Kisah Mbah Rohmat Wonoroto, Kyai Lumpuh Multi-Karomah

 Kisah Mbah Rohmat Wonoroto, Kyai Lumpuh Multi-Karomah

Meneruskan Perjuangan Para Kiai (Ilustrasi/Istimewa)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Di suatu wilayah yang bercuaca dingin, tepatnya di lereng Gunung Sumbing, terdapat sebuah desa bernama Wonoroto, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang. Di sana terdapat sebuah makam waliyullah asli kelahiran Desa Wonoroto, Magelang, yakni Syekh Muhammad Rohmat Amin atau Mbah Rohmat Wonoroto.

Makam beliau kerap didatangi beberapa peziarah. Puncaknya setahun sekali setiap akhir bulan Zulkaidah, ribuan orang dari berbagai daerah dari wilayah Magelang dan sekitarnya hadir memperingati haul beliau.

Mengapa bisa demikian orang menghormati Mbah Rohmat? Karena beliau terkenal sebagai waliyullah yang memiliki banyak karomah. Salah satunya adalah lumpuh puluhan tahun tanpa hadats.

Menurut cerita yang masyhur, semasa hidup beliau oleh Allah Swt dikaruniai sakit lumpuh sejak umur 25 tahun hingga beliau wafat.

Potret Masa Kecil dan Masa Muda Mbah Rohmat

Dikutip dari tulisan Fahmi Ali, sejak kecil Mbah Rohmat Wonoroto hidup penuh keprihatinan. Ketika masih kanak-kanak, ayah beliau, Mbah Muhammad Amin diperintah mertuanya untuk transmigrasi ke Lampung mengikuti jejak mertuanya yang sukses di sana.

Saat itu sebetulnya Mbah Amin enggan untuk transmigrasi, namun untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan akhirnya beliau memutuskan untuk berangkat bersama istri dan 2 anaknya yang masih kecil, termasuk Mbah Rohmat dan anak yang masih dalam kandungan istrinya.

Sesampainya di terminal Magelang Mbah Amin pamit ke istrinya untuk membeli makanan ringan sambil mengajak Mbah Rohmat kecil.

Namun ternyata Mbah Amin tidak kembali bergabung bersama istrinya untuk menuju Lampung.

Mbah Amin menggendong mbah Rohmat kecil menyelinap keluar terminal berjalan berhari-hari tanpa tujuan. Berjalan sambil menggendong mbah Rohmat yang masih balita.

Setiap hari beliau hanya minum air hujan dan bahkan setiap ada makanan pemberian orang beliau kasihkan ke Mbah Rohmat kecil.

Akhirnya perjalanan beliau sampai di Desa Sukomarto, Kecamatan Jumo, Kabupaten Temanggung. Kemudian perjalanan berlanjut kembali ke desa Wonoroto sampai genap 2 minggu.

Dari sinilah Mbah Rohmat hidup bersama ayahnya secara pas-pasan hingga 25 tahun kemudian baru bertemu ibu serta saudara-saudara kandungnya.

Sejak muda Mbah Rohmat sudah memperlihatkan keistimewaannya. Meski kondisi kaki sakit-sakitan, beliau dikenal sebagai santri yang rajin pergi berguru ke ulama-ulama sekitar Magelang dengan berjalan kaki.

Di antara guru beliau adalah Kyai Sujud, Kyai Darwi, Kyai Kholil dan Kyai Darsin. Kyai Darsin sendiri adalah santri Mbah Maksum Lasem. Melalui Kyai Darsin inilah Mbah Rohmat mendalami ilmu agama dengan banyak mengkaji kitab.

Dengan demikian sanad keilmuan Mbah Rohmat sampai ke Mbah Maksum Lasem. Sedangkan untuk jalur thariqah beliau mengikuti Thariqah Syadzaliyah.

Masa muda Mbah Rohmat juga dikenal gemar berziarah ke makam-makam auliya’ wilayah Magelang. Beliau berziarah dengan berjalan kaki meski dalam kondisi sakit.

Apabila tujuan ziarah masih di sekitar desa Wonoroto beliau kerap mengajak anak anak kecil dengan iming-iming mencari burung.

Hal itu beliau lakukan untuk mengenalkan generasi muda tradisi ziarah agar kenal kepada leluhur. Maka tidak heran jika banyak yang ziarah ke makam beliau setelah wafatnya.

Cerita Tentang Karomah Mbah Rohmat

Karomah beliau mulai terlihat ketika Mbah Rohmat Wonoroto mulai membuka majelis pengajian. Pada saat itu adalah masa paling menyedihkan. Saat itu adalah masa-masa awal kelumpuhan beliau, yaitu ketika beliau berumur 25 tahun.

Para santri dan keluarga kebingungan bagaimana cara merawat beliau karena setiap kali disentuh beliau mengaduh kesakitan. Pada masa awal-awal kelumpuhan ini beliau masih sering minta tolong santri untuk buang air kecil atau buang air besar, itupun beliau lakukan 2 minggu sekali.

Setelah 2 tahun berjalan, beliau sama sekali tidak buang hajat selama puluhan tahun sampai beliau wafat. Kabar sosok beliau sebagai kyai muda, alim namun lumpuh itu lambat laun mulai terdengar luas.

Maka seiring berjalannya waktu santri beliau pun semakin banyak, hingga akhirnya beliau mendirikan mendirikan Pesantren Darul Muhtadin Wonoroto sekitar tahun 1996.

Diceritakan juga oleh salah satu santri kinasih beliau, kyai Nur Qomar dari Desa Kentengsari, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang.

Meski dalam keadaan tidak bisa berdiri beliau mampu mangambil kitab-kitab di rak sekitar beliau dengan sangat mudah layaknya manusia normal hanya menggunakan tongkat Bambu kecil panjang.

Beliau menggunakan tongkat bambu tersebut sambil tiduran dan kitab yang diinginkan sudah pasti jatuh di dada beliau. Setelah selesai dibaca kitab tersebut juga dikembalikan menggunakan tongkat bambu yang sama.

Kisah lain diceritakan oleh KH. Thoifur Mawardi Purworejo, ketika mengisi haul beliau. Kyai Thofur diberitahu tentang ke-ta’ajub-an Mbah Maemun Zubair Sarang Rembang pada Mbah Rohmat.

Setelah mendengar kabar tentang Mbah Rohmat, Mbah Maemun bersilaturahmi ke kediaman Mbah Rohmat. Sesampainya di depan pintu, sebelum Mbah Maemun mengucap salam, Mbah Rohmat sudah mempersilahkan beliau masuk.

Padahal posisi Mbah Rohmat di dalam kamar dan tidak ada yang memberitahukan kehadiran Mbah Maemun.

Kisah lainnya dalam tulisan M. Abdullah Badri yang dilansir oleh bangkitmedia.com, saat santri sedang renovasi rumah dan pesantren, beliau bisa memerankan diri sebagai pengawas renovasi yang teliti.

Dari atas kasur, sambil tiduran beliau mengingatkan tukang bahwa pengerjaannya kurang pas dan lain sebagainya. Sesekali santri juga dipanggil untuk diberi arahan renovasi, padahal beliau sama sekali tidak melihat sketsa bangunan yang sedang direnovasi.

Setelah semua renovasi rampung kecuali atap rumah mbah Rohmat, santri segan mengutarakan maksud renovasi atap, karena menurut santri merupakan su’ul adab jika menaiki atap yang di bawahnya terdapat kyai yang sedang berbaring lumpuh.

Ketika santri matur, mbah Rohmat menjawab,

“Gimana, mau merenovasi atap? Tidak apa-apa nanti saya pakai selimut.”

Kemudian santri mulai memanjat, namun anehnya ketika santri-santri sampai atap ternyata mbah Rohmat sudah tidak ada di pembaringan seperti hilang ditelan bumi.

Begitulah beberapa karomah Mbah Rohmat Wonoroto. Masih banyak sekali karomah beliau dari cerita-cerita masyarakat sekitar. Banyak sekali masyarakat sekitar yang datang semasa beliau hidup untuk meminta doa dan pertolongan.

Sebagian besar orang yang pernah sowan ke beliau juga mengatakan meski beliau tidak pernah ke toilet untuk mandi atau buang hajat namun beliau sama sekali tidak berbau badannya dan wajahnya pun terlihat bersinar. Padahal beliau juga minum-minum layaknya manusia pada umumnya.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *