Siapakah Wali Majdzub?

 Siapakah Wali Majdzub?

Siapakah Wali Majdzub? (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Setiap kali ada sosok yang menghebohkan muncul ke permukaan dengan segala polemik yang ditimbulkannya ada saja yang tampil membelanya.

Tentu ini wajar. Karena tidak ada satupun di dunia ini yang manusia sepakat untuk pro atau sepakat untuk kontra.

Hanya yang agak mengagetkan ketika yang muncul membela ini adalah seorang sarjana hadits yang juga dikenal dengan kajian-kajiannya dalam bidang tasauf.

Dalam komentarnya tentang sosok yang saat ini sedang viral, ia mengajak untuk tidak mengomentari sosok tersebut dengan cara tidak sopan. Untuk bagian ini saya setuju.

Seorang mukmin mesti menjaga lisan dan tulisannya dalam setiap kondisi. Apa yang keluar dari lisan dan pikirannya mencerminkan hati dan karakternya.

Tapi kemudian ia seolah mengatakan bahwa sosok tersebut adalah seorang wali majdzub. Tentang klaim sosok itu menulis 500 buku ia berkata, “Mana tahu benar…”

Penyematan label ‘wali’ pada seseorang sepertinya terlalu mudah bagi sebagian orang.

Kalau ada orang yang punya kelebihan tertentu yang tidak dimiliki manusia kebanyakan maka diduga ia adalah wali.

Kalau ia menampakkan perilaku aneh dan tidak biasa, maka diduga ia adalah wali majdzub atau wali mastur.

Sebenarnya adakah orang yang disebut wali majdzub itu? Kalaupun ada, apa tandanya? Adakah cara untuk menjadi seorang wali majdzub? Tulisan ini hanya akan memberikan gambaran umum saja.

Sesungguhnya setiap mukmin itu adalah wali Allah Swt. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt:

اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ … (البقرة 257)

Artinya:

“Allah adalah Wali orang-orang beriman, Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya…”

Tapi ini wali dalam pengertian umum (ولاية عامة). Tentu ini tidak terlalu istimewa.

Yang istimewa adalah wali dalam pengertian khusus (ولاية خاصة), dan ini yang dimaksud dalam bahasan ini.

Pembagian wali kepada umum dan khusus ini bahkan juga diakui oleh Syekh Ibnu Taimiyah yang sikapnya terhadap sufi dan tasauf sudah dimaklumi (lihat ar-Radd ‘aa asy-Syadzili fi hizbaihi).

Apa yang dimaksud dengan wali dalam pengertian khusus ini?

Para ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan pengertian wali. Kalangan mutakallimin -sebagaimana dinukil Imam Ali al-Qari- menyebutkan bahwa wali adalah:

مَنْ كَانَ آتِيًا بِالِاعْتِقَادِ الصَّحِيحِ الْمَبْنِيِّ عَلَى الدَّلِيلِ وَبِالْأَعْمَالِ الشَّرْعِيَّةِ

“Orang yang memiliki keyakinan yang benar didasarkan pada dalil dan mengerjakan amal-amal syariat.”

Sepertinya pengertian ini lebih cocok untuk wali secara umum.

Imam al-Ghazali ketika menjelaskan perbedaan antara Nabi dan Wali mengatakan bahwa wali itu:

شخص مكاشف بالحقائق ولا يشتغل بإصلاح الخلق

Artinya:

“Orang yang diberitampak beberapa hakikat tapi tidak diperintah untuk memperbaiki manusia.”

Dari sekian banyak definisi wali, barangkali penjelasan Imam al-Qusyairi yang paling banyak diterima.

الْوَلِيُّ إِمَّا فَعِيلٌ بِمَعْنَى الْمَفْعُولِ، وَهُوَ مَنْ يَتَوَلَّى اللَّهُ حِفْظَهُ وَحِرَاسَتَهُ عَلَى التَّوَالِي، أَوْ بِمَعْنَى الْفَاعِلِ، أَيْ: مَنْ يَتَوَلَّى عِبَادَةَ اللَّهِ وَطَاعَتَهُ، وَيَتَوَالَى عَلَيْهَا مِنْ غَيْرِ تَخَلُّلِ مَعْصِيَةٍ، وَكِلَا الْوَصْفَيْنِ شَرْطٌ فِي الْوِلَايَةِ

Artinya:

“Kata wali dalam bentuk fa’iil dengan makna maf’ul, yaitu orang yang selalu dipelihara dan dijaga oleh Allah Swt, atau dengan makna fa’il, yaitu orang yang menjaga ibadah dan ketaatan kepada Allah Swt, konsisten dalam hal itu tanpa diselingi maksiat. Kedua sifat ini adalah syarat untuk mendapat wilayah.”

