu peristiwa paling bersejarah dalam perkembangan pemikiran Islam.
Muktazilah adalah salah satu aliran teologi Islam yang memiliki pandangan rasionalis dan dikenal dengan gagasannya tentang kebebasan kehendak manusia dan keadilan Tuhan.
Masa keemasan Muktazilah terjadi di bawah pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun (813–833 M), salah satu khalifah Abbasiyah yang sangat mendukung pemikiran rasional.
Al-Ma’mun mendorong penyebaran ajaran Muktazilah, terutama doktrin Khalq al-Qur’an (bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dan bukan kekal).
Dalam rangka menguatkan posisi teologi Muktazilah, Al-Ma’mun menginisiasi kebijakan “mihnah” atau ujian agama, di mana ulama dan cendekiawan dipaksa untuk menerima doktrin ini.
Mereka yang menolak akan dihukum, bahkan dipenjarakan. Salah satu korban terkenal dari kebijakan ini adalah Imam Ahmad bin Hanbal, yang menolak menerima ajaran bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.
Mihnah adalah titik puncak pengaruh Muktazilah dalam kehidupan politik dan keagamaan di bawah Al-Ma’mun, serta dua penerusnya, Khalifah Al-Mu’tashim (833–842 M) dan Khalifah Al-Wathiq (842–847 M).
Selama pemerintahan mereka, Muktazilah mendapatkan posisi istimewa di istana kekhalifahan, dan doktrin mereka menjadi ajaran resmi negara.
Namun, situasi berubah drastis ketika Al-Mutawakkil naik takhta pada tahun 847 M.
Berbeda dengan pendahulunya, Al-Mutawakkil memiliki pandangan yang konservatif dan tidak mendukung rasionalisme ekstrem yang diusung oleh Muktazilah.
Ia dikenal sebagai khalifah yang berpandangan tradisional dan lebih condong kepada aliran teologi Asy’ariyah yang berkembang sebagai reaksi terhadap Muktazilah.
Al-Mutawakkil melihat pengaruh Muktazilah sebagai ancaman terhadap stabilitas politik dan keagamaan kekhalifahan.
Oleh karena itu, ia segera mengambil langkah-langkah untuk menghapuskan ajaran Muktazilah dari struktur politik dan agama.
Salah satu kebijakan pentingnya adalah penghapusan “mihnah”, kebijakan yang diterapkan oleh Al-Ma’mun.
Dengan penghapusan mihnah, para ulama dan cendekiawan yang menolak doktrin Muktazilah, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, dibebaskan dari penindasan dan kembali mendapatkan kebebasan dalam menyuarakan pendapatnya.
Selain itu, Al-Mutawakkil juga memulihkan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah (Sunni) tradisional dan memberikan dukungan penuh kepada ulama-ulama yang menentang Muktazilah.
Ia memberlakukan larangan resmi terhadap ajaran Muktazilah.
Termasuk doktrin “Khalq al-Qur’an”, dan secara sistematis menyingkirkan para pejabat yang mendukung ajaran tersebut dari posisi-posisi kekuasaan.
Langkah ini menandai berakhirnya masa kejayaan Muktazilah dan kemunculan kembali aliran-aliran teologi Sunni tradisional, seperti Asy’ariyah dan Maturidiyah.
Dampak Penghapusan Muktazilah pada Masa Al-Mutawakkil
Penghapusan ajaran Muktazilah oleh Al-Mutawakkil memiliki dampak yang signifikan terhadap perkembangan pemikiran Islam di masa-masa berikutnya.
Salah satu dampak utamanya adalah marjinalisasi pemikiran rasionalis dalam teologi Islam.
Muktazilah, yang sebelumnya berada di garis depan dalam mengembangkan pendekatan rasional terhadap teologi, kehilangan pengaruhnya dan menjadi aliran yang terpinggirkan.
Seiring dengan itu, muncul dominasi aliran teologi Sunni tradisional yang lebih mengedepankan otoritas teks dan tradisi daripada penggunaan akal.
Dalam konteks sosial dan politik, penghapusan Muktazilah juga memperkuat peran ulama Sunni dalam kehidupan keagamaan dan politik.
Para ulama ini mendapatkan kembali posisi penting dalam menentukan kebijakan keagamaan negara, terutama setelah berakhirnya mihnah.
Periode ini juga menandai dimulainya fase baru dalam hubungan antara negara dan agama di dunia Islam, di mana negara lebih mendukung ajaran-ajaran yang dianggap sesuai dengan kepentingan politik dan sosial.
Namun, meskipun mengalami penindasan dan kemunduran, warisan intelektual Muktazilah tidak sepenuhnya hilang.
Ajaran-ajaran mereka tetap bertahan dalam kalangan-kalangan intelektual tertentu, dan gagasan mereka tentang kebebasan manusia dan keadilan Tuhan tetap menjadi bahan perdebatan dalam tradisi pemikiran Islam.
Bahkan, beberapa elemen pemikiran Muktazilah diadopsi oleh aliran-aliran pemikiran lain, seperti Mu’tazilah modern atau aliran rasionalis yang berkembang di kemudian hari.
Oleh karena itu, penghapusan ajaran Muktazilah pada masa Khalifah Al-Mutawakkil merupakan titik balik penting dalam sejarah teologi Islam.
Kebijakan Al-Mutawakkil menandai berakhirnya era dominasi pemikiran rasionalis Muktazilah dan kembalinya otoritas teologi Sunni tradisional.
Meskipun ajaran Muktazilah tidak lagi dominan setelah masa ini, warisan intelektual mereka tetap menjadi bagian penting dari sejarah pemikiran Islam, terutama dalam upaya menjembatani antara wahyu dan akal.
Al-Mutawakkil dengan tegas menegakkan kebijakan yang membatasi pengaruh rasionalisme dalam teologi, tetapi juga memicu perdebatan yang terus berlanjut mengenai peran akal dalam memahami ajaran agama. []