Ketika Khalifah Umar bin Abdul Aziz Mencari Hakim
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Suatu ketika, khalifah Umar bin Abdul Aziz r.a. sedang mencari sosok hakim yang amanah dan konsisten berpegang teguh pada hukum yang berlaku.
Semalam suntuk Umar bin Abdul Aziz tidak dapat tidur. Matanya susah terpejam karena diliputi kegelisahan yang amat sangat.
Pada malam yang dingin itu, ia sedang sibuk memikirkan siapa yang bakal dipilih menjadi hakim untuk kawasan Bashrah.
Ya, hakim yang kelak akan menegakkan keadilan di tengah masyarakat, memberikan putusan sesuai dengan hukum Allah subhanahu wa ta’ala, dan ia tidak sedikitpun takut baik di saat senang ataupun ketakutan.
Ada dua nama yang sudah dikantongi oleh Umar bin Abdul Aziz. Pilihannya hanya tertuju pada dua orang yang keduanya memiliki kompetensi sangat istimewa, memiliki pemahaman agama yang baik, tegar di dalam menegakkan kebenaran, dan memiliki pemikiran yang bercahaya.
Setiap kali mendapatkan kelebihan pada salah seorang itu dalam satu sisi, ia juga menemukan kelebihan itu ada pada yang seorang satunya lagi dalam sisi yang lain.
Untuk memecahkan masalah itu, pada pagi harinya, Umar bin Abdul Aziz memanggil gubernur Irak, Adiy bin Artha’ah.
“Wahai Gubernur, ” kata Umar bin Abdul Aziz.
“Pertemukanlah Iyas bin Muawiyah dengan Al Qasim bin Rabi’ah. Berbicaralah kepada keduanya mengenai peradilan di Bashrah.
Kemudian, pilihlah salah satu dari keduanya sebagai Hakim di Bashrah.”
“Hamba akan melaksanakan perintahmu, wahai Amirul mukminin,” kata Gubernur ‘Adiy bin Artha’ah.
Mendapat perintah itu, Adiy bin Artha’ah segera mempertemukan Iyas bin Muawiyah dan Al Qasim bin Rabi’ah.
“Sesungguhnya Amirul Mukminin menyuruhku supaya mengangkat salah satu dari kalian berdua untuk menjadi Hakim di Bashrah. Bagaimanakah pendapat kalian?”
Kemudian, Al-Qasim bin Rabi’ah membicarakan tentang Iyas bin Muawiyah bahwa ia lebih berhak daripada dirinya dengan jabatan ini dan menyinggung keutamaan, ilmu dan fiqihnya serta hal-hal lainnya. Sejurus dengan, Iyas bin Muawiyah juga membicarakan kompetensi yang unggul pada diri Al Qasim bin Rabi’ah sehingga layak menjadi hakim.
“Kalian berdua tidak boleh meningalkan majelisku ini kecuali bila telah kalian selesaikan urusan ini,” kata Gubernur.
“Wahai gubernur,” kata Iyas bin Muawiyah.
“Tanyakanlah kepada dua orang ahli fiqh Irak, yaitu Hasan Al Bashri dan Muhammad bin Sirin tentang saya dan Al Qasim bin Rabi’ah, karena keduanya adalah orang yang paling bisa membedakan antara kami berdua.”
Pada waktu sebelumnya, Al Qasim bin Rabi’ah banyak mengunjungi kedua ahli fiqh tersebut. Sedangkan Iyas bin Muawiyah tidak ada hubungan sama sekali dengan keduanya.
Maka tahulah Al Qasim bin Rabi’ah bahwa Iyas bin Muawiyah sebenarnya ingin me- nunjukkan kepada Gubernur bahwa Al Qasim bin Rabi’ah yang layak jadi hakim.
Pada akhirnya, sang Gubernur meminta pendapat kepada kedua Ahli Fiqh di Irak itu. Maka, keduanya menunjuk ke diri Al Qasim bin Rabi’ah, bukan kepada Iyas bin Muawiyah.
“Wahai Gubernur,” kata Al Qasim bin Rabi’ah.
“Jangan tanyakan lagi kepada siapa pun tentang aku dan dia. Demi Allah, sesungguhnya Iyas bin Muawiyah adalah orang yang lebih paham tentang agama Allah subhanahu wa ta’ala dan lebih mengerti tentang peradilan daripadaku.
Jika aku berdusta di dalam sumpahku ini, maka engkau tidak boleh menunjukku sebagi hakim, karena sudah saya melakukan kebohongan. Dan jika aku berkata jujur, maka engkau juga tidak boleh menunjuk orang yang kurang keutamaannya padahal ada orang yang lebih utama darinya.”
Mendengar penjelasan Al Qasim bin Rabi’ah, Iyas bin Muawiyah pun berargumentasi bahwa Al Qasim bin Rabi’ah lah yang tepat menjadi hakim.
“Wahai Gubernur,” kata Iyas bin Muawiyah pun.
“Sesungguhnya telah menghadirkan seseorang untuk engkau jadikan sebagai hakim, namun engkau menghentikannya di pinggir neraka Jahanam.
Lalu dia berusaha menyelamatkan dirinya dengan sumpah palsunya yang senantiasa dia mohonkan agar Allah Subhanabu wa taala mengampuninya dan dia dapat selamat dari apa yang dia takutkan.”
“Seungguhnya orang yang memiliki pemahaman sepertimu ini amat pantas untuk dijadikan hakim.” kata Gubernur kepada Iyas bin Muawiyah.
Kemampuan Iyas bin Muawiyah berpikir logis dan keberadabannya dalam membuat keputusan, akhirnya dapat meyakinkan sang Gubernur untuk mengangkat Iyas bin Muawiyah sebagai hakim di Bashrah.
Setelah diangkat menjadi hakim, Iyas bin Muawiyah bekerja keras untuk menyejahterakan ummat Islam dengan menjunjung tinggi keadilan bagi seluruh masyarakat Islam. []