Manuskrip Ini Saksi Sejarah Keemasan Ulama Nusantara di Makkah
HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Pengkaji manuskrip peninggalan ulama Nusantara sekaligus dosen Magister UNU (Universitas Nahdlatul Ulama) Jakarta, Ahmad Ginanjar Sya’ban menjelaskan bahwa naskah kuno Syaikh Salim b. Muhammad Garut (Syaikh Salim Garut) menjadi saksi sejarah masa keemasan ulama Nusantara di Makkah.
“Naskah kuno tulis tangan (manuskrip) berikut ini adalah salah satu saksi dan data sejarah yang berkaitan dengan masa keemasan ulama Nusantara di Makkah tersebut,” kata Ginanjar Sya’ban dalam unggahan di akun Facebooknya dikutip Hidayatuna.com, Selasa (30/6/2020).
Manuskrip tersebut, lanjut Ginanjar, berisi kumpulan ijâzah (kredensi intelektual) dan sanad-silsilah (genealogi keilmuan) Syaikh Salim Garut (Sâlim b. Muhammad Qârût al-Makkî) dari beberapa gurunya dan dalam pelbagai bidang keilmuan. Bahasa yang digunakan sebagai media tulis dalam manuskrip adalah Arab, Sunda dan Jawa.
“Jumlah keseluruhan halaman manuskrip adalah 10 (sepuluh) halaman. Halaman 1 sampai 5 berisi sanad dan ijazah ilmu Qira’at al-Qur’an yang diterima oleh Syaikh Salim Garut dari gurunya yang bernama Syaikh Ma’mun Banten (Ma’mûn b. Rafî’ al-Dîn al-Bantanî al-Hasanî). Sanad dan ijazah ini ditulis di Makkah pada tahun 1332 Hijri (1913 Masehi) dalam bahasa Arab,” sambungnya.
Adapun 4 halaman berikutnya yakni halaman 5 sampai 9, berisi sanad dan ijazah kumpulan shalawat, wirid dan do’a yang diterima oleh Syaikh Salim Garut dari gurunya yang bernama Syaikh Syadzili b. Wasi (Syâdzilî b. Wâsi’ al-Bantanî al-Hasanî) dan Syaikh Ahmad Djaha Anyer Banten (Ahmad Jahâ al-Bantanî).
“Sanad dan ijazah ini ditulis di Makkah pada hari Kamis 24 Dzulhijjah 1327 Hijri (bertepatan dengan 7 Januari 1910) dalam bahasa Arab, Sunda dan Jawa,” ujar Ginanjar.
Bagian berikutnya, yaitu pada halaman 9 sampai 10, berisi ijazah dan silsilah Tarekat Alawiyah yang diterima oleh Syaikh Salim Garut dari gurunya yang bernama Syaikh Tubagus Abbas b. Wasi Banten (Tûbagûs Ahmad ‘Abbâs b. al-Sayyid Muhammad Wâsi’ al-Bantanî).
Silsilah dan ijazah tersebut tertulis di Makkah pada tanggal 4 Ramadhan 1334 Hijri atau bertepatan dengan 6 Juli 1916 dalam bahasa Arab.
“Saya sendiri mendapatkan berkas gambar manuskrip ini dari sahabat saya Ustadz Muhammad Abid Muafan. Beliau sendiri mendapatkannya dari al-Mukarram KH. Abdul Qadir b. Ahmad Eumed Cimasuk, Garut,” ungkapnya.
Ginanjar menyebut, peralihan abad XIX ke XX bisa dikatakan sebagai masa keemasan sejