Membongkar “Makam Transit”
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Kemarin 2 jam full pelatihan jenazah dari buku saya Fikih Jenazah. Acara ini digagas oleh Ustaz Nasichun Amin Gresik , bersama Lembaga Takmir Masjid NU Gresik.
Biasanya 2 jam bersama prakteknya, namun kali ini habis dengan sesi tanya jawab secara Fikih. Alhamdulillah Allah memberi kelancaran.
Ada dua pertanyaan yang menyangkut hukum membongkar kuburan. Di beberapa kitab Fikih Klasik memang ada beberapa kasus masalah yang diperbolehkan, seperti mayit yang dikubur bersama hartanya, maka wajib dibongkar dan diambil hartanya.
Demikian pula ketika mayit dikubur di tanah orang lain dan pemiliknya tidak rela maka harus dipindah, dan banyak kasus lainnya.
Kemudian ada peserta yang datang dari Lamongan. Di tempatnya ada area makam yang selalu digenangi air saat banjir.
Maka ketika ada orang meninggal di masa banjir dia dikubur di dataran tinggi dan tempatnya terbatas.
Setelah tidak ada banjir kuburan tersebut dibongkar dan jenazahnya dipindah ke tempat pemakaman umum.c
Mereka menyebut makam sementara tersebut dengan Makam Transit.
Untuk pertanyaan ini saya tidak berani memutuskan hukumnya dan perlu pembahasan bersama di tingkat Bahtsul Masail.
Saya hanya urun rembuk soal memindah makam setelah dikubur.
Memang ada pendapat dari ulama Malikiyah lebih dekat menjawab masalah ini:
(ﻭ) ﺟﺎﺯ (ﻧﻘﻞ) اﻟﻤﻴﺖ ﻗﺒﻞ اﻟﺪﻓﻦ ﻭﻛﺬا ﺑﻌﺪﻩ ﻣﻦ ﻣﻜﺎﻥ ﺇﻟﻰ ﺁﺧﺮ ﺑﺸﺮﻁ ﺃﻥ ﻻ ﻳﻨﻔﺠﺮ ﺣﺎﻝ ﻧﻘﻠﻪ ﻭﺃﻥ ﻻ ﺗﻨﺘﻬﻚ ﺣﺮﻣﺘﻪ ﻭﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻟﻤﺼﻠﺤﺔ ﻛﺄﻥ ﻳﺨﺎﻑ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻥ ﻳﺄﻛﻠﻪ اﻟﺒﺤﺮ ﺃﻭ ﺗﺮﺟﻰ ﺑﺮﻛﺔ اﻟﻤﻮﺿﻊ اﻟﻤﻨﻘﻮﻝ ﺇﻟﻴﻪ ﺃﻭ ﻟﻴﺪﻓﻦ ﺑﻴﻦ ﺃﻫﻠﻪ ﺃﻭ ﻷﺟﻞ ﻗﺮﺏ ﺯﻳﺎﺭﺓ ﺃﻫﻠﻪ
Artinya:
“Boleh memindah mayit sebelum atau SESUDAH dikubur dari satu tempat ke tempat lain dengan SYARAT tubuhnya tidak rusak menjadi beberapa bagian saat memindahkan dan tetap menjaga kemuliaan jenazahnya. Serta ada kemaslahatan, seperti takut dimangsa hewan, mengharap berkah di tempat yang dipindah, dikubur di dekat keluarga atau di tempat yang dekat untuk kemudahan ziarah keluarganya.” (Syekh Ibnu Arafah, Hasyiah Ad-Dasuqi, 4/165)
Sekali lagi untuk ketetapan hukumnya harus menunggu Bahtsul Masail karena perlu banyak pertimbangan hukum dari para ahlinya. []