Kantin Kejujuran Dalam Perspektif Islam
HIDAYATUNA.COM – Kantin kejujuran adalah kantin yang menjual makanan kecil dan minuman. Kantin kejujuran tidak memiliki penjual dan tidak dijaga. Makanan atau minuman dipajang dalam kantin disertai dengan daftar harga yang telah ditetapkan. Dalam kantin tersebut tersedia kotak uang yang berguna menampung pembayaran dari pembeli. Bila ada kembalian maka pembeli mengambil dan menghitung sendiri yang kembalian dari dalam kotak tersebut. Kantin kejujuran merupakan salah satu bentuk kegiatan dalam pendidikan antikorupsi.
Pada prakteknya kantin kejujuran tidak seperti aktivitas jual beli pada umumnya dimana penjual dan pembeli saling bertemu satu sama lain. Seperti yang telah dijelaskan pada teknik kantin jujur bahwa penjual hanya memberikan keterangan harga dan kotak uang untuk meletakkan uang pembayaran dari pembeli sehingga tidak adanya pertemuan antara penjual dan pembeli menyebabkan salah satu rukun jual beli tidak terpenuhi yakni adanya akad yang jelas antara penjual dan pembeli.
Keabsahan Jual Beli Kantin Kejujuran dalam segi rukun dan syarat apakah sudah memenuhi Syariat Islam atau belum. Disini akan kita kupas satu per satu, antara lain:
- Penjual
Salah satu rukun yang terdapat dalam jual beli adalah orang-orang yang berakad (subjek). Terdapat dua pihak, yaitu bai’ (penjual) dan mustari (pembeli). Syarat yang berhubungan dengan keduanya, antara lain yang pertama adalah mumayyiz, baligh dan berakal. Maka tidak sah akadnya orang gila, orang yang mabuk, begitu juga akadnya anak kecil, kecuali terdapat izin dari walinya sebagaimana pendapat jumhur ulama. Hanafiyah hanya mensyaratkan berakal dan mumayyiz, tidak mensyaratkan baligh. Kedua adalah tidak terlarang membelanjakan harta, baik terlarang itu hak dirinya atau yang lainnya.
Jika terlarang ketika melakukan akad, maka akadnya tidak sah menurut Syafi’iah. Sedangkan menurut jumhur ulama, akadnya tetap sah jika terdapat izin dari yang melarangnya, jika tidak ada izin, maka tidak sah akadnya. Dan yang ketiga adalah tidak dalam keadaan terpaksa ketika melakukan akad. Karena adanya kerelaan dari kedua belah pihak merupakan salah satu rukun jual beli. Jika terdapat paksaan, maka akadnya dipandang tidak sah atau batal menurut jumhur ulama. Sedangkan menurut hanafiyah, sah akadnya ketika dalam keadaan terpaksa jika diizinkan, tetapi bila tidak diizinkan, maka tidak sah akadnya.
Dalam praktiknya, jual beli yang dilakukan di kantin kejujuran ini sudah memenuhi syarat karena semua pemiliknya adalah orang yang berakal dan mumayyiz. Penjual menyerahkan barang dagangannya kepada pembeli yang dirasa pembeli sudah dewasa dan memiliki tanggungjawab yang tinggi.
- Pembeli
Pembeli berperan sebagai konsumen. Dalam praktiknya, jual beli yang dilakukan di kantin kejujuran ini sudah memenuhi syarat. Pembeli yang membeli di kantin kejujuran adalah seseorang yang sudah balig dan berakal. Bahkan dalam melakukan transaksi jual beli ini kedua pihak, antara penjual dan pembeli tidak terdapat unsur paksaan. Keduanya saling rela.
- Ijab dan Qabul
Shighat atau ijab dan qabul adalah setiap ungkapan yang menunjukkan kesepakatan pihakpihak akad. Karena keinginan pihak akad itu abstrak, maka dalam fiqih Islam keinginan ini harus diungkkapkan dengan jelas. Ijab dan qabul dapat diwujudkan dengan ucapan lisan, tulisan, isyarat bagi yang tidak mampu berbicara atau menulis, saranan komunikasi modern, dan bahkan dengan perbuatan (bukan ucapan, tulisan, maupun isyarat)yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak untuk melakukan sesuatu kontrak yang umumnya dikenal dengan almu’athah.
Ijab menurut para ulama ahli fikih adalah suatu kata yang petama kali keluar dari salah satu kedua belah pihak (orang yang berkad) yang menunjukkan keridhaan, baik dari pihak penjual atau pembeli. Dalam praktiknya, penjual di kantin kejujuran tidak ikut hadir dalam transaksi jual beli. Penjual menyerahkan segala kepercayaan kepada pembeli. Penjual merasa bahwa pembeli mampu berbuat jujur. Qabul menurut para ahli fiqih adalah suatu ungkapan kedua yang keluar dari salah satu pihak yang menunjukkan keridhaannya dan menyetujuinnya, baik ungkapan itu keluar dari penjual atau pembeli.
Kantin kejujuran ini cenderung menggunakan ijab dan Qabul dengan cara dilalah. Yang dimaksud dilalah adalah setiap pelaku yang menunjukkan keinginan untuk melakukan suatu transaksi. Dilalah yang dimaksud adalah dilalah yang berbentuk lisanul hal. Lisanul hal adalah perbuatan tertentu yang menunjukkan keinginan untuk melakukan akad. Misalnya seseorang yang meninggalkan barangnya di pos satpam maka perbuatan itu menunjukkan keinginan untuk menitipkan barangnya kepada petugas keamanan. Ketiga sarana tersebut, yaitu tulisan, isyarat, ta’ati dan lisanul hal itu diakui oleh syariat Islam sebagai ijab dan kabulyang sah.
Sedangkan menurut sebagian ulama, apabila seseorang meninggalkan barang-barang yang di hadapan orang lain kemudian dia pergi dan orang yang ditinggali barang-barang itu berdiam diri saja, hal ini dipandang telah ada akad ida’ (titipan) antara orang yang meletakkan barang titipan ini dengan jalan dalalah al-hal.
Dalam praktiknya, dimana pembeli mengambil barang yang ingin dibelinya dengan melihat harga yang telah tertera kemudian membayarnya melalui kotak pembayaran yang telah disedikan oleh penjual dan membayarnya sesuai dengan harga barang yang dibeli tanpa melafalkan ijab dan qabul. Hal ini telah menunjukkan bahwa pembeli telah melakukan perbuatan yang menunjukkan keinginan untuk melakukan akad, yaitu mengambil barang dan membayarnya dengan perantara melalui kotak pembayaran yang telah disediakan.
- Objek atau Ma’qud ‘Alaih
Objek akad yaitu harga atau barang yang menjadi objek transaksi seperti objek jual beli dalam akad jual beli (ba’i). Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli dianggap sah apabila ma’qud alaih adalah barang yang tetap atau bermanfaat, berbentuk, dapat diserahkan, dapat dilihat oleh orang-orang yang akad, tidak bersangkutan dengan milik orang lain, dan tidak ada larangan dari syara’.
Barang yang dijual pada kantin kejujuran merupakan barang yang halal dan bermanfaat. Barang yang jual berupa makanan ringan dan beberapa minuman botol. Penjual selalu berhati-hati dalam membeli maupun menerima barang yang masuk dari luar.
Kesimpulannya jual beli barang dengan sistem kantin kejujuran diperbolehkan, asalkan pembeli benar-benar jujur membayar atas barang yang dibeli dan penjual memperjualbelikan barang yang halal dan bermanfaat.
Sumber:Hukum Ekonomi Islam Karya Lubis, S. K & Wajdi F