Pembacaan Alternatif Sehingga Ibnu Taymiyah Tidak Menetapkan Hati dan Lidah Bagi Allah

 Pembacaan Alternatif Sehingga Ibnu Taymiyah Tidak Menetapkan Hati dan Lidah Bagi Allah

Jadikanlah Stimulan untuk Membaca dan Mencari Tahu Lebih Jauh (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Ada Taymiyun yang memberikan bacaan alternatif terhadap apa yang saya tulis di status sebelum ini bahwa Ibnu Taymiyah menetapkan hati dan lidah Tuhan. Bacaan alternatifnya seperti berikut:

بِأَنَّ إثْبَاتَ الرَّبِّ بِالْقَلْبِ وَاللِّسَانِ حَقٌّ لَا رَيْبَ فِيهِ

Artinya:
“Bahwa MENETAPKAN TUHAN DENGAN HATI DAN LISAN adalah kebenaran yang tidak ada keraguan di dalamnya.”

Artinya bukan Allah ditetapkan memiliki hati dan lisan tetapi penetapan keberadaan Allah dengan memakai hati dan lisan.

Kalau dibaca demikian maka tidak ada penetapan hati dan lidab bagi Allah.

Saya sungguh berharap saya yang salah dan bacaan alternatif ini benar agar Syaikh Ibnu Taymiyah tidak terkesan parah sekali.

Bacaan alternatif ini bisa jadi benar dan agak sesuai dengan beberapa baris sebelumnya.

Hanya saja menjadi aneh bila memang ini yang dimaksud sebab Ibnu Taymiyah tidak sedang berdebat menyalahkan para ateis.

Yang didebatnya adalah orang yang memang meyakini Allah itu ada, jadi untuk apa ditekankan untuk menetapkan keberadaan Allah lagi? Ini keanehan pertama dari pembacaan alternatif ini.

Kedua, menetapkan keberadaan Allah dengan hati dan lisan itu bagaimana maksudnya?

Cuma asal yakin dalam hati dan cuma bicara di mulut tidak bisa mengubah apa pun atau menjadi dalil bagi apa pun.

Orang yang sekedar yakin dalam hati dan menyatakan dengan lisan bahwa Allah adalah jisim misalnya, tidak akan membuat Allah benar-benar menjadi jisim dan tidak bisa menjadi hujjah bagi orang yang menafikan kejisiman.

Sebaliknya, orang yang meyakini dalam hati bahwa Tuhan tidak ada dan dia menyatakan itu dengan lidahnya, sama sekali tidak membuat Tuhan benar-benar tidak ada serta keyakinan dan ucapannya tidak menjadi hujjah bagi lawannya yang meyakini bahwa Tuhan itu ada.

Dengan demikian, kalimat itu menjadi tidak berarti apalagi jika digunakan dalam rangka berdebat.

Tapi meski agak aneh, tidak nyambung dengan inti mahallun niza’ dan merupakan argumen lemah, tetap saja ada kemungkinan bahwa itu yang dimaksud oleh Syaikh Ibnu Taymiyah sehingga kesimpulan saya salah.

Semoga saja demikian. Tapi kalau soal akidah tajsimnya secara umum, maka itu bukan sesuatu yang bisa diperdebatkan lagi sebab buktinya banyak.

Kalau saya yang benar, maka yang saya tulis berasal dari hidayah Allah. Kalau saya yang salah, maka itu murni dari saya. Wallahu a’lam.

Abdul Wahab Ahmad

Ketua Prodi Hukum Pidana Islam UIN KHAS Penulis Buku dan Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Pengurus Wilayah LBM Jawa Timur.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *