Muktamar NU : Rois Aam Tetap Pemimpin Tertinggi NU
HIDAYATUNA.COM – Perbedaan pendapat dan ketegangan sebelum dan ketika muktamar Nahdlatul Ulama (NU) merupakan sebuah hal yang kerap terjadi dalam tubuh NU. Sebaiknya kita menyikapi dengan biasa saja, tidak perlu larut dalam suasana panasnya.
Apalagi kita yang merasa ataupun mengaku sebagai warga NU ini. Jangan sampai rasa cinta kita kepada NU menjerumuskan kita menjadi su’ul adab.
Kita hanya butuh waspada, bergandengan tangan, merapatkan barisan, dan mendoakan segala yang terbaik untuk jam’iyyah tercinta ini. Tidak perlu terbawa arus yang dinarasikan seakan-akan NU akan pecah berkeping-keping.
Bukan maqom kita untuk ikut campur wilayah muktamar. Perhelatan akbar ini adalah hak istimewa para ulama sepuh yang telah diberi mandat dan muktamirin.
Ketegangan semacam ini dulu sebenarnya pernah terjadi dalam suasana Muktamar NU. Ketika figur KH Abdurrahman Wahid (Gus Gur) selaku Ketua Umum PBNU dipandang tidak bisa sejalan dengan Presiden Suharto pada masa itu.
Maka disusunlah berbagai cara agar KH Abdurrahman Wahid terdepak dari kursi kepemimpinannya. Skenario pun dijalankan. Berbagai narasi kebencian disebarkan melalui operasi kaki tangan penguasa.
Taat pada Pemimpin Tertinggi
Rois Aam PBNU waktu itu adalah KH Ali Maksum Krapyak, beliau sudah mencium sesuatu. Namun, sebagai priyagung yang ‘waskitho’, beliau tidak gegabah.
Guru Mulia memutuskan untuk tidak datang dalam muktamar. Namun, menuliskan sebuah surat untuk para muktamirin. Beliau berpesan agar surat itu tidak dibuka. Baru boleh dibuka sebelum hasil muktamar dibacakan.
Ternyata benar. Operasi kaki tangan penguasa berhasil memengaruhi muktamirin untuk mendongkel KH Abdurrahman Wahid dari Ketua PBNU. Ketika itu suara terbanyak sudah terkumpul untuk kepentingan ini.
Saat keputusan hasil muktamar akan dibacakan, maka surat KH Ali Maksum diserahkan kepada para Kyai Sepuh. Ulama paling senior yang rawuh pada masa itu ialah KH As’ad Syamsul Arifin Situbondo.
Guru Mulia sangat terkejut atas isi surat itu. Namun, sebagai ulama yang sangat faqihu fiddin dan al ‘alimul ‘allamah, maka beliau hanya berkata: “Kalau Kyai Ali Maksum sudah dhawuh demikian, maka saya sami’na wa atho’na.”
Para Ulama sepuh yang datang waktu itu, diantaranya KH Makhrus Ali Lirboyo, KH Ahmad Shiddiq Jember. Kemudian KH Ahmad Abdul Hamid Kendal dan yang lainnya juga mengikuti sikap KH As’ad Syamsul ‘Arifin. Semua taat barisan.
Protes Muktamirin atas Terpilihnya Gus Dur
Keputusan suara terbanyak muktamar ini akhirnya dianulir oleh Rois Aam pada masa itu. Dengan begitu, ditetapkanlah kembali KH Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Tanfidziyah NU.
Hal ini sangat menggoncang para muktamirin yang belum ikhlas menerima keputusan yang tidak sesuai aspirasi mereka. Pasca muktamar, mereka menggeruduk Ponpes Al Munawwir Krapyak Yogyakarta untuk melakukan protes.
Guru Mulia KH Ali Maksum menemui mereka. Juru bicaranya pada waktu itu sampai berani protes: Dulu, ketika dipimpin oleh KH Hasyim Asy’arie, KH Wahab Hasbullah, dan KH Bisri Syansuri, NU tenang-tenang saja. Tapi ketika dipimpin Kyai Ali Maksum jadi gonjang ganjing begini?
Dengan lembut tapi tegas, Guru Mulia menjawab: Pernyataan ini dulu juga sudah disampaikan kaum Khowarij kepada Sayyidina Ali. Mengapa ketika dipimpin oleh Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar dan Sayyidina Utsman, Umat Islam tenang dan damai. Lalu ketika dipimpin oleh Sayyidina Ali menjadi gonjang ganjing?
Maka Sayyidina Ali menjawab: Karena ketika dipimpin oleh Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar dan Sayyidina Utsman, umatnya seperti saya ini, jadi Islam damai dan tenang. Lalu kenapa ketika saya pimpin malah jadi goncang? Ya karena yang saya pimpin adalah kalian ini.
Tidak Perlu Ikut Campur
Demikian juga mengapa ketika Mbah Hasyim, Mbah Wahab dan Mbah Bisri memimpin, NU tenang dan damai? Oleh karena yang beliau pimpin, ya, yang seperti saya ini. Lalu mengapa ketika saya yang memimpin, NU jadi gonjang-ganjing? Ya karena yang saya pimpin modelnya seperti kalian ini.
Terdiamlah para pemrotes, tidak bisa menjawab lagi, dan baru terbukti di belakang hari. KH Abdurrahman Wahid-lah sosok yang dijadikan wasilah Gusti Allah untuk menyelamatkan bahtera NU bahkan hingga menjadi ormas Islam bertaraf internasional.
Semoga kisah ini menjadi hikmah bagi kita semua. Untuk tidak memasuki wilayah yang bukan maqom kita, bukan hak kita. Cukup kita tahu diri haqqul yaqin bersama NU akan selamat dunia akhirat dengan ijin Gusti Allah.
Kapan pun waktunya dan bagaimanapun prosedurnya untuk Muktamar kali ini, mari kita taati apa yang telah diperintahkan oleh Rois Aam kita, selaku pemimpin tertinggi kita. Sebenarnya tidak berlebihan jika Guru Mulia KH Miftahul Akhyar disebut sebagai Amirul Mukminin An Nahdliyyin masa kini.
Kita dengar dan kita taati apa yang beliau katakan. Jika ada hal yang patut untuk ditegur, itu wilayah para ulama sepuh yang ‘waskitho’ sesuai suara dari langit. Bukan wilayah kita.