KH Misbach, Sosok Ulama Pejuang
HIDAYATUNA.COM – KH Misbach, bagi aktivis dakwah di Jawa Timur adalah ulama yang tak akan mudah dilupakan. Hal ini terjadi karena jejak dakwahnya sangat panjang, sejak zaman penjajahan sampai di alam kemerdekaan.
KH Misbach lahir di Tuban pada 16 Juni 1914. Tokoh ini berperawakan sedang tapi berpostur relatif tinggi unutk rata-rata orang. Sampai 1935 dia masih tinggal bersama orangtuanya di Tuban. Ia tumbuhkembang di lingkungan keluarga yang terkategori sebagai orang biasa, dalam pengertian bukan dari kalangan kiai, ilmuwan, atau pejabat. Orangtuanya berprofesi pedagang.
Pendidikan Misbach diawali di madrasah Al-Ulumi Al-Islamiyah, di komplek Masjid Jami’ Tuban. Setelah tamat, dia lalu mengenal KH Fathurrahman, seorang pemuda lulusan Al-Azhar Mesir yang mendirikan Madrasah Al-Hidayah Al-Islamiyah Tuban.
Di Madrasah Al-Hidayah Al-Islamiyah Tuban, Misbach menyelesaikan Tsanawiyahnya. Tanpa putus, dia langsung ke jenjang sekolah Aliyah di madrasah yang sama. Itu pun dirasa tak cukup, karena di malam hari Misbach masih belajar di Pesantren Makam Agung dengan mengaji kitab-kitab agama berbahasa Arab terutama dalam masalah fikih.
Selepas menyelesaikan aliyah, Misbach diminta menjadi guru di madrasahnya tersebut. Sembari mengajar di pagi-siang, di malam hari dia tetap menambah ilmu dengan mengaji kitab-kitab agama.
Di masa-masa inilah bakat kepemimpinannaya tumbuh. Memang, keadaan di sekitarnya turut memberi andil yaitu meluapnya semangat muda unutk melawan tentara jepang yang baru masuk Indonesia untuk menjajah. Maka, dibentuklah Persatuan Pemuda Al-Hidayah dan beliau menjadi ketuanya. Berbagai kegiatan berhasil dilaksanakan diantaranya yaitu peringatan maulid Nabi yang dilaksanakan seminggu penuh yang juga dihadiri oleh pemuda-pemuda dari Babat, Lamongan, Gersik dan Surabaya.
Di masa sulit itu, organisasi yang diketuai Misbach tersebut terus berkembang dan berpengaruh sampai ke Lamongan, Babat, Gresik, dan Surabaya. Sayangnya, Jepang yang melihatnya sebagai ancaman yang membubarkan Persatuan Pemuda Al-Hidayah. Bahkan, nasib yang sama juga menimpa sang “induk” yaitu Madrasah Al-Hidayah Al-Islamiyah Tuban yang juga membuat para staf pengajarnya banyak yang mendaftarkan diri menjadi tentara PETA.
Pada tahun 1938, ketika berusia 24 tahun, pak Misbach menjadi Ketua Cabang Partai Islam Indonesia (PII) cabang Tuban. Kemudian pada tahun 1943 pak Misbach menikah dengan Masru‟iyah, salah satu cucu jauh KH R. Fatkhurrahman Kafrawi. Dalam pernikahannya dengan Masru‟iyah pak Misbach dikaruniani Sembilan anak yaitu Siti Anisah, Moh. Luthfi, Mufti, Salamah, Moh. Husni, Ahmad Suyuti, Ahmad Chomaidi, Moh. Helmi, dan Ahmad Hanafi. Di akhir tahun itu juga pak Misbach kemudian pindah ke Bojonegoro dan menjadi Wakil Kepala Syumuka.
Setelah itu datang masa baru. Misbach kemudian pindah ke Bojonegoro. Di kota ini, dia yang memang suka menimba ilmu, bisa mendapatkannya dari berbagai forum yang rajin diikutinya. Misal, Misbach aktif di organisasi pemuda Hizbullah. Setelah itu, dia bergabung dengan kelompok dewasa yaitu Sabilillah. Dari lingkungan tersebut beliau banyak mendapat pengetahuan dan pengalaman baru yang pada gilirannya nanti turut mengantarkannya sukses mengemban amanat di sejumlah “posisi” strategis.
Jika di Tuban Misbach pernah menjadi guru, maka di Bojonegoro berbagai jabatan pernah dipegangnya. Misal, Misbach pernah menjadi Wakil Kepala Kantor Agama Bojonegoro (1943), anggota Badan Eksekutif Karesidenan Bojonegoro (di zaman penjajahan Jepang). Lalu, di awal masa kemerdekaan RI, Misbach menduduki jabatan sebagai kepala Kantor Agama Karesidenan Bojonegoro menggantikan KH Fathurrahman yang menjadi Menteri Agama.
Minat Misbach yang tak pernah berhenti atas masalah-masalah sosial-kemasyarakatan membawanya untuk tetap terlibat dalam pengatuan politik praktis. Saat Masyumi didirikan pada November 1945, pak Misbach bersama rekan-rekan perjuangannya segera mendirikan cabang Bojonegoro yang kemudian dipimpin olehnya sendiri. Pada tahun 1950 pak Misbach pindah ke Surabaya karena diangkat menjadi Kepala Kantor Agama Provinsi Jatim. Pada saat yang sama juga beliau juga terpilih menjadi Wakil Ketua Masyumi Jawa Timur.
Pada tahun 1955, pada pemilu pertama, karena aktifitas pak Misbach yang tinggi akhirnya beliau ditunjuk menjadi ketua KAPU (Ketua Aksi Pemilihan Umum) yang kemudian mengantarkan beliau menjadi wakil Jatim di Parlemen dan Konstituante setelah berhasil
mengumpulkan tanda tangan dan cap jempol dari 40.000 anggota Masyumi yang dilaksanakan di Blimbing, Paciran, Lamongan
Pada 1955, lewat Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) Misbach terpilih sebagai anggota Konstituante (semacam DPR/MPR). Beliau aktif di Masyumi sampai tahun 1960, saat partai itu membubarkan diri karena tekanan dari rezim Orde Lama. Selepas itu, dia lebih memfokuskan diri di dunia dakwah dengan memberikan pengajian di berbagai tempat, khususnya di Jawa Timur.
Pada tahun 1964, Ia terpilih sebagai Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Jawa Timur. Adapun DDII adalah organisasi dakwah yang dilahirkan oleh tokoh-tokoh Masyumi, antara lain M.Natsir. Banyak usaha-usaha yang dilakukan DDII Jawa Timur pada masa pak Misbach salah satunya yaitu mendirikan musholla dan masjid yang tersebar diberbagai wilayah di Jawa Timur, diantaranya yaitu di Ponorogo, Magetan, Nganjuk, Malang, Lumajang, Jember, Pasuruan, Tuban, Paciran, Sedayu Gersik dan juga masjid al-Hilal yang sekarang menjadi kantor kesekretariatan DDII Jawa Timur.
Prestasi dakwah Misbach terus menanjak. Pada 1975, Misbach terpilih sebagai salah satu Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur. Dia juga pernah tercatat sebagai Pembina Masjid Al-Falah Surabaya. Beliau pernah pula menjadi Kepala Departemen Agama Provinsi Jawa Timur.
Sosok KH Misbach merupakan sosok yang unik. Beliau kyai yang bukan keturunan kyai, dia juga kiai yang tidak memiliki pesantren. Terlihat bahwa masyarakatlah yang diam-diam menyematkan “gelar” kyai kepada tokoh yang tak pernah lelah berceramah di mana-mana, bahkan sampai jauh di berbagai pelosok pedesaan.
Terkait dengan dakwah, sebenarnya sangat banyak karya tulis Misbach. Karya-karya itu berupa naskah pidato, ceramah ilmiah, makalah untuks ebuah diskusi atau seminar, dan lain-lain. Misbach berbicara di banyak tema, seperti soal urgensi penegakan akidah, strategi dakwah, peran umat dalam pembangunan bangsa, lingkungan hidup, dan lain-lain. Namun sayang, naskah-naskah itu tak sempat dihimpunnya. Padahal, jika naskah-naskah beliau disusun, disunting dan dikumpulkan, maka sangat mungkin akan lahir buku-buku yang nilai gunannya akan sangat berumur panjang.
Sebagai pejuang dakwah, Ia memiliki pergaulan yang luas. Sahabat-sahabatnya sangat banyak. di tingkat nasional, antara lain dia bersahabat dengan M. Natsir dan KH Wahid hasyim. Di Surabaya dan Jawa Timur, dia bersahabt dengan KH Abd. Wahid Suyoso dan KH Syafi’i A. Karim.
Sang Lampu
KH Misbach meninggal pada tahun 1998, ia merupakan sosok yang menjadi teladan banyak orang. Dia selalu peduli atas usaha menyelesaikan persoalan-persoalan di tengah masyarakat. dia seorang pembelajar yang selalu haus lmu dan pada saat yang hampir bersamaan, ia berusaha untuk menyampaikannya ke masyarakat.