Membayangkan Sebuah Pemilu Elektronik
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Memang banyak kalangan yang tidak percaya kalau pesawat terbang itu adalah moda transportasi yang paling aman, bahkan dibandingkan dengan mobil dan motor.
Secara statistik, angka kematian akibat kecelakanan lalu lintas di darat ternyata jauh di atas angka kematian akibat kecelakaan pesawat terbang.
Namun biar bagaimana pun masih ada saja orang yang takut naik pesawat terbang. Biar bagaimana pun rasa takut terbang itu manusiawi.
Pemilu secara elektronik saya kira banyak yang menentang karena seperti orang takut terbang.
Tidak mau naik pesawat karena takut jatuh, mirip-mirip dengan karakter Mr. T di serial The A Team zaman TVRI dulu.
Badan kekar tapi takut naik pesawat terbang, sampai harus dibius dulu.
Pemilu secara elektronik sampai hari ini masih ditentang orang dimana-mana.
Alasannya nanti dihack, nanti servernya dijebol, nanti ini dan nanti itu.
Seribu satu alasan pasti akan segera bermunculan setiap ada ide bagaimana menyelenggarakan pemilu secara digital dan online.
Saya tidak mengatakan pasti aman, sebab tidak ada yang aman 100% di dunia ini, baik itu penerbangan atau pun sistem online.
Secara teori, para teroris bisa saja ‘membajak’ sebuah pesawat terbang komersial dari jarak jauh (baca: online).
Namun apakah semua itu tidak bisa diantisipasi, sehingga kita lantas tidak mau terbang naik pesawat?
Ternyata tiap hari ribuan pesawat beterbangan dengan lancar. Tentu dari segi pengamanan naik pesawat itu ribet banget karena saking ketatnya pengamanan.
Tapi Jakarta Bali itu lebih mudah naik pesawat ketimbang naik mobil pribadi berjam-jam, bukan?
Mimpi saya, anggaplah lima tahun ke depan, sudah tidak ada lagi orang-orang yang ketakutan terbang, eh ketakutan era digital, maka pemilu bisa dilakukan secara digital, kalau perlu online.
Anggaplah digital saja dulu, onlinenya masih dibuat terbatas. Jadi para pemilih masih tetap harus datang ke TPS-TPS tempat pencoblosan, eh tempat ‘penyentuhan’.
Ya, kan pakai layar sentuh, tidak pakai paku dicoblos di kertas.
Saya membayangkan kayak layar ATM gitu lah. Begitu kita mendekat, kamera di layar langsung menangkap wajah kita dan mengenalinya (baca: face recognition), yang dipadukan dengan scan retina, atau setidaknya scan finger print. Ini untuk keotentikan pemilih.
Sedetik kemudian, di layar disuguhkan nama-nama pasangan calon presiden dan juga nama-nama calon legislatif.
Saya membayangkan ada semacam search enggines untuk mencari nama calon yang kita pilih.
Atau saya berpikir untuk menepelkan semacam QR code yang bisa kita buat di aplikasi HP, dimana di dalam QR Code itu sudah ada semua calon yang mau kita pilih.
Sehingga begitu layar HP kita dekatkan ke kamera, langsung disedot semua pilihan kita.
Berdasarkan praktek nyoblos kemarin, saya agak ribet harus membuka lima lembar kertas ukuran tabloid, lalu mencari satu per satu nama orang yang mau saya pilih.
Seandainya ada semacam aplikasi yang bisa kita bikin di rumah pakai HP, dimana kita sudah mengklik nama-nama pilihan kita sejak dari rumah, kemudian diubah jadi QR CODE, maka waktu ke TPS tinggal discan saja. Saat itulah suara kita diterima oleh server.
Maka penghitungan di tiap TPS yang memakan waktu sampai malam dan dini hari sama sekali tidak diperlukan.
Sebab semua data otomatis sudah ada di server, baik lokal atau pusat.
Malahan kita tidak butuh quick count segala, sebab yang dihitung itu justru sudah real count, bukan sampling tapi memang murni suara itu.
Tentu saja server, hardware dan software serta jaringan yang dibutuhkan harus kelas atas, bukan kelas ecek-ecek yang byar-pet.
Kalau investasinya mahal, siapa tahu bisa sewa sama Google yang punya kemampuan tinggi.
Harapannya, pemilu-pemilu ke depan bisa lebih sederhana dan lebih hemat dari segi biaya.
Tidak perlu ada cetak surat suara dengan tehnik pengirimannya yang bolak-balik.
Saya kadang sedih kalau lihat bagaimana orang menyeberang pulau terpencil sekedar untuk membaca surat suara, lalu membawa kembali balik kotak suara itu.
Biarlah data-data digital saja yang dikirim ke seluruh pelosok negeri, jangan fisiknya lagi.
Saya juga kasihan melihat orang-orang di tempat pemungutan suara yang kerjanya sampai subuh.
Malah tadi nonton berita sampai ada beberapa yang wafat saking kecapean jadi panitia. Lima tahun lalu juga ada kasus yang sama.
Semua biaya itu akan jauh lebih baik untuk diinvetasikan agar kita punya sistem informasi yang gagah dan tak tergoyahkan.
Tapi semua hal itu hanya terwujud dalam mimpi saya tadi malam. Begitu terdengar adzan shubuh, saya terbangun dari mimpi karena suara ribut-ribut panitia dan saksi yang masih belum berhenti bekerja.
Duh, kasihan sekali mereka. Mohon jaga kesehatan, lah ya. Saya sebenarnya mau tidur lagi, ingin meneruskan mimpi ikut pemilu digital, tapi sudah tidak bisa tidur lagi.
Ya sudah, saya sudah balik lagi ke alam nyata. Kirain tadi bisa meneruskan mimpi. Ternyata saya sudah di alam nyata. []