Menuntut Ilmu itu Berrit
HIDAYATUNA.COM – Suatu ketika saya mendapat kabar duka yang menimpa salah seorang teman yang sedang menuntut ilmu. Sang ayah yang menjadi tulang punggung keluarganya yang berpulang ke pangkuan-Nya.
Selang beberapa bulan kemudian tercium kabar bahwa ia telah cuti dari studinya, entah berapa tahun berlalu. Bapak saya yang mendengar hal itu, spontan berkata, “menuntut ilmu itu berrit , nak.”
Berrit sendiri berasal dari Bahasa Madura. Contoh dalam penggunaannya kira-kira begini, “Jangan main di pekarangan itu, di sana berrit.”
Dalam kalimat tersebut tampak tampak, magis atau angkeritas yang sedikit ditakuti oleh sebagian orang. Bukan hanya itu, terkadang juga terjadi sesuatu yang tidak diinginkan bagi mereka yang tetap mendekatinya.
Tetapi Bagi sebagian orangutan Tempat Yang dikenal, berrit digunakan sebagai ladang untuk review memperoleh keuntungan. Misalnya ditirakati karena ada terdapat barang keramatnya, dan lain-lain.
Saya kurang melihat padanan kata yang pas untuk mengartikan “ berrit ” ini. Tetapi kata ini agak dekat dengan “angker” namun lebih kepada banyaknya ujian berat yang butuh upaya besar untuk dapat melaluinya.
Orang yang Berilmu Disukai Allah SWT.
“Menuntut ilmu itu sangat berat dan penuh ujian,” kira-kira begitulah untuk lebih mudahnya. Memang dalam proses menuntut ilmu, jika ditanya perihal keutamaan-keutamaannya akan banyak ditemukan, tapi di sisi yang berbeda ada unsur-unsur ujian berat yang juga menemani ini .
Jikalau mau mencari dasar pijakan dari sumber ajaran Islam, Rasul menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi seorang muslim-laki dan perempuan. Bahkan dalam banyak riwayat mengaruhi yang esensinya sama meski dengan redaksi yang berbeda.
Syaikh Utsman Ibn Hasan Ibn Ahmad Syakir al-Khaubawiyyi dalam kitabnya Durratu an-Nasihin fi al-Wa’dhzi wa al-Irsyad yang menukil dari kitab Tafsiru al-Taisir (lihat, hal 12) menyebutkan begini;
يقال العلم أفضل من العمل بخمسة أولم: الأ ول العلم ينفع والعمل ينفع والعمل بغير علم لا ينفع. والثالث العلم لازم والعلم منور كالسراج. والرابع العلم مقام الأنبياء كما عليه الصلاة والسلام “علماء أمتى كأنبياء بنى إسرائيل.” والخامس العلم صفة الله والعمل صفة العباد وصفة الله أفضل من صفة العباد
Dalam redaksi tersebut terdapat ungkapan yang menarik dan mencolok di bagian kempat dan kelima. “Kedudukan (maqam) nya (ulama / orang yang berilmu) umatku (Nabi Muhammad) sama seperti nabi Bani Israil”. Dan “ilmu merupakan sifat Allah sementara perbuatan merupakan sifat seorang hamba.”
Bahkan dalam suatu riwayat menyebutkan “tidurnya seorang yang berilmu lebih baik atau utama dari ibadah seorang yang jahil”. Masih lebih banyak lagi berbagai keutamaan ilmu lainnya.
Paling tidak ini menjadi isyarat bahwa Islam mewanti-wanti kepada kita agar senantiasa terus menuntut Ilmu, bahkan sejak dari buaian hingga liang lahat. “ Uthlub al-‘ilma mina al-mahdi ila al-lahdi. ”
Ambivalensi Ilmu
Kembali kita lihat redaksi sebelumnya “ al-‘ilmu shifatuLlahi wa al-‘amalu shifatu al-‘ibad […]”. Dari situ tampak ambivalensi ilmu yang begitu memencolok.
Loh kok bisa? Ilmu di situ disandingkan dengan sifat sang Pemilik Semesta, dan memang benar-benar memiliki ilmu yang memiliki sisi mulia nan agung.
Akhirnya terjadi kejadian ambivalensi, di satu sisi, dengan ilmu seseorang dapat semakin taat dan patuh pada Sang Pemilik Ilmu. Sebab segala sesuatu yang diketahuinya terjadi atas perintah apa-apa dan semua atas izin dan kehendakNya.
Di sisi yang berbeda, dengan ilmu pula berpotensi menjauhkan diri pada ketaatan dan kepatuhan pada Rabbnya. Boleh jadi karena dari saking pintarnya atau merasa telah memiliki keluasan ilmu yang begitu ‘wow’ dan banyak diakui berbagai kalangan.
Bahkan yang semula ilmu sebagai sifat-Nya beralih menjadi benih kesombongan yang nantinya menjadi cikal-bakal menuhankan dirinya sendiri (yang berilmu). Sebab telah menganggap dengan pengetahuannya merasa telah mampu berbuat apa pun tanpa bantuan siapa pun bahkan untuk sekelas Tuhan sekalipun.
Akibat fanatisme terhadap ilmu yang berlebih memberi dampak klaim diri manusia sebagai sosok adiluhung. Bahkan ia merasa superior dari yang lain hingga terjadilah eksploitasi alam besar-besaran atas nama ilmu pengetahuan.
Uji coba-uji coba yang sedikit demi sedikit merusak lingkungan dengan beranggapan alam dan semua yang ada lainnya selain manusia, keberadaannya tercipta hanya untuk dan dimanfaatkan manusia.
Ujian Berat Proses Menuntut Ilmu
Secara umum, menuntut ilmu dipahami sebagai upaya pencarian yang dilakukan di suatu institusi pendidikan. Baik itu berupa yayasan, sekolah umum, pondok pesantren, perguruan tinggi, dan lain sebagainya.
Ya, meskipun bisa saja kita mendapatkan ilmu dari luar itu semua. Kalsebagainya Hasan Abdullah Sahal, “Kehidupan yang telah mengajarkanku / ‘allamatni al-hayaatu”.
Kembali lagi pada statemen tadi, “menuntut ilmu itu memang berrit”. Hal ini karena banyak ujian yang memang sering menimpa dan terkadang di luar kemampuan dan kemauan kita.
Apalah daya itu di luar kuasa dan telah menjadi ketetapanNya. Apalagi dalam proses menempuh ke jenjang perguruan tinggi. Ditambah lagi proyeksi pemikiran masyarakat kita yang masih beranggapan “sekolah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya sama aja.”
Masalah-masalah yang Sering Dihadapi saat Menuntut Ilmu
Ada saja problem rumit yang sukar dipecahkan. Ada yang begitu bersemangat, tapi terkendala ekonomi. Mau diakui atau tidak, pendidikan tingkat tinggi juga tidak lagi murah.
Ada yang mampu secara finansial tapi tidak memiliki kemauan. Duh, memang pelik dan kadang serba terbalik.
Belum lagi masalah jihad menahan kantuk dalam belajar, menahan rindu bagi mereka yang rela merantau, memahami belantara buku-buku yang kadang sangat rumit.
Lebih-lebih lagi soal pengeluaran yang semakin hari kian membengkak. Terlebih ihwal kehilangan sosok penting yang menghidupi atau donatur tetapnya dalam membiayai setiap kebutuhan hidup dan pendidikannya.
Tiada yang melihat, bukan, apa, siapa, dan bagaimana kehidupan kita di tengah proses berlangsungnya menuntut ilmu.
Bagi Anda yang bertakdir perjalanan studi ilmu di perguruan tinggi, bersyukurlah dan bersabarlah. Bersyukur karena masih diberi kesempatan menimba ilmu di sana karena tidak semua seberuntung Anda.
Bersabarlah menganggung perih kantuk dalam belajar, memahami petuah guru dan kitab-kitab, serta masalah hidup yang kadang begitu kejam.
Wallahu ‘Alam bi al-Shawab