Memfungsikan Masjid sebagai Pusat Literatur Keagamaan, Mungkinkah?

 Memfungsikan Masjid sebagai Pusat Literatur Keagamaan, Mungkinkah?

Riwayat Surau Syekh Paseban (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Sekali waktu saya disodori pertanyaan oleh kerabat mengenai banyaknya masjid yang berdiri dan dibangun dengan megah. Namun kenapa tidak cukup berpengaruh dengan gerak religius umat muslim di Indonesia?

Terlebih, trend laku keberagamaan dalam satu dekade belakangan melulu diwarnai dengan sekian wacana yang keras. Juga aksi destruktif yang tidak hanya merusak fasilitas umum, tapi juga menghilangkan nyawa mereka yang tidak bersalah.

Sebelum menjawab, saya memprotes pertanyaannya yang menurut saya mengandung bias dalam berpikir. Sebab ia secara tidak sadar mengeneralisir setiap masjid, di mana saja dan dalam gerak apa saja turut menyumbang ketidakreligiusan umat muslim di negeri ini.

Bahwa masjid menjadi ruang dakwah sesuai afiliasi keagamaan tertentu, bagi saya itu sah-sah saja. Sebab setiap aliran atau organisasi dalam Islam, masing-masing memiliki interpretasi berbeda dari sumber otoritatif yang sama, yakni Alquran dan hadis. Hanya saja tidak setiap aliran atau organisasi itu memuat dakwah yang tegas, keras, atau main libas sesukanya.

Kemudian sisi religiusitas umat muslim di negeri ini juga mengejawantah ke dalam banyak hal. Tidak hanya sekadar bisa dilabeli orang itu keras dan kasar.

Bisa jadi dalam hal politik ia berafiliasi ke kanan, namun di keseharian ia menyantuni fakir miskin tanpa pandang bulu. Bisa jadi juga setiap harinya rajin ke masjid, menunaikan sekian ibadah dan dzikir, namun di masyarakat ia emoh bertegur sapa jika tidak sama-sama alimnya.

“Akan tetapi ada satu gejala yang dapat ditemui di setiap masjid yang dapat memicu munculnya benih-benih tindakan intoleran, ekstremis, bahkan teroris”, tuturku saat itu. Gejala tersebut mengakar hampir di setiap masjid, baik yang megah maupun tidak, baik yang di kota, desa, maupun pesisir. Gejala itu akrab disebut oleh kalangan akademisi sebagai minimnya ruang literasi keagamaan.

Keberadaan Literasi Keagamaan di Masjid

Literasi keagamaan ini tidak hanya menyangkut tentang ada dan tidaknya perpustakaan masjid. Namun lebih jauh lagi, sejauh mana perpustakaan masjid ini dapat memberi dampak pada jemaah, minimal jemaah yang mukim di sekitar masjid?

Selain itu, seberapa variatif literatur yang dapat ditemukan dalam perpustakaan tersebut? Apakah dapat menjawab kebutuhan keseharian jemaah atau sebaliknya, malah menjauhkan jemaah dari khazanah literatur keislaman yang beragam itu?

Ketersediaan materi literasi dalam bentuk buku sangat minim ditemukan di berbagai masjid. Hal itu dikemukakan oleh Laporan penelitian yang diterbitkan oleh Center for The Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah tentang Literasi Keagamaan Takmir Masjid, Imam, dan Khatib (2019).

Kalau pun ada, misalnya rak-rak buku atau perpustakaan, isi di dalamnya hanya memuat kitab suci Alquran, materi surah Yasin, dan selebaran buletin dakwah yang didistribusikan setiap hari Jumat.

Pengurus masjid mungkin menyadari bahwa jemaah yang datang setiap harinya memang untuk beribadah. Akan tetapi luput tidak mengidentifikasi kebutuhan jemaah yang berakar dari latar belakang ekonomi dan pendidikan yang berbeda.

Misalnya saja, masjid yang jemaahnya dominan sebagai petani, maka tawaran literatur yang ada di perpustakaan semestinya tidak hanya berisi tuntunan salat, fikih haji, atau kritik historis Alquran. Alih-alih membuat mereka bertambah religius, justru sebaliknya, mereka malah akan menghindari kunjungan membaca di perpustakaan masjid. Sebab literatur yang disediakan tidak cocok dengan kebutuhan mereka di keseharian.

Masjid sebagai Sarana Menggali Ilmu Keagamaan

Berbeda dengan jemaah masjid yang hampir semuanya pernah mengenyam ragam disiplin keilmuan di perguruan tinggi. Jemaah jenis ini dapat melakukan analisis dan memilah literatur, sekalipun bahasannya dapat membuat keningnya berkerut.

Saya juga menambahkan pendapat bahwa, literasi keagamaan ini tidak hanya dapat disimplifikasi dengan ada atau berfungsinya perpustakaan masjid. Namun kegiatan semacam pengajian yang digelar di masjid juga perlu dirumuskan agar membentuk nalar jemaah yang toleran, tidak menang sendiri, menghindari klaim kebenaran sepihak, dan tentu saja bersikap baik kepada liyan.

Salah satu caranya mungkin dengan melihat latar belakang keilmuan serta afiliasi si penceramah. Jadi tidak setiap mereka yang bisa mengatakan satu dua ayat lantas diberi ruang di dalam masjid. Dari situ, mungkin masjid sebagai ruang ibadah yang membentuk kualitas umat Islam yang toleran bisa terbentuk. Begitu.

Ahmad Sugeng Riady

Masyarakat biasa. Alumni Magister Studi Agama-agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *