Islam Indonesia di Era Walisongo
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Apabila berbicara mengenai perkembangan Islam di Indonesia, tentunya kita akan berjumpa dengan istilah Walisongo. Siapakah Walisongo?
Walisongo adalah para wali utusan Allah yang menyebarkan agama Islam di Indonesia, terutama di tanah Jawa. Siapakah saja mereka?
Berikut adalah nama-nama Walisongo yang sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia antara lain adalah Maulana Malik Ibrahim, sunan walisongo yang paling lebih dahulu ada. Beliau dikabarkan berasal dari Persia dan kemudian menetap dan berkedudukan di Gresik, jawa Timur, Sunan Ampel (Ngampel).
Sunan walisongo yang memiliki nama asli Raden Rahmat dan berkedudukan di Ngampel, dekat Surabaya, Sunan Bonang, sunan walisongo yang semula bernama Makdum Ibrahim ini adalah anak kandung dari Sunan Ampel.
Ia berkedudukan di Bonang, dekat Tuban, Sunan Drajat, sunan walisongo yang awalnya bernama Masih Munat ini adalah adik dari Sunan Bonang. Ia berkedudukan di Drajat, dekat Sedayu, Surabaya, Sunan Giri, sunan yang semula bernama Raden Paku ini adalah asli murid dari Sunan Ampel.
Ia berkedudukan di bukit Giri, dekat Gresik, Sunan Muria, sunan yang berkedudukan di sungai Muria, Kudus, Sunan Kudus, sunan yang semula bernama Udung ini berkedudukan di Kudus, Sunan Kalijaga, sunan yang bernama asli Joko Said ini berkedudukan di Kadilangu, Demak, Sunan Gunung Jati, atau yang bernama asli Syarif Hidayatullah merupakan satu-satunya anggota wali songo yang menyebarkan agama Islam di Jawa Barat.
Ia lahir sekitar tahun 1450 M dan wafat pada usia 120 tahun atau sekitar tahun 1520. Sebenarnya tidak ada catatan sejarah yang secara eksplisit menyebutkan waktu awal masuknya Walisongo ke Nusantara.
Namun ada beberapa sumber berupa dokumen-dokumen yang telah dicek keotentisitasnya mengenai Walisongo sehingga sekiranya dapat menjadi rujukan dalam mengetahui tentang Walisongo. Seorang sejarawan Indonesia, Agus Sunyoto, pernah mengadakan penelitian tentang sejarah Walisongo di Nusantara.
Berawal dari rasa keprihatinannya bahwa masih sedikit masyarakat Indonesia yang tahu akan eksistensi Walisongo di ranah Nusantara, terutama pulau Jawa.
Karena apabila berbicara tentang perkembangan Islam di Nusantara, tentunya takkan luput dari penyebutan nama Walisongo.
Akhirnya, dengan semangat penggalian sejarah yang tinggi meski dengan dana yang terbatas, Agus pun melakukan penelitian terhadap sejarah sepak terjang Walisongo di tanah Nusantara tersebut.
Lalu beliau menerbitkan hasil penelitiannya dalam bentuk buku yang ia beri judul Atlas Wali Songo: Buku Pertama yang Mengungkap Walisongo Sebagai Fakta Sejarah yang diterbitkan oleh Pustaka IIMan pada tahun 2012.
Dalam bukunya, Agus Sunyoto mengutip dari tulisan G.W.J Drewes dalam bukunya New Light on The Coming of Islam to Indonesia, menyebutkan bahwa Maulana Malik Ibrahim dianggap sebagai tokoh wali pertama yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa.
Ia juga mnyebutkan bahwa Maulana Malik Ibrahim adalah wali senior diantara wali-wali lainnya. Ia juga menyebutkan, menurut Babad ing Gresik, yang awal datang ke Gresik adalah dua bersaudara keturunan Arab, Maulana Mahpur dan Maulana Malik Ibrahim dengan tetuanya Sayyid Yusuf Mahrabi beserta 40 orang pengiring.
Setelah dakwahnya berhasil di Sembalo, Maulana Malik Ibrahim pindah ke kota Gresik tinggal di desa Sawo. Setelah itu datang ke kutaraja Majapait, menghadap raja dan mendakwahkan agama Islam kepada raja.
Namun raja Majapait belum berkenan tetapi menerima kedatangan maulana Malik Ibrahim sangat baik dan bahkan sang raja menganugerahi sebidang tanah di pinggir kota Gresik yang kelak dikenal sebagai desa Gapura.
Di desa Gapura itulah Maulana Malik Ibrahim mendirikan pesantren mendidik kader-kader pemimpin umat dan penyebar Islam yang diharapkan melanjutkan misi perjuangannya, menyampaikan kebenaran Islam kepada masyarakat di wilayah Majapait yang sedang ditimpa kemerosotan akibat perang saudara.
Makam Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik berada kampung Gapura di kota Gresik, Jawa Timur, tidak jauh dari pelabuhan.
Inskripsi makamnya berangka tahun 882H/1419M. Berdasarkan tahun wafatnya itu, Agus Sunyoto menempatkan Maulana Malik Ibrahim sebagai salah seorang tokoh penyebar Islam tertua di Jawa.
Dalam sejarah pada umumnya, sudah kita ketahui bahwa kepercayaan yang populer pada zaman dahulu adalah animism dan dinamisme.
Lantas dalam perkembangannya masuklah agama Hindu-Budha ke Indonesia. Kemudian pada abad VII (menurut berita Cina zaman Dinasti Tang) Islam masuk ke Indonesia.
Dengan begitu, tentu usaha yang dilakukan Walisongo untuk menyelaraskan ajaran Islam dengan keadaan masyarakat pada waktu sangatlah penting dan penuh dengan strategi budaya.
Walisongo menggunakan strategi akulturasi budaya yang halus dan bertahap sehingga ajaran Islam bisa diterima oleh masyarakat Indonesia pada waktu itu.
Beberapa cara yang digunakan Walisongo dalam menyebarkan agama Islam di tanah Indonesia antara lain menggunakan Wayang sebagai media dakwah.
Setelah agama Hindhu, Budha dan Islam masuk ke Jawa, wayang menjadi salah satu alat untuk menyebarkan agama. Walisongo juga menggunakan wayang sebagai media dakwah.
Karena itulah kemudian muncul nama lakon dan cerita yang disesuaikan dengan agama Islam. Seperti Layang Kalimosodo yang mengajarkan kalimat syahadat, atau para tokoh Punakawan yang merupakan penasihan Pandawa dan membawa misi agama Islam.
Jika dibandingkan dengan cerita Pandawa dari India, maka tidak akan ditemukan lakon-lakon Punakawan. Walisongo juga menggunakan seni gamelan dan tembang, karena seni musik gamelan dan lagu tembang yang biasanya memang lekat dengan kepercayaan Jawa zaman dulu juga menjadi salah satu media untuk menyebarkan agama Islam.
Hanya saja, lagu tembang yang diciptakan tentu berbeda dengan tembang lain karena disisipi dengan ajaran Islam. Tembang Tombo Ati yang mengajari ajaran Islam misalnya, sebenarnya adalah ciptaan Sunan Bonang.
Sedangkan lagu lir ilir merupakan ciptaan Sunan Kalijaga. Kedua tembang ini bertujuan untuk mengajak masyarakat agar lebih bertakwa.
Kemudian ada juga tembang Sinom dan Kinanthi yang merupakan ciptaan Sunan Muria yang dibuat dengan tujuan yang sama. Walisongo turut memodifikasi perayaan-perayaan dan upacara-upacara adat yang ada sebelumnya yang disesuaikan dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Sunan Kalijaga paham betul bahwa masyarakat Jawa menyukai perayaan apalagi jika diiringi dengan musik gamelan. Karena itulah para wali kemudian menyelenggarakan Sekaten dan Grebeg Maulud yang diselenggarakan pada hari lahir Nabi Muhammad SAW.
Dalam perayaan ini, gamelan diperdengarkan untuk mengundang penduduk. Kemudian diikuti dengan dakwah dan pemberian sedekah Raja berupa gunungan. Dengan cara ini, maka masyarakat kemudian semakin tertarik untuk mempelajari Islam.
Selain itu, tradisi adat Jawa berupa sesaji dan selamatan diubah dan dimodifikasi dengan cara yang lebih Islami. Selamatan dilakukan dengan niat kepada Allah, bukan lagi kepada dewa menurut kepercayaan masyarakat kuno.
Sementara makanan tidak digunakan untuk sesaji dalam upacara-upacara penyembahan terhadap dewa, tetapi dibagi-bagikan kepada penduduk setempat sebagai bentuk sedekah.
Selain cara-cara akulturasi budaya, Islam juga disebarkan melalui pendidikan pondok pesantren. Pesantren ini mendidik para santri dari berbagai daerah agar lebih memahami dan mampu mengamalkan tentang Islam.
Setelah para santri tamat pendidikan pesantren, mereka kemudian bisa mendirikan pesantren baru di daerah asalnya. Dengan demikian agama Islam bisa berkembang dan menyebar dengan lebih cepat.
Walisongo mempunyai taktik agar dapat merebut hati masyarakat terlebih dahulu melalui penerapan pendekatan nyata terhadap rakyat.
Mereka menyadari bahwa salah satu langkah terbaik untuk membuat seseorang tertarik untuk mempelajari agama adalah dengan memberi contoh lewat akhlak.
Para wali ini mencontohkan sikap yang lembut, dan suka membantu sehingga mereka banyak disukai oleh masyarakat. Begitulah Islam di Era Walisongo, penuh dengan teladan toleransi dan Islam yang ramah, bukan marah. []