Kajian Tasawuf; Sebuah Pengantar
HIDAYATUNA.COM – Tasawuf sampai saat ini sudah dikenal dimana-mana bahkan dalam beberapa waktu terakhir sangat ramai dipelajari. Fenomena ini sebenarnya cukup menggembirakan, akan tetapi disisi lain masih saja muncul anggapan menyamakan tasawuf sebagai klenik. Ada juga yang menganggap bahwa tasawuf tidak bersumber dari Islam, bahkan dikatakan meniru dari kepercayaan atau agama lain. Benarkah anggapan dan praduga itu, mari kita uraikan.
Mengenai anggapan bahwa tasawuf itu klenik sangatlah keliru. Anggapan itu muncul jelas karena orang belum benar-benar mempelajari dan menyelami tasawuf. Jika ditelisik lebih dalam tasawuf ini melewati batas akal dan logika manusia. Karena ketidak mampuan akal dan logika menafsir itu kemudian ada orang yang secara serampangan menganggap tasawuf sebagai kelenik.
Jika orang berusaha memahami tasawuf dengan akal atau logika tentu yang temukan adalah kiasan pertimbangan material, padahal tasawuf itu bukan materi. Lebih parahnya lagi jika materi ini dijadikan sampel (contoh) untuk menarik sebuah kesimpulan tertentu, tentu menyesatkan. Ini sama halnya dengan ingin mengarungi nusantara yang terbentang dengan ribuan pulau hanya dengan menggunakan layangan. Padahal denga pesawat saja membutuhkan waktu yang cukup lama. Hal-hal demikian jelas muskil atau tidak memungkinkan.
Tasawuf juga tidak bisa diukur atau dilihat dengan ilmu pengetahuan, sebab ilmu pengetahuan menuntut sebuah pembuktian empiris. Bagaimana sesuatu yang diluar materi dapat diobservasi dan diteliti secara empiris, jelas tidak mungkin. Kalaupun dipaksakan yang ditemui hanya akan mampu melihat kulitnya saja. Ibaratnya orang yang melihat buah durian, dimana orang ini sebelumnya tidak pernah tahu, mengenal apalagi merasakan buah tersebut. Tentu ketika pertama kali melihat akan kebingungan, pasti menganggap durian yang kulitnya memiliki duri-duri besar dan kasar serta bau menyengat begitu, pasti menyatakan buah ini tidak bisa dimakan. Inilah namanya keterbatasan, dunia tasawuf tidaklah sebuah hal yang bisa dicoba-coba dimasuki lantas meninggalkannya.
Tentang anggapan bahwa tasawuf tidak berasal dari Islam tapi tiruan dari kepercayaan tau agama lain. Ini perlu diluruskan, bahwa wajar jika barang bagus itu banyak yang membuat tiruannya. Sumber ketersesatan itu adalah penelitian yang dilakukan pada objek yang keliru yaitu barang tiruan. Tiruan ini yang kemudian dianggap sebagai taswuf atau cikal bakal tasawuf, padahal jelas bukan. Tentu hal demikian menyesatkan yang kemudian membawa keslahan-kesalahan lainnya.
Selain persoalan di atas masih ada lagi anggapan yang kurang tepat mengenai tasawuf, khusunya sufi atau orang yang menekuni jalan tasawuf. Selama ini tidak jarang orang menganggap seorang sufi haruslah miskin atau tidak punya apa-apa. Sebab menurut anggapannya sufi harus menjauhi hal-hal duniawi. Persepsi ini tidak sepenuhnya betul bahwa ada memang sufi yang demikian dan fase-fase demikian. Tapi sufi bukanlah orang yang lepas dan jauh dari hal-hal duniawai, sebab tasawuf itu justru meliputi semesta tidak terbatas. Bagai mana sesuatu yang tidak terbatas mengambil jarak yang justru menjadi bagian darinya.
Tasawuf itu merupakan alam wahyu yang tidak bisa dijangkau dengan akal, logika maupun ilmu pengetahuan. Alam ghaib kenabian yang tidak mungkin dijangkau dengan segala sesuatu yang terbatas. Tulisan disarikan dari pengajian KH. Imron Jamil. Wallahu a’lam.