Jenis Pakaian Perempuan di Jaman Jahiliah dan di Jaman Nabi Muhammad
HIDAYATUNA.COM – Jahiliah identik dengan peradaban dan akhlak yang buruk. Pelacuran, pelecehan seksual, pemerkosaan, pembunuhan, perang antar suku dan kejahatan-kejahatan lain yang biadab dan tak manusiawi menjadi menu istimewa mereka. Termasuk model atau cara pakain perempuan yang terbuka, ketat dan transparan sehingga setiap lekukan tubuh mereka nampak menonjol dan tembus pandang.
Ilustrasi tentang cara berpakaian perempuan di jaman jahiliah, terdokumentasi dalam sya’ir-syair jahili – seperti dijelaskan oleh Ali Sodiqin – misalnya “Kawanku peminum khamr yang ceria bagai bintang , lalu datang kepada kami penyanyi dengan pakaian yang disemprotkan dengan minyak wangi. Bajunya kedodoran, belahan dadanya yang lebar. Ada yang manis mau saja digerayangi tangan pria pemabok. Begitu merangsang ketika tak tertutup.”
Jenis Pakaian Perempuan di Jaman Jahiliyah
Di antara model pakaian para perempuan di jaman jahiliah adalah sebagai berikut:
Telanjang atau Bikini
Di antara kebiasaan orang-orang Jahiliah baik laki-laki maupun perempuan adalah berpakain telanjang saat thawaf di Ka’bah. Mereka menganggap kelakuan mereka ini baik dan sebagai bentuk pensucian diri. Yang mereka tutupi hanya bagian kemaluan (istilah sekarang adalah berpakaian bikini). Imam Mujahid berkata:
كَانُوْا يَطُوفُونَ بِالْبَيْتِ عُرَاةً، يَقُولُونَ: نَطُوفُ كَمَا وَلَدَتْنَا أُمَّهَاتُنَا. فَتَضَعُ الْمَرْأَةُ عَلَى فَرْجِهَا النِّسْعَةَ أَوِ الشَّيْءَ
Mereka (orang-orang jahiliah) thawaf sambil telanjang. Mereka mengatakan, “Kami thawaf dalam kondisi seperti kami dilahirkan ibu kami.” Sementara yang perempuan hanya meletakkan persendian tangan atau benda lain ke bagian kemaluannya.”
Terbuka Rambutnya
Perempuan-perempuan jahiliah yang didominasi oleh para budak perempuan ketika keluar rumah, mereka memakai jilbab namun rambutnya sengaja ditampakkan. Karena itu, mereka rawan diganggu dan dilecehkan oleh lak-laki jahat.
Pernah suatu ketika, Saudah istri Nabi malam-malam keluar untuk buang hajat, namun ia tidak memakai penutup kepala (kerudung), di tengah jalan, ia diganggu dan digoda oleh beberapa komplotan orang munafiq (orang jahat). Kemudian turunlah ayat tentang jilbab (QS. Al-Ahzab:59).
Kata jilbab menurut imam al-Qurthubi dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an adalah al-saub al-ladzi yasturu jami’ al-badan (pakaian yang menutupi seluruh tubuh). Artinya, mereka memakai pakain yang menutup seluruh tubuh, tetapi bagian rambut terbuka. Kemudian turun perintah kepada istri-istri dan anak perempuan Nabi Muhammad serta istri-istri orang mukmin (nisa’ al-mukminin) agar mereka mengulurkan jilbab-nya (yudnina min jalabibihinna) hingga menutup rambut.
Tujuannya agar mereka mudah dikenali (dzalika adna an yu’rafna) sekaligus menjadi pembeda dari budak-budak perempuan yang suka mengumbar aurat dan agar mereka terhindar dari pelecehan seksual (fala yu’dzain).
Ketat dan Transparan
Dalam istilah Arab, pakaian ketat dan transparan disebut dengan al-Qibthi. Ibunu Rusyd menjelaskan bahwa al-Qibthi adalah jenis pakaian yang ketat yang menempel pada tubuh karena terlalu ketat, sehingga terlihat bagian-bagian tubuh yang menonjol karena bahannya yang tipis, memperlihatkan keseksian tubuh dan menampakkan bagian-bagian tertentu yang dianggap elok. (al-Tahrir wa al-Tanwir, juz 18, hlm. 207)
Dulu, para perempuan di jaman jahiliah memiliki kebiasaan berdandan dengan memakaikan penutup kepala (khimar/semacam kerudung) namun bagian ujungnya disampirkan ke balik punggung sehingga payudaranya terlihat. Artinya, ketika membungkuk payudara mereka terlihat dan ketika berdiri tegak, payudaranya menonjol (dalam istilah sekarang disebut dengan jilboobs). Kemudian al-Qur’an (QS. Al-Nisa’:31) memerintahkan agar para perempuan mukminah (al-mukminat) menjulurkan khimar ke dadanya (wal yadhribna bi khumurihinna ‘ala juyubihinna).
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Azhim menjelaskan bahwa yang dimaksud khimar adalah المقانع يعمل بها صنفات ضاربات على صدور النساء (penutup kepala yang menjulur hingga menutupi dada para perempuan). Kecuali bagian anggota tertentu yang boleh ditampakkan (illa ma zahara minha). Ibnu Asyur dalam al-Tahrir wa al-Tanwir menafsirkan ma zahara dengan wajah, kedua telapak tangan dan kedua telapak kaki.
Karena itu Umar melarang para perempuan mengenakan pakain ala Qibthi. Ia berkata, “Meski pakaian tersebut tidak terlalu ketat, tetapi pakaian tersebut transparan. Karena pakaian ketat dan transparan akan menampakkan bagian bawah tubuh perempuan mulai punggung, payudara dan yang lainnya.” (al-Nazhar fi Ahkam al-Nazhr bi Hasat al-Bashar, Ibnu al-Qathan al-Fasi, hlm. 75)
Jenis Pakaian Perempuan di Jaman Nabi Muhammad Saw.
Khalil Abdul Karim dalam Syadwu al-Rababah bi Ahwal Mujtama’i al-Shahabah mencatat beberapa jenis pakain yang biasa dipakai oleh muslimah di jaman Nabi Muhammad, baik penduduk Mekkah maupun Madinah. Di antaranya adalah:
Al-Mirth
Al-Mirth adalah pakaian yang tidak dijahit (semacam selendang besar), yang biasanya digunakan selimut oleh para perempuan. Bahan jenis pakaian ini terbuat dari sutera, wol dan katun. Diriwayatkan dari Sa’labah bin Malik bahwa Umar bin al-Khatthab pernah membagi-bagikan muruth (jamak dari lafaz mirth) kepada perempuan-perempuan di Madinah.
Dalam Musnad al-Syafi’i disebutkan bahwa ketika Rasulullah berjalan di akhir waktu malam (untuk mengerjakan salat subuh), beberapa perempuan pergi ke masjid berselimutkan muruth. Mereka tidak dikenal karena waktu masih gelap.
Al-Dir’u
Dalam kitab Taj al-‘Arus min Jawahir al-Qamus dijelaskan bahwa al-dir’u adalah pakaian perempuan yang berjahit, kecuali bagian kanan dan kirinya (untuk lengan), sementara bagian tengahnya dilubangi. Yahya bin Abi Sulaim menceritakan bahwa Asma’ binti Nahik pernah sowan ke ndalem Rasulullah dengan memakai al-dir’u.
Al-Qamis
Qamis hampir serupa dengan al-dir’u. Hanya saja menurut Rajab Ibrahim dalam al-Mu’jam al-‘Arabi li Asma’ al-Malabis mengatakan bahwa qamis adalah jenis pakain adopsi dari bangsa Romawi ketika masyarakat Arab Jahiliah berinteraksi dengan mereka di Syam.
Dikisahkan oleh Atha’ bahwa ia bersama Abid bin Umair pernah menemui sayyidah Aisyah saat berada di dekat gunung Sabir (salah satu nama gunung di Mekkah), sementara beliau memakai qamis yang warnanya seperti warna bunga mawar.
Al-Khimar
Khimar adalah kain penutup kepala (sejenis kerudung untuk konteks sekarang). Yahya bin Abi Sulaim mengisahkan bahwa Samra’ binti Nahik ketika menemui Rasulullah mengenakan khimar yang berbahan tebal.
Jenis khimar di jaman itu ada yang polos (sadzij) dan ada yang berwarna (masbugh). Sayyidah Aisyah ketika menggantikan giliran Shafiyah binti Huyai, ia memakai khimar yang dicelup dengan minyak za’faran (al-masbugh bi za’faran).
Al-Izar dan al-Rida’
Izar adalah pakaian yang tak berjahit, yang digunakan untuk menutup tubuh bagian bawah. Sedangkan al-rida’ adalah pasangan dari al-izar, yaitu pakaian tak berjahit yang berfungsi untuk menutup tubuh bagian atas.