Kekerasan Terhadap Perempuan di Ruang Politik
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Kebijakan tentang affirmative action di Indonesia memang sudah diberlakukan sejak hadirnya Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 pasal 65 ayat 1 tentang keterwakilan perempuan oleh partai politik dalam pemilihan umum DPR, DPD, DPRD.
Serta hadirnya UU No. 2 tahun 2008 tentang menjamin sekurang-kurangnya 30 % keterlibatan perempuan di partai politik.
Kemudian ketentuan penerapan zipper system dalam Pasal 55 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008.
Sistem tersebut mengatur bahwa setiap 3 (tiga) bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan.
Meskipun begitu, representasi perempuan di bidang politik sampai sekarang masih jauh dari kata harapan.
Budaya patriarki yang mengakar menjadikan perempuan sebagai objek kekuasaan laki-laki dan tidak memberikan hak otonom bagi perempuan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan publik.
Sehingga perempuan kerap dijadikan korban sistem sosial-politik yang tidak adaptif terhadap hak-hak perempuan.
Kerap Mendapat Serangan Politik
Sementara perempuan yang terjun ke dunia politik seringkali mendapat kekerasan dengan serangan politik lantaran identitas keperempuanan yang disandangnya.
Mulai dari komentar miring tentang tubuh, penampilan, dan sejenisnya. Tanpa memperhatikan isu utama dalam kontestasi politik praktis, seperti program kerja, rekam jejak, integritas, dan ideologi politik yang diperjuangkan.
Sebagaimana UN Women dan UNDP mendefinisikan kekerasan politik terhadap perempuan sebagai setiap tindakan atau ancaman kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang menghalangi perempuan untuk menjalankan dan mewujudkan hak politiknya dan berbagai hak asasi manusia, baik di ruang publik maupun privat.
Hak-hak ini mencakup hak untuk memilih dan memegang jabatan politik, memilih secara rahasia, kebebasan untuk berkampanye, berserikat, berkumpul, berpendapat dan berekspresi.
Kekerasan tersebut tidak hanya terjadi bagi mereka yang mencalonkan diri duduk di kursi pemerintahan, namun juga pengurus partai, keluarga, aktivis dan awak media yang vokal dalam menyuarakan isu-isu perempuan.
Tidak hanya dilakukan oleh lawan politiknya, namun oleh warganet, teman politisi, para pemilih bahkan anggota keluarga yang berbeda pilihan politik dengan politisi perempuan tersebut.
Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Politisi Perempuan
Bentuk kekerasan terhadap perempuan di ruang politik salah satunya kekerasan fisik dengan pembunuhan dan penculikan.
Begitu pula ancaman kekerasan terhadap keluarga atau orang terdekat politisi perempuan. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menekan atau mengintimidasi perempuan tersebut agar menarik diri dari politik.
Pada beberapa kasus, kekerasan terhadap perempuan di ruang politik melibatkan penyebaran gambar atau video intim tanpa izin sebagai bentuk pemerasan atau upaya merusak reputasi perempuan politisi.
Laporan Komisi PBB tentang UN Women menyatakan bahwa politisi perempuan sering menghadapi pelecehan verbal, pelecehan seksual, ancaman fisik, dan pelecahan online.
Politisi perempuan sering menjadi target pemfitnahan karakter dan komentar yang merendahkan berdasarkan gender mereka.
Berdasarkan hasil survei Inter-Parliamentary Union (IPU) terhadap 55 anggota parlemen perempuan dari 39 negara diungkapkan, 82% polisi perempuan mengalami kekerasan psikologis, 44% mengalami ancaman kekerasan, dan 65% dari mereka pernah mendapat komentar negatif dari kompetitor atau parpol lain.
Paling banyak Ditemui di Media Daring
Kekerasan terhadap perempuan paling banyak ditemui di media online. Media memiliki pengaruh yang kuat dalam melanggengkan stereotipe politisi perempuan sebagai sosok yang lemah, bimbang, dan emosional.
Survei studi mengungkapkan bahwa 27,3% dari anggota parlemen perempuan yang berpartisipasi mengatakan bahwa media tradisional telah mengunggah gambar atau komentar yang sangat menghina dan mengandung seksualitas.
Persentasinya naik menjadi 41,8% ketika ditanya tentang foto atau komentar yang disebarluaskan melalui media sosial.
Sebagaimana yang pernah terjadi pada Grace Natalie dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) tahun 2018 yang melapor ke Komnas Perempuan bagaimana ia selama setahun mengalami pelecehan seksual berbasis daring. Dimana Foto-fotonya diedit sehingga mengarah pada pornografi.
Serangan-serangan tersebut tentu sangat menghambat para perempuan yang terjun ke dunia politik.
Perempuan yang mungkin berniat masuk ke politik akan berpikir dua kali. Seperti tujuan utamanya untuk meminggirkan perempuan berpartisipasi dalam politik.
Selain itu, menekan kebebasan berekspresi dan mengontrol perempuan.
Ujungnya, menghambat perempuan memiliki kekuasaan sehingga minim perspektif perempuan dalam kebijakan publik. Jika hal ini masih saja terjadi maka diskriminasi terhadap perempuan sulit untuk dihentikan.
Perlunya Upaya Kolaboratif
Untuk itu perlunya mendukung kepemimpinan perempuan dengan bersama-sama kolaborasi dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, partai politik, lembaga pemilihan, penegak hukum, media, dan masyarakat sipil.
Kolaborasi dan kerjasama yang kuat akan memperkuat langkah-langkah bagaimana mengatasi kekerasan terhadap politisi perempuan dan membangun lingkungan yang lebih aman dan inklusif bagi partisipasi politik perempuan.
Begitu juga memberikan peningkatan dan penguatan pemahaman masyarakat terhadap kesetaraan hak laki-laki dan perempuan serta bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Bagi media, penting sekali untuk menghadirkan berbagai perspektif dan pengalaman perempuan di berbagai bidang, termasuk di ruang politik.
Dengan adanya kolaborasi dan kesadaran semua pihak, diharapkan dapat membantu meminimalisir diskriminasi gender di ruang politik maupun di berbagai peran lainnya. []