Sebuah Percakapan Mengenai Sedekah Laut

 Sebuah Percakapan Mengenai Sedekah Laut

Sebuah Percakapan Mengenai Sedekah Laut (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – “Sedang ngapain Mbah, kayaknya lagi repot banget sampai dibantuin banyak orang?” tanya pak Ustadz ke Si Mbah, tetua kampung.

“Oh ini sedang mempersiapkan sedekah, pak ustadz. Kan kata jenengan kalau sedekah harus menyiapkan yang terbaik”. Jawab si Mbah.

“Betul itu. Wah bagus sekali itu hiasannya. Siapa yang buat?”

“Si Jun, orang kampung sebelah yang memang tukang kayu. Dia yang bikin wadah makan seperti kuil mini yang indah ini. Yang menata makanannya ibu-ibu yang memang ahli menghias tumpang. Mereka juga yang masak nasi kuning beserta lauk pauk nya itu.”

“Trus buah-buahan yang bermacam-macam itu dari mana mbah?”

“Itu dari warga sekitar, hasil panen. Sebagian juga beli di pasar.”

“Wah hebat ya. Semua pihak bekerja sama dan pasti biayanya mahal.”

“Ya pak ustadz, ini wujud rasa syukur kami pada Allah Ta’ala yang telah memberikan rizki berlimpah. Kan kata jenengan makin banyak sedekahnya, makin banyak pahalanya.”

“Bener itu. Alhamdulillah kalau gitu. Moga sedekah warga ini dibalas kebaikan oleh Allah. Terus kapan rencananya semua ini mau dimakan bareng-bareng?”

“Waaah…. Ini bukan untuk dimakan bareng-bareng pak ustadz.”

“Lah terus..?”

“Semuanya dilempar ke laut,” jawab si mbah sambil mringis. Pak ustadz pun garuk-garuk kepala.

“Jadi, ini adalah wujud kasih sayang kita pada alam. Kan jenengan juga yang bilang kalau islam itu rahmatan lil ‘alamin? Masak dari dulu kita ngambil ikan dan macam-macam lainnya di laut tapi gak pernah ngasih ke laut?” susul si Mbah menjelaskan maksudnya.

“Oooo… Saya baru tahu ikan juga suka makan buah-buahan, nasi kuning dan lauk pauknya beserta wadah kayu yang mewah itu. Kirain cuma suka pelet. Enak juga kalau nanti kita mancing ikan pake buah dan tumpeng,” kata pak ustadz yang disambut garuk-garuk kepala oleh si Mbah.

“Terus maunya pak ustadz itu apa sebenarnya?”

“Mau saya sih makanan manusia itu dijadikan sebagai sedekah ke manusia. Kita undang masyarakat, terutama yang kurang mampu, lalu kita makan bareng-bareng. Sambil ngaji bareng-bareng sebagai syukur kita pada Allah. Soal balas budi ke laut, wujudnya adalah kita bersih-bersih dan menjaga ekosistem laut, boleh juga kalau mau ngasih pelet buat ikan-ikan itu biar pada gede. Laut pasti lebih suka sedekah model ini. Naah… sekarang saya yang tanya maunya si Mbah ngasih makanan manusia ke laut itu untuk apa?”

“Heheee…. Itu buat yang mbahurekso laut. Mereka sebagai makhluk Allah boleh disedekahi juga kan?”

“Woalaaaah… Kalau mereka gak usah dimasakin makanan apalagi sampai ribet bikin beginian segala. Suruh saja beli ke pasar lalu masak sendiri. Sesama makhluk Allah kok minta dilayani spesial.”

“Tapi apa salahnya saling menghormati sesama makhluk?”, tanya si Mbah.

“Allah itu sudah memuliakan manusia, Mbah. walaqad karramna bani Adam. Justru makhluk lain yang harus lebih menghormati kita. Jadi manusia itu mbok yo pede dikit napa. Punya harga diri gitu loh di hadapan makhluk apapun”.

“Kalau tiba-tiba Nyi Roro Kidul datang gimana?” tanya si Mbah.

“Ya kita ajak selfi-an,” jawab pak ustadz. []

Abdul Wahab Ahmad

Ketua Prodi Hukum Pidana Islam UIN KHAS Penulis Buku dan Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Pengurus Wilayah LBM Jawa Timur.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *