Pemaknaan Sabilillah dan Nalar Kapitalisme
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Saya berulang kali menulis bahwa pemaknaan sabilillah sebagai sabilul khair adalah pemaknaan yang sangat lemah sehingga tidak dipakai sebagai acuan resmi dalam empat mazhab.
Kelemahan utamanya adalah pemaknaan sabilillah ini dapat menggugurkan kriteria delapan kelompok penerima zakat.
Ketika ayat at-Taubah ayat 60 yang menyatakan dengan jelas bahwa yang berhak menerima zakat HANYA delapan kelompok saja, maka artinya tidak ada pihak di luar itu yang berhak.
Tetapi dengan pemaknaan sabilillah yang diperluas, maka gugurlah ayat at-Taubah: 60 itu. Lihat saja, lembaga amil zakat dan masyarakat secara umum apakah masih peduli terhadap ayat itu?
Makin lama makin tidak peduli sebab di benak mereka, yang penting tujuannya bagus di jalan Allah maka diberi harta zakat.
Mau itu anak yatim, mau itu pembangunan masjid, mau itu gaji ustadz, atau apa pun yang bisa dibayangkan asal “berbau agama” maka diberi harta zakat.
Semua ini berawal dari adanya nukilan yang dilakukan oleh Imam al-Qaffal dalam tafsirnya yang ditulis sewaktu beliau masih muktazilah yang menyatakan bahwa sabilillah adalah semua tujuan kebaikan, meski nukilannya tidak jelas dinukil dari siapa.
Siapa yang menafsirkan begitu? Kita tidak pernah tahu, yang jelas bukan al-Qaffal sendiri sebagaimana banyak disalahpahami.
Lagipula ia masih muktazilah saat itu sehingga tampaknya menukil dari ahli bidáh entah siapa, bukan dari mujtahid kredibel.
Itulah sebabnya nukilan tersebut diabaikan di kitab muktamad empat mazhab. Anda hanya dapat menemuinya dari bukan kitab babon yang membanyak qila dan qala.
Tapi kemudian fakta ini berubah menjadi narasi “pendapat Imam Qaffal dari kalangan Syafiíyah”, seolah itu adalah pendapat kredibel dalam mazhab Syafií. Duuh, para penulis kitab banyak bertanggung jawab atas kesalahpahaman ini.
Distorsi makin parah sejak Yusuf Qardhawi menulis buku Fikih Zakatnya. Ia menguatkan nukilan al-Qaffal tersebut dengan berbagai argumen yang sekuat tenaga mendorong agar zakat tidak hanya dibatasi pada delapan golongan sebagaimana dalam al-Qur’an.
Sebab makna sabilillah digunakan seluas-luasnya untuk berbagai tujuan yang dianggap kebaikan.
Buku tersebut kemudian menjadi semacam “kitab suci” bagi para pengurus Lembaga Zakat agar mereka leluasa menggunakan harta zakat untuk apa pun, asalkan dianggap baik, termasuk untuk memperkaya lembaganya tentu saja.
Dari sinilah nalar kapitalis bermain. Masyarakat muslim wajib zakat dianggap sebagai potensi besar untuk menghasilkan sumber uang.
Potensi zakat masyarakat di tiap daerah dihitung dan jumlahnya selalu fantastis bahkan bisa melebihi APBD sebuah kota.
Penyalurannya juga tidak terbatas lagi sehingga bisa dpakai untuk apa pun yang dianggap baik.
Dengan itu muncullah ide untuk mengelola potensi harta yang begitu besar tersebut agar tidak menguap begitu saja.
Pengelolaannya dilakukan oleh lembaga yang bertindak seperti sebuah perusahaan pada umumnya, sehingga saya sebut saja sebagai perusahaan zakat sebagai penekanan dramatis.
Dan, perusahaan zakat pun bermunculan dengan ide-ide besar mengelola perputaran uang yang jumlahnya fantastis.
Pintu masuk profit perusahaan (baca: Lembaga Zakat) adalah pada jatah amil yang tidak diatur secara tegas dalam al-Qur’an berapa porsinya.
Dengan begitu perusahaan merasa bebas mengambil jatah dari harta zakat yang diterimanya, apalagi regulasi pemerintah (PP No 14 tahun 2014) juga tidak menyebutkan secara jelas berapa persen yang boleh diambil sebagai hak amil.
Dengan demikian, lembaga zakat dapat mengambil profit untuk lembaganya dan pengurusnya tentu saja.
Masih ingat kasus ACT yang pengurusnya hidup mewah dari uang zakat dan donasi masyarakat?
Padahal kalau merujuk pada kitab fikih, jatah amil hanyalah jatah sewajarnya (ongkos standar) sesuai pekerjaan yang dilakukan setiap individu amil.
Dengan kata lain, ia dibayar sesuai upah standar sesuai jenis pekerjaannya, tidak boleh lebih.
Sebab itulah, Khalifah Umar bin Khattab pernah menghukum Sayyidina Abu Hurairah dengan dugaan mendapat terlalu banyak harta setelah diangkat menjadi amil, meskipun dugaan tersebut ternyata salah.
Tapi masa bodoh dengan kitab fikih dan kisah “usang” yang menghambat profit itu, perusahaan harus makin berkembang dengan modal kapital (harta zakat) yang semakin besar.
Akhirnya semua obyek yang seharusnya tidak wajib zakat malah ditarik zakatnya. Pendapatan dari jasa juga ditarik dengan judul zakat profesi yang sebetulnya adalah nama lain dari pajak penghasilan yang tidak dikenal dalam satu milenium fikih umat Islam.
Pokoknya kalau bisa semua objek yang menghasilkan uang harus ditarik pajaknya, eh zakatnya. Sebagai aplikasinya, maka gaji PNS yang sebenarnya masih pas-pasan dipotong zakat dengan asumsi gajinya kalau ditotal setahun bisa buat beli emas seharga satu nishab, padahal boro-boro buat beli emas satu nishab, buat membayar cicilan saja masih sulit.
Loh, kan dalam zakat ada persyaratan haul (hitungan setahun) yang menjadikan sebuah harta baru wajib dizakati?
Lagi-lagi, masa bodoh dengan syarat haul di kitab fikih. Perusahaan tidak mau menunda menarik pajak, eh salah lagi, maksudnya zakat, hingga setahun dari semua yang dianggap wajib zakat.
Akhirnya semua pakai analogi ke zakat tanaman yang wajib keluar zakat setiap panen. Akhirnya aturan yang dipropagandakan adalah: Kalau anda muslim yang baik, maka setiap anda punya penghasilan besar maka bayarlah pajaknya, eh salah terus, zakat maksudnya. Dengan demikian, kapital perusahaan semakin besar.
Hal lainnya, sebuah perusahaan zakat tidak ada di setiap daerah sehingga jangkauannya terbatas. Lebih-lebih dalam kitab fikih ada aturan memindah zakat dari suatu lokasi ke lokasi lain.
Hal ini tentu menghambat pemasukan perusahaan. Tapi tenang, perusahaan tidak kehabisan akal sehingga mengambil pendapat lemah yang memperbolehkan naql az-zakat (memindah lokasi zakat) dan mengambil juga pendapat yang memperbolehkan zakat dalam bentuk uang.
Dengan oplosan pendapat lemah tersebut, akhirnya dipropagandakanlah gerakan transfer zakat.
Mau zakat gak usah ribet, tinggal transfer saja, begitu kata iklan mereka. Dengan demikian, orang yang tinggal di pelosok daerah menyetorkan zakatnya pada perusahaan zakat yang mungkin ada di Jakarta, misalnya.
Dan, kapital berhasil membengkak secara signifikan dan semua yang ada di perusahaan semakin sejahtera. Anda tidak sepolos itu merasa ACT hanya satu-satunya oknum bukan?
Pintu keluar atau distribusi keuangan perusahaan zakat merujuk pada “kitab suci” yang berjudul Fikih Zakat karya Yusuf Qardhawi tersebut.
Dengan itu, tidak ada yang dapat membedakan antara perusahaan zakat dengan perusahaan non-profit lain di negara non-muslim sekali pun.
Hartanya mau dibuat beasiswa? Mau dibuat membangun infrastruktur, mau dibuat sebagai gaji bagi para ustadz yang berafiliasi dengan perusahaan? Mau dibuat apa pun juga semuanya bisa dengan alasan fi sabilillah.
Dengan demikian lengkap sudah syarat sebuah perusahaan untuk berdiri dan memperkaya diri. Pemasukan dan pengeluarannya sudah jelas dan bebas.
Anda mau bicara ayat? ayat apa itu, semua sudah lupa. Anda mau bicara kitab fikih muktamad? makhluk apa muktamad itu, semua juga lupa.
Tulisan ini tidak bermaksud memburukkan citra semua lembaga zakat sebab saya yakin masih ada lembaga zakat yang dikelola sesuai pedoman kitab-kitab fikih yang muktamad.
Tapi tulisan ini hendak menghentak kesadaran banyak dermawan yang sebenarnya sedang dimanfaatkan oleh pemilik nalar kapitalis.
Tulisan ini juga sebagai pengingat bagi kawan-kawan penggiat kajian fikih yang ingin tampil beda dengan menukil qaul-qaul dhaif yang tanpa kalian sadari sudah menjadi amunisi bagi perusahaan zakat menambah profitnya dengan cara yang melanggar aturan kitab fikih standar.
Semoga bermanfaat. []