Beragama di Jalan Sufi, Gus Muham: Ketika Egoisme Individu/Kelompok Merasa Paling Benar Akhirnya Radikal

 Beragama di Jalan Sufi, Gus Muham: Ketika Egoisme Individu/Kelompok Merasa Paling Benar Akhirnya Radikal

HIDAYATUNA.COM, Malang — Saat mengisi dialog soal sufisme dalam Ngobras (Ngobrol Asyik) Ketemubuku #4 di Krida Budaya, Kota Malang, Gus Muham menyampaikan bahwa sufisme sejatinya manusia bisa mengenal dirinya dan mengenal pencipta-Nya, sehingga mampu berada di titik tengah yang seimbang.

“Sebenarnya Sufi bukanlah tari, ya. Ini karena keterbatasan bahasa saja. Sebenarnya sufisme adalah emosional. Luapan cinta dan kasih sayang. Jadi dia tidak terbatas pada tarian saja,” jelasnya dalam keterangan tertulisnya, di Malang, Minggu (08/12/2019).

“Tapi juga di suatu titik yang mendasar bagaimana hubungan minallah (hubungan dengan Allah) dan minannas (hubungan dengan manusia) yang seimbang,” imbuhnya.

Selain itu, ia juga menjelaskan bagaimana keseimbangan itu mencegah radikalisme. Bahwa penganut Sufi ini tidak terbatas oleh apapun, di luar diri sendiri. Baik agama, dan kebudayaan.

“Dia hanya berhubungan dengan kekasihnya, ya Gusti Allah itu. Ya berhubungan dengan Tuhan. Tidak dipengaruhi apapun, kecuali dirinya sendiri. Tapi tetap memiliki norma dan hak,” paparnya.

Di sisi lain, ketika sufisme condong ke salah satu, baik itu agama maupun kebudayaan, maka akan timbul sifat egoisme. Atau istilahnya adalah ke-aku-an dalam sufisme.

“Egoisme atau ke-aku-an inilah yang menyebabkan rasa paling benar. Dan rasa paling benar inilah yang akan menimbulkan, ‘oh kamu kafir, oh kamu masuk neraka, oh kamu penghuni surga,’ kan, jadi merasa benar sendiri. Inilah yang menyebabkan radikalisme. Soalnya rasa ‘aku’ atau rasa ego-nya yang tinggi,” tuturnya.

Pada kesempatan yang sama, untuk menemukan atau mengatasi ke-aku-an, adalah dengan cara diam. Mengeluh akan membakar emosi dan perasaan di dalam dada. Meski terasa sakit, harus dilawan dengan legawa. Itulah yang akan mengendalikan ego.

“Jangan pernah ngresulo atau sambat Meskipun hati sakit. Ketika terbakar oleh amarah, maka akan menjadi sakit. Agar ke aku-an itu diam dan hilang, ya diam saja. Kalau kita mengendalikan ke-aku-an ya akan ketemu aku (Sang Pencipta). Kenali diri sendiri dulu, agar ketemu kekuasaan Allah,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia mengingatkan dalam hidup manusia harus ingat akan keseimbangan. Kehidupan penuh dengan hak dan peraturan. Termasuk dalam beragama dan berkebudayaan.

“Hidup di alam semesta raya pasti ada aturan. Tidak ada manusia yang terbebas dari peraturan. Yo Ngallah yo Ngalam. Hidupnya di tengah – tengah. Jangan fokus ke agama atau kebudayaan. Kalau berlebihan akan menciptakan ego. Jadinya fanatisme dan radikalis,” tukasnya.

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *