Mengasah Ilmu sebagai ‘Alat Perang’ dalam Beribadah

 Mengasah Ilmu sebagai ‘Alat Perang’ dalam Beribadah

Menggugat Penggunaan Atsar Sahabat tentang Tradisi (Ilustrasi/Hidayatuna)

Bismillah. Nawaina tholabal ilmi.

HIDAYATUNA.COM – Kata Imam Syafi’i, ilmu itu binatang liar, dan catatan adalah tali kekangnya. Ini saya dengar dari ngaji rutin setelah maghrib di pondok pesantren, poin itu bagi saya penting, sangat penting. Entah bagi orang selain saya. Oleh karena itu saya merasa perlu untuk membaginya kepada khalayak. Kiranya menjadi hikmah.

Suasana majelis ngaji terasa sejuk. Inilah perang yang sesungguhnya.

Romo Kyai M. Katib Masyhudi (kyai saya) saat itu berkata, “Kalau menurut Ko Ping Ho, ilmu apapun itu sifatnya netral. Bisa dipakai untuk kebaikan, bisa juga dipakai untuk kejahatan. Salat pun, itu bisa sebagai ketundukan hamba pada Tuhannya, bisa juga justru sebagai penghinaan terhadap Tuhannya.”

Beliau memberi keterangan tentang salat sebagai bentuk penghinaan terhadap Tuhan, yakni salat yang ketika dilakukan di masjid atau di mana pun bersama banyak orang, dibagus-baguskan. Tapi ketika sendiri, dilakukan sesederhana dan sesimpel mungkin. Menurut beliau, itu sudah menghina Tuhan.

Beliau meneruskan, “Yang penting, kalau memang kamu tidak tahu ilmunya, mending diam, tidak usah berbuat apa-apa, kecuali yang wajib. Itu malah lebih aman.”

Memang, alat perang utama kita dalam segala hal adalah ilmu.

Berilmu dalam Beramal

Menurut beliau, orang-orang gampang salah jalan itu karena tidak memiliki ilmu yang memadai. Dia hanya asal berbuat, asal beramal.

“Melakukan salat dhuha karena pengin kaya, itu jelas salah. Ikut salawatan Habib Syekh lalu merasa dirinya dengan begitu saja langsung pantas mendapat syafaat kanjeng nabi, itu juga jelas salah. Kadang salawat semangat, tapi salatnya kelewat.”

Tidak punya ilmu menyebabkan salah dalam memasang niat, padahal niat adalah parameter utama Allah menilai ibadah kita, ibadah jenis apa pun.

Inilah poin yang paling penting menurut saya. Beliau memberi tips agar tidak salah dalam berniat.

Kata Romo Kyai begini, “Jangan karena pengin kaya. Jangan karena pengin lulus ujian. Kanjeng nabi bersabda bahwa barang siapa melakukan salat dhuha, maka dimudahkan segala urusannya. Pikirkan, maksudnya hadis itu apa? Ooh, berarti Kanjeng Nabi menyuruh kita salat dhuha karena itulah kita salat dhuha. Sudah. Begitu saja.”

Lakukan Ibadah Semata Karena Allah

Apabila kita menemukan hadis targhib alias hadis yang memotivasi, atau hadis tadzhib alias hadis yang menakut-nakuti, maka yang harus kita lakukan adalah memahami maksudnya. Kita tidak usah pedulikan apa yang memotivasi.

Kita juga tidak udah pedulikan apa yang menakut-nakuti. Misal ada hadis begini: Barang siapa membaca surat al-kahfi pada hari Jumat, maka dia akan disinari cahaya antara dua Jumat. Kita pikirkan dulu, apa maksud hadis ini? Ini hadits apa? Ya, targhib.

Maksudnya, Kanjeng Nabi ‘menyuruh’ kita untuk ‘membaca surat al-kahfi’. Sudah begitu saja. Kita tidak usah pedulikan soal fadhilah bahwa kita akan disinari cahaya antara dua Jumat kalau membaca surat al-kahfi.

Sebab, inilah, saudara-saudaraku sekalian, yang akan membelokkan niat. Kita sering tergiur iming-iming dari suatu hadis. Lantas apa yang kita perbuat bukan lagi karena Allah, melainkan karena iming-iming tersebut. Na’udzubillaah.

Jadi intinya, lakukan saja. Lakukan saja. Satu-satunya alasan kenapa kita melakukan itu hanyalah ‘karena kita diperintah oleh Allah’, Tuhan kita semua. Hanya itu tok til. Tak ada lagi yang lain. Kalau ada yang lain, artinya kita sedang menyekutukan Allah.

Saudaraku, alat perang kita memang harus selalu diasah. Sekali lagi, na’udzubillah. Semoga kita semua terhindar dari menyekutukan Allah dengan iming-iming upah dari ibadah. Semoga kita dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang ikhlas. Aamiin.

Muhammad Fajar Riyadi

Freelance Layouter

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *