Lee Kang Hyun, ‘Pak Haji’ Dibalik Samsung Indonesia
HIDAYATUNA.COM – Siapa yang tak mengetahui produk Samsung, perusahaan smartphone dan elektronik terkenal di Indonesia ini ternyata dipimpin oleh seorang ‘Pak Haji’. Adalah Lee Kang Hyun, Vice President Samsung Indonesia yang menjadi orang dibalik kesuksesan Samsung Indonesia.
Siapa yang menyangka bahwa bos besar Samsung Indonesia ini telah menjadi mualaf sejak tahun 1994, setahun sejak secara resmi ia tinggal dan bekerja di Indonesia. Beragam alasan dan cerita berbeda dari setiap mualaf dalam menemukan jalannya menuju Islam, begitu pula dengan Lee Kang Hyun, ia memilih Islam karena menilai Islam sebagai agama yang yang mengajarkan keramahan dan solidaritas kepada sesama.
Sudah 25 tahun ia menjadi mualaf, dan sepanjang waktu itu pula dorongan kepada Islam kian besar.
Perkenalan dengan Indonesia
Saat itu tahun 1988, saat Lee pertama kali datang ke Indonesia. Kedatangannya kala itu adalah untuk mengunjungi sahabat pena-nya yang berasal dari Aceh, Indonesia. Dia datang dan tinggal di rumah sahabatnya tersebut selama satu bulan, dan selama kurun waktu itu ia merasakan cinta yang mendalam bagi Indonesia, negara yang bisa dibilang asing baginya.
Dari persahabatannya dengan Novianto, dan pengalaman mengunjungi berbagai tempat di Indonesia, keramahan dan keakraban masyarakat Indonesia pun membekas di hatinya.
Ketertarikannya kepada kehidupan masyarakat Indonesia inilah yang kemudian membuatnya tertarik dengan Islam. Ia pun sempat belajar bahasa Indonesia di Universitas Indonesia selama 23 hari. Bahkan menurutnya, bahasa Indonesianya saat itu jauh lebih baik dari bahasa Indonesianya yang sekarang.
Rasa cinta dan ketertarikannya kepada Indonesia telah muncul jauh sebelum ia menjadi pimpinan Samsung. Lee Kang Hyun tak menyangka jika dikemudian hari, kedekatan batinnya dengan Indonesia mengantarkannya untuk menduduki posisinya sekarang. Seusai menyelesaikan studinya di Fakultas Ekonomi di Hankuk University Korea Selatan pada 1991, ia bergabung dengan perusahaan elektronik terbesar di negeri Ginseng, Samsung.
Dua tahun menekuni bidang ekspor, diapun mendapat promosi jabatan. Karena dianggap paling banyak Mengetahui Indonesia, Lee kemudian mendapat kepercayaan untuk menjadi manajer impor-ekspor di PT Samsung Indoneisa pada tahun 1993. Itu adalah kali kedelapan Lee berkunjung ke Indonesia. Walaupun ia tak terlalu terkejut dengan penugasannya, namun ia mengaku sangat senang.
Pada kesempatannya tersebut, ia memiliki beban psikologis lebih tinggi karena kedatangannya kali ini ke Indonesia bukan hanya sekedar berlibur atau bertemu dengan sahabatnya, namun juga mengawasi dan mendorong etos kerja para karyawan yang ada di bawah agar menjadi lebih baik. Ia pun memperhatikan setiap karyawannya dengan baik, hingga ia pun mengambil kesimpulan dari para karyawannya bahwa mereka yang ibadahnya tekun dan disiplin dalam salat adalah karyawan yang berprestasi.
Dari situlah rasa ketertarikannya kepada Islam menjadi lebih besar dan Islam pun kian menari dalam sanubarinya. Diakuinya pula, keinginan memeluk Agama Ilahi yang paling sempurna itu juga karena keinginan lebih dekat dengan lebih 2.000 karyawan di pabrik Samsung di Cikarang Jawa Barat.
”Bukan karena unsur lain. Tapi memang kalau saja saya Islam, maka bila harus menyatukan diri dengan para karyawan, saya bakal lebih diterima. Namun intinya bukan karena mayoritas Islam terus saya jadi Islam. Bukan karena itu,” tegasnya.
Lee menceritakan, bahwa ia takjub dengan solidaritas umat Islam kala itu di akhir tahun 90-an, yang mana suasana keakraban dan kerohanian tidak didapatinya di negara asalnya yang mana tidak bertuhan dan tidak beragama adalah hal yang biasa di sana. Ia pun sempat merasa gamang dan bimbang dalam menentukan arah kerohaniahannya.
Menjadi Mualaf
Dalam perjalanannya menemukan kepastian hatinya memeluk Islam, ia selalu berdiskusi dengan salah satu temannya, Roshim Hamzah, mantan pejabat BIN berdarah Aceh. “Pak Roshim tak pernah memaksakan kehendak. Dia malah lebih banyak memberi contoh bagaimana bisa taat beragama dengan tetap berkarya secara profesional” kenang Lee. Maka, belum genap setahun ia bekerja di Indonesia, Lee Kang Hyun kemudian resmi memeluk Islam setelah bersyahadat di masjid Sunda Kelapa, Jakarta pada tahun 1994.
Saat ia menjadi Muslim, banyak hal dan banyak larangan-larangan yang harus ia patuhi, juga merasakan sulitnya berpuasa di bulan Ramadhan. Menurutnya itu tidak terlalu sulit, karena setelah ia memeluk Islam, kebiasaannya untuk makan daging babi pun hilang. Ia mengakui terkadang teman-temannya masih menawarinya minum, namun itu tak berlangsung lama saat teman-temannya mulai mengerti dirinya.
Namun ada satu hal yang kala itu masih sulit ia tinggalkan apalagi saat ia pulang kampung ke Korea, yakni minum soju. Soju sendiri adalah minuman khas Korea Selatan yang juga mengandung alkohol. Minuman ini adalah minuman tradisional yang mana identik dengan kebudayaan Korea dan rasa penghormatan dengan sesama manusia. Namun ia yakin ia akan bisa mengatasi hal tersebut. Saat itu, bagi penduduk Korea kebanyakan Islam adalah hal yang tabu dan masih dianggap sebagai sekte yang aneh.
Keluarga
Dua tahun menjadi mualaf, Lee kemudian menemukan berkah terbesarnya dengan bertemu jodohnya, seorang wanita asal Sumedang, Jawa Barat. Lee berkenalan dengan istrinya dari ayahnya angkatnya yang tak lain adalah ayah Novandi, sahabat pena-nya. Awalnya, hubungannya dan istrinya tersebut tidak disetujui oleh sang mertua karena dirinya yang berasal dari Korea, namun tak lama akhirnya mertuanya pun merestui hubungan mereka.
Lee kemudian menikah dengan wanita tersebut dan dikaruniai dua orang putra, Bonny Lee dan Boran Lee. Seiring pertumbuhan kedua anaknya, ia makin terketuk untuk mendalami Islam, menurutnya bagaimana ia bisa mendidik kedua anaknya dalam hal agama apabila pengetahuannya sendiri tentang Islam masih harus diperdalam lagi. Beruntung ayah mertuanya pun merelakan waktunya untuk berbagi pengetahuan kepadanya.
Setiap sabtu ayah mertuanya sering mengiriminya surat yang berisikan topik bahasan Islam. Selain surat, mertuanya juga mengirimkan data-data dan dokumen lain soal Islam, dan ia akan meluangkan waktunya untuk mendiskusikannya dengan Bonny, anaknya yang kini semakin besar.
Seiring dengan perjalanan karirnya yang terus menanjak, hingga sekarang ia dipercaya menempati posisi Direktur PT Samsung Electronic Indonesia. Kebiasaan menyebar uang dan berbagi rezeki kepada kaum dhuafa terus menjadi kesehariannya. Namun ia menolak untuk membahas hal tersebut karena tak ingin dianggap dermawan. Baginya ia hanya ingin berbagi dan mendidik anak-anaknya agar tahu kewajiban saling membantu sesama.