Kritik atas Pemaknaan Istawa dengan Makna Menguasai: Kritik yang Kembali pada Si Pengkritik
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Kadang kritik seseorang pada orang lain tanpa dia sadari juga kembali menghantam dirinya sendiri. Dengan demikian, kritiknya sama sekali tidak mematahkan argumen lawan.
Sebab argumennya sendiri juga dipatahkan oleh bahan kritiknya dan ketika dia membela argumennya sendiri maka secara tidak langsung dia juga membela argumen lawan.
Saya ambil contoh kritik yang sangat terkenal dalam dunia akidah mau pun tafsir, yakni kritik banyak tokoh pada pemaknaan istawa dalam ayat ثم استوى على العرش dengan makna “menguasai”. Ibnu Taymiyah, Ibnu Qayyim, Ibnu Katsir dan seluruh Taymiyun mengkritik pemaknaan ini dengan alasan: apabila ayat tersebut dimaknai “kemudian Allah menguasai Arasy”, bukankah berarti terkesan bahwa Allah sebelumnya tidak menguasai Arasy?
Ini jelas salah sebab Allah selalu menguasai segala sesuatu.
Kemudian pihak yang mengkritik tersebut mengajukan pemaknaan alternatif yang menurutnya lebih tepat, misalnya ‘ala wartafa’a (tinggi dan meninggi).
Yang menggunakan makna ‘ala wartafa’a ini terpecah menjadi dua, yakni pemaknaan ala ulama salaf yang memaknainya sebagai ketinggian derajat dan pemaknaan ala mujassim yang memaknainya sebagai ketinggian fisikal jisim Allah di atas segala jisim lainnya.
Kedua kelompok ini, baik salaf maupun mujassim, sepakat bahwa ketinggian yang dimaksud selalu terjadi tanpa awal mula.
Sebab itu, golongan pertama menolak bila dikatakan bahwa ada suatu masa di mana derajat Allah tidak tinggi dan golongan kedua juga menolak bila dikatakan ada suatu masa di mana ketinggian fisikal Allah di atas semua makhluk pernah tidak terjadi.
Dari poin ini, kritik mereka pada yang memaknai istawa sebagai menguasai juga berrlaku bagi mereka sendiri. Pihak lawan dapat berkata balik:
“Bila ayat tersebut dimaknai “kemudian Allah meninggi di atas Arasy”, bukankah berarti Allah sebelumnya tidak meninggi di atas Arasy? Ini jelas salah sebab Allah selalu bersifat tinggi.”
Kritik yang sama telah menghujam persis pada pemaknaan pihak pengkritik.
Mau ditafsirkan berkuasa atau meninggi, keduanya terhalang oleh kata “kemudian” yang seolah meniscayakan adanya permulaan, padahal semua sepakat bahwa makna yang diinginkan tidak mempunyai permulaan.
Jadi apa hasil kritik semacam ini? tidak ada sehingga kita tahu bahwa kritik ini sangat lemah dan ketika kritik semacam ini dijadikan sebagai argumen oleh para imam pun tetap tidak menjadikannya kuat secara objektif.
Sebab itu, meskipun banyak sekali tokoh yang mencela pemaknaan istawa sebagai penguasaan, hingga hari ini dengan mudah kita dapati banyak sekali ulama tafsir yang memaknai istawa dengan penguasaan.
Sebagai pelengkap informasi, kata “kemudian” dalam ayat itu oleh para ulama Aswaja tidak dipahami sebagai urutan berlakunya sifat istawa tetapi sebagai urutan penyebutan dalam al-Qur’an. jadi bukan berarti sebelumnya Allah tidak menguasai atau tidak Maha Tinggi.
Apabila ini dipakai sebagai pelengkap argumen, maka kritik di atas akan mentah sama sekali. []