Kilas Sejarah Tradisi Sekaten
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Setelah lima tahun tidak dapat dinikmati oleh warga Yogyakarta atau dua tahun bagi warga Solo, pasar sekaten akhirnya diadakan kembali.
Di Yogyakarta sendiri, yang membedakan pasar sekaten kali ini dengan sebelumnya adalah lokasinya. Biasanya diadakan di Alun-alun Utara, kini di jalan Parang Tritis.
Namun demikian, jika dilihat dari sejarahnya, pasar malam Sekaten sebetulnya bukanlah acara inti dari Sekaten atau Sekatenan itu sendiri.
Sekaten sudah ada jauh bahkan sebelum keraton Yogyakarta dan keraton Surakarta itu sendiri.
Saalah satu versi mengatakan bahwa Sekaten sudah ada sejak era Majapahit sebagai bentuk upacara memohon keselamatan pada Tuhan agar para Raja dan rakyatnya senantiasa dalam perlindungannya. Versi lainnya mengatakan Sekaten ada sejak masa Kerajaan Demak.
Awal mula munculnya tradisi Sekaten diperkirakan terjadi pada tahun 1477 M.
Saat itu Raden Fatah selaku Adipati kabupaten Demak Bintoro mengadakan musyawarah bersama para wali dalam rangka meningkatkan syi’ar Islam.
Salah satu momentum yan dipilih adalah perayaan maulid Nabi. Untuk menarik perhatian masyarakat pada masa itu, dibunyikanlah dua perangkat Gamelan.
Di Keraton Surakarta, Gending Gamelan dinamai Gamelan Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari, sedangkan di Keraton Yogyakarta dinamai Kyai Nagawilaga dan Guntur Madu.
Keduanya dibunyikan secara bergantian di Bangsal Pagongan, mesjid Agung Keraton Surakarta dan di masjid Gede Kauman Yogyakarta.
Filosofi dua nama Gamelan tersebut dikenal sebagai simbol syahadatain.
Pengucapan syahadatain atau dua kalimat syahadat merupakan salah satu syarat untuk masuk Islam.
Hal ini disinyalir sebagai trik para wali masa itu untuk menyiasati dakwah Islam agar masyarakat tertarik masuk Islam.
Acara inti sekatenan ini berlangsung dari tangal 5 Rabiul Awal hingga tanggal 12. terdiri dari beberapa rangkaian. Dikutip dari skripsinya Nursholehah yang berjudul “Akulturasi Islam dengan Budaya Jawa pada Tradisi Sekaten di Keraton Kesultanan Ngayogyakarto Hadiningrat” (2018: 54-62), berikut tahapan upacara Sekaten:
Pertama, tahap persiapan. Pada tahap ini Gangsa Sekaten atau Gamelan dikeluarkan dari tempat penyimpanannya menuju Bangsal Pancaniti.
Persiapan selanjutnya adalah perbendaharaan lagu Sekaten.
Kedua tahap pemukulan Gamelan. Gamelan dibunyikan pada pukul 19.00 WIB hingga pukul 23.00 WIB tanggal 5 Rabiul Awal di Bangsal Poncotini.
Mula-mula yang dibunyikan terlebih dahulu adalah Kanjeng Kiyai Guntur Madu disusul Kyai Nagawilaga.
Di Bangsal ini pula Sultan menyebarkan udhi-udhik ke arah para penabuh Gamelan sebagai simbol sedekah, doa keselamatan dan kesejahteraan dari raja kepada rakyatnya.
Ketiga tahap pemindahan Gamelan ke Masjid Gedhe. Upacara yang disebut Miyos Gangsa ini dilaksanakan tepat tengah malam dengan dikawal oleh para abdi dalem dan prajurit keraton.
Sesampainya di Masjid Gedhe, Kyai Guntur Madu ditata di Pagongan Kidul sedangkan Kyai Nagawilaga ditata di Pagongan Lor.
Keempat prosesi Numplak Wajik. Upacara Numplak Wajik dihadiri oleh para penghageng keraton dan abdi dalem dan dilaksanakan pada sore hari tanggal 9 Maulid di Panti Pareden, halaman Kamagangan Keraton.
Pelaksanaan upacara Numplak Wajik merupakan tanda dimulainya pembuatan gunungan wadon untuk grebeg mulud.
Kelima kehadiran Sultan. Ini merupakan puncak acara Sekaten. Bertepatan dengan tanggal 11 Mulud yang kemudian diadakan pembacaan riwayat Nabi Muhammad saw di Masjid Gedhe.
Sebelum memasuki masjid, Sultan menyebarkan udhik-udhik ke lokasi penempatan gangsa kyai guntur madu dan kyai nagawilaga.
Keenam tahap Kondur Gangsa. Pada tahap ini, gamelan dikembalikan ke tempat asalnya pada pukul 23.00.
Dengan dikembalikannya gangsa sekaten ini, maka upacara sekaten telah selesai dan dilanjutkan dengan grebeg mulud pada keesokan harinya.
Ketujuh grebeg sekaten. Grebeg berasal dari kata gumrebeg yang berarti riuh, ribut dan ramai.
Prosesi ini merupakan simbol sedekah dari pihak keraton Yogyakarta kepada masyarakat berupa gunungan.
Upacara grebeg di lingkungan Keraton Yogyakarta maupun Surakarta sebetulnya tidak hanya pada acara Sekaten, melainkan juga pada acara Idul Fitri (grebeg syawal) dan acara Idul Adha (grebeg besar).
Mengenai pasar malam sekaten sendiri sebetulnya relatif baru dalam perayaan sekaten.
Dalam beberapa kesempatan, pihak keraton sendiri menegaskan bahwa esensi Sekaten bukanlah pasar malamnya.
Ini pula yang menyebabkan pasar malam Sekatenan di Keraton Yogyakarta sempat ditiadakan mengingat tidak ada relevansinya dengan kegiatan inti Sekaten.
Ali-alih, sebagaimana disampaikan Sultan, pasar malam justru membuat tanah dan rumput Alun-alun Utara jadi rusak dan tidak terawat. []