Wali dalam pengertian pertama (dengan makna maf’u’l) inilah yang dimaksud dengan istilah الْمَجْذُوبُ السَّالِكُ atau disebut juga dengan الْمُرَادُ (yang diinginkan).

Sementara wali dalam pengertian kedua (dengan makna fa’il), ini yang dimaksud dengan istilah السَّالِكُ الْمَجْذُوبُ atau الْمُرِيدُ (yang menginginkan).

Kedua pengertian atau kondisi ini didasarkan pada firman Allah Swt:

اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ [الشورى: 13]

Artinya:

“Allah memilih pada-Nya orang yang Dia kehendaki dan menunjuki pada-Nya orang yang kembali.”

Lalu apa arti majdzub? Secara bahasa jadzab berarti menarik. Jadi, majdzub artinya ditarik.

Imam Ali al-Qari berkata:

وَمَعْنَى الْجَذْبَةِ أَنَّهُ يُنَاجِي الْمَجْذُوبَ مِنْ أَمْرِ الْمَلَكُوتِ مَا يُدْهِشُ عَقْلَهُ وَيَأْخُذُهُ عَنْ نَفْسِهِ

“Pengertian jadzbah adalah Dia menyeru seorang majdzub dari amar malakut; sesuatu yang mencengangkan akalnya dan menariknya dari dirinya.”

Dapat dipahami bahwa majdzub adalah orang yang dipilih dan diinginkan oleh Allah Swt untuk menjadi wali-Nya.

Karena ini adalah pilihan dan keinginan dari Sang Pemilik Keinginan maka tidak ada standar tertentu dalam hal ini karena Dia Maha Mengatur, tidak diatur, Dia Maha Menentukan, tidak ditentukan.

Karena itu seorang wali majdzub terkadang menampakkan tingkah laku yang tidak biasa atau tidak wajar dalam pandangan manusia sehingga wali majdzub sering dianggap gila.

Anggapan ini bahkan ada dalam pikiran sebagian ulama muhaqqiq seperti disebutkan Imam Zarruq dalam kitab ‘Uddah Murid Shadiq:

ما زال يختلج في نظري أن المجذوب فاقد عقل التكليف، فكيف تنسب له الولاية، حتى فتح الله سبحانه: بأن العقل الذي ناط به الشرع التكليف، هو عقل تدبير المعاش، فإذا فقد عاد الإنسان كالبهيمة في العالم، يعرف مصالح جسمه الحالية دون غيرها، فصار له حكمها في سقوط الاعتبار، إلا أن العقل إن فقد بخيالات وهمية كان صاحبه مطرحا ظاهرا وباطنا، وإن فقد بحقيقة إلهية كان له حكمها، فيعظم صاحبها من حيث أنه صار محلا لمعنى شريف، ولأن تلفه كان في الله، فتعين تعظيمه لله تعالى

Artinya:

“Saya beranggapan bahwa majdzub itu tidak memiliki akal taklif, jadi bagaimana mungkin ia dikatakan wali?

Sampai akhirnya Allah Swt membuka pikiranku bahwa akal yang menjadi standar untuk taklif itu adalah akal untuk mengurus kehidupan.

Kalau akal ini tidak ada maka manusia tak ubahnya seperti binatang (yang tidak diberikan akal). Ia hanya tahu kebutuhan jasadnya sekarang, tidak yang lain.

Karena itu statusnya sama dengan binatang dalam hal taklif. Hanya saja kalau akal itu hilang disebabkan waham (ilusi atau khayalan) maka orang itu ‘dicampakkan’ lahir dan batin.

Namun kalau hilangnya karena hakikat ketuhanan maka statusnya menyesuaikan dengan itu; ia dimuliakan karena ia menjadi tempat untuk sesuatu yang mulia. Di samping itu juga, ‘rusaknya’ akal itu dalam jalan Allah sehingga ia dimuliakan untuk memuliakan Allah Swt.”

Jadi ‘gilanya’ wali majdzub ini bukan gila yang sesungguhnya melainkan gila dalam pandangan manusia yang belum mencapai maqamnya.

Namun demikian, ia tetap berada dalam syariat seperti yang ditegaskan Imam Al-Qusyairi di atas.

Bisa jadi juga ‘gila’ yang dimaksud adalah ia diberikan pemahaman yang tidak biasa terhadap nash; pemahaman di luar area fiqih zhahir.

Ini seperti dialog yang terjadi antara seorang yang dijuluki Shu’luk al-Majnun dengan Imam Abu Hanifah seperti diceritakan oleh Imam al-Kasymiri dalam Faidhul Bari.

“Suatu ketika Shu’luk al-Majnun bertemu Abu Hanifah. Ia (Shu’luk) sedang makan roti sambil berjalan.

Abu Hanifah menegurnya, “Tidak adakah tempat untuk engkau duduk lalu makan dengan tenang?”

Seketika Shu’luk membacakan hadits:

مَطْلُ الغَنِيِّ ظُلْمٌ

Artinya: “Penundaan orang yang kaya adalah kezaliman.”

Yang ia maksudkan, “Aku sedang lapar. Ketika aku mendapat roti berarti aku kaya. Kalau aku menunda untuk memakan roti ini berarti aku zalim.”

Mendengar jawaban ini Abu Hanifah hanya tersenyum. Di akhir cerita, Imam al-Kasymiri berkata:

وهو عندي مجذوب

Artinya: “Menurutku orang ini adalah majdzub.”
***
Kesimpulannya, tidak dipungkiri adanya wali majdzub. Namun tidak sembarangan juga menyematkan label ‘wali majdzub’ pada siapapun yang tampak berbeda dari manusia kebanyakan.

Ketika seseorang menampakkan perilaku yang menyimpang dari syariat, mengaku-aku sesuatu yang nyata bohongnya, maka ia tidak layak disebut wali.

Mari perhatikan dengan seksama pesan Imam Zarruq berikut ini :

وطائفة اعتقدوا الإباحة للولي في كل ما يتناوله أو يأتيه، حتى لو رأوه على محرم ما أنكروا عليه، وربما دخل عليهم فيه بعض الناس، فكان ضالا مضلا، وهو فيما وقع فيه إما عاص إن وقع مرة بحسب غلبة الشهوة والقدر الجاري، أو فاسق إن تكرر منه ذلك ودام مع الإصرار، وذلك ينفي الولاية، أو صاحب حال يسلم له ولا يقتدى به، ويطلب منه حق الله، ولا يهزأ به، أو محكوم له بحكم المجانين في ظاهره، بحيث تسقط عنه الأحكام، ويعتنى به لما قام بقلبه

Artinya:

“Ada orang yang meyakini seorang wali boleh melakukan apa saja, sehingga ketika mereka melihatnya melakukan sesuatu yang haram mereka tidak mengingkarinya.

Terkadang orang yang bukan wali disebut wali, akhirnya ia sesat dan menyesatkan.

Padahal apa yang dilakukannya boleh jadi maksiat jika terjadi satu kali karena tidak kuasa menahan syahwat dan taqdir yang berlaku, dan boleh jadi fasik kalau hal itu berulang kali ia lakukan. Hal ini akan mencabut wilayah (kewalian) dari dirinya.”

Atau bisa jadi ia shahibul hal. Dalam hal ini apa yang ia lakukan diiyakan saja tapi tidak untuk diikuti. Darinya dituntut hak Allah. Tapi ia tidak boleh diolok-olok.

Atau bisa jadi ia dihukumi sebagai majnun (gila) secara zhahir dan hukum syariat gugur dari dirinya. Ia dijaga karena sifat yang ada dalam dirinya.”

والله تعالى أعلم وأحكم

[]

Yendri Junaidi

Pengajar STIT Diniyah Putri Rahmah El Yunusiyah Padang Panjang. Pernah belajar di Al Azhar University, Cairo.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *