Ini Kitab Sejarah Aceh Berbahasa Turki Usmani yang Terbit di Istanbul
HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Pakar filologi Islam, Ahmad Ginanjar Sya’ban melalui akun facebooknya membagikan sebuah manuskrip berupa sebuah kitab tentang sejarah Aceh yang ditulis menggunakan bahasa Turki. Menariknya lanjut Ginanjar, kitab tersebut diterbitkan di Istanbul bertahun 1316 H (1900 M).
“Ini adalah sampul kitab berjudul “Alem-i Islamiyyet: Ace Tarihi (Wawasan Dunia Islam: Sejarah Aceh)”. Kitab ini ditulis dalam bahasa Turki Usmani (bahasa Turki Klasik dengan aksara Arab), buah karya seorang sejarawan Usmani generasi akhir, yaitu Mehmet Ziya (Muhammad Dhiya),” ungkap Ginanjar dikutip Hidayatuna.com dari laman facebooknya, Rabu (9/9/2020).
Ginanjar menjelaskan, sebagaimana keterangan yang termaktub dalam halaman sampul, didapati informasi jika kitab tersebut dicetak oleh Percetakan Sayyid Muhammad Thahir (Seyyid Mehmet Tahir Matbaasi) di kota Istanbul (Konstantiniye/ Qusthanthiniyyah) pada tahun 1316 Hijri (1900 Masehi).
“Tertulis di sana, Pustaka Wawasan/ Dunia Islam. Sejarah Aceh. Penerjemah dan Penyunting/ Mehmet Ziya. Pencetak dan Penerbit/ [Malumet ve Sarvet Gazzatesinin Sahib-i Imtiyazi]/ Sayyid Mehmet Tahir. [Maarif Nazaret Celilesinin Ruhsetile/ Bab Ali Caddesinde Tahir Bek’in 40 Numarulu]. [Matbaasinde Taba Olmasinde]. Konstantiniye, 1316,” jelasnya.
Jumlah keseluruhan halaman kitab, lanjut dia adalah 160 (seratus enam puluh). Selain mengulas seluk beluk sejarah Aceh secara ringkas sejak abad ke-XVI hingga abad ke-XX, termasuk hubungan Kesultanan Aceh dengan Kesultanan Turki Usmani sepanjang beberapa kurun masa lamanya.
“Kitab tersebut juga dilengkapi dengan beberapa ilustrasi bergambar yang menjelaskan potret kehidupan masyarakat Aceh,” ungkap Ginanjar.
Dirinya berpandangan bahwa jika melihat tahun penerbitannya yang berangka 1316 Hijri/ 1900 Masehi, kitab itu dibuat pada masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid II dari pihak Turki Usmani (memerintah sepanjang tahun 1876 – 1909 M), juga masa pemerintahan Sultan Muhammad Daud Syah dari pihak Aceh (memerintah sepanjang tahun 1874 – 1903 M).
“Menariknya, baik Sultan Abdul Hamid II dari Turki Usmani atau pun Sultan Muhammad Daud Syah, keduanya merupakan sultan “terakhir” atas kerajaan yang diperintahnya,” jelasnya.
Ginanjar menjelaskan, penguasa Aceh sebelumnya, yaitu Sultan Manshur Syah (memerintah 1857 – 1870 M), terhitung memiliki hubungan yang cukup dekat dengan penguasa Turki Usmani sebelum Sultan Abdul Hamid II juga, yaitu Sultan Abdul Majid (memerintah 1839 – 1861 M).
“Kedekatan hubungan antar keduanya dapat ditelusuri melalui surat-surat diplomatik Aceh-Usmani pada masa-masa pemerintahan tersebut,” kata Ginanjar.
Ia menjelaskan, Kitab “Alem-i Islamiyyet: Ace Tarihi” juga dirujuk oleh Ismail Hakki Göksoy dalam artikel panjangnya yang berjudul “Ottoman-Aceh Ralations as Documented in Turkish Sources” (termuat dalam buku “Mapping the Acehnese Past”, diedit oleh R. Michael Feener dkk, diterbitkan oleh KITLV Press, Leiden, Belanda pada tahun 2011).
“Sebelumnya, pada tahun 1893-1894, seorang orientalis Belanda yang pernah menjabat sebagai penasihat urusan keagamaan bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, yaitu Snouck Hurgronje, juga menulis buku tentang sejarah Aceh dan potret masyarakatnya dalam dua jilid (The Acehnese),” tandasnya.