Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah Menyayangkan Pembenturan Asy’ariyah dan Astariyah
HIDAYATUNA.COM , Yogyakarta – Belakangan, beberapa pihak mencoba untuk membenturkan kembali mazhab teologi Islam, Asy’ariyah dan Atsariyah (ahlul hadis). Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Amerika Serikat Muhamad Rofiq Muzakkir menyayangkan hal tersebut.
Dilansir dari Muhammadiyah.or.id, ia mengatakan, pembenturan Asy’ariyah dan Atsariyah menggunakan ‘bahan bakar’ turats. Sebenarnya, terangnya, warga Persyarikatan yang umumnya awam soal turats tidak terlalu ambil pusing mengenai polemik-polemik tersebut.
Fenomena berbalas argumen dengan turats sebagai senjata andalannya ini, lambat laun menghasilkan sesuatu yang kontraproduktif. Bagi Rofiq, turast sebagai warisan khazanah peradaban Islam yang paling dibanggakan tidak harus dilihat secara dialektis. Akan tetapi sebaliknya, harus dipotret secara integralistik.
“Sebenarnya sayang juga, ya. Warga Muhammadiyah yang umumnya awam soal turast, disuguhkan dengan cara baca turast yang partisan dan konfliktif seperti ini: Asy’ari vs Ahlul Hadis, Asy’ari vs Ibn Taimiyah, etc,” kata Rofiq sebagaimana dilansir dari Muhammadiyah.or.id.
Turats dalam Islam sendiri berguna sebagai sarana menjalin keterhubungan dengan generasi masa lalu. Dengan kata lain, mengabaikan turats berarti memutus tradisi diskursif dalam Islam.
Turats dan Tantangan Zaman
Selain perannya sebagai penjamin otentisitas, penelusuran terhadap karya-karya intelektual dari tradisi masa silam berguna sebagai basis legitimasi. Ialah untuk menyikapi problematika kehidupan kontemporer sekaligus menjawab tantangan zaman.
Oleh karena itulah Rofiq menyayangkan jika cara berinteraksi dengan turats dilakukan secara parsial, selektif, dan pilih kasih. Meski konflik dan perdebatan memang ada di dalam turats, warisan intelektual dari generasi terdahulu tersebut harus dirangkul semuanya.
Sebab secara etis, turats mengandung banyak pelajaran dan nilai-nilai moral untuk menjawab tantangan zaman. Secara epistemologis, turats menyimpan nilai tentang pola berpikir islami yang dibutuhkan untuk menyikapi problematika kehidupan kontemporer.
“Di sisi lain, kita juga menyayangkan ada yang membaca turast seolah-olah turast adalah toserba (toko serba ada). Pluralitas dan keragamannya harus dirangkul semuanya. Ini namanya qiraah pos-moderniyyah lit turast,” tutur mahasiswa doktoral di Department of Religious Studies Arizona State University, Amerika Serikat ini.
Dengan merangkul semua khazanah turats, lanjutnya, paradigma ekletik dan ekumenikal yang pernah diajukan Yusuf Qaradlawi dalam karya-karyanya menemukan relevansinya. Sebab itu, Rofiq mengatakan bahwa dalam kasus polemik antara Asy’ariyah dan Atsariyah, sebaiknya tradisi jadal dan saling menegasikan segera ditinggalkan. Artinya, Asy’ariyah tidak perlu perlu dibentur-benturkan dengan ahlul hadis. `
“Jadi, al-Ghazali misalnya, tak perlu dibentukan dengan Ibnu Taimiyyah. Ambil saja dari keduanya sepanjang sesuai dengan tantangan zaman modern. Ibnu Taimiyyah dan al-Ghazali bisa dijadikan inspirasi, tetapi bukan berarti harus diambil semuanya. Demikian pula, tidak setuju dengan pendapat Ibnu Taimiyah atau al-Ghazali, bukan berarti semua pendapat mereka harus ditinggalkan,” terang Rofiq.
Sumber : Muhammadiyah.or.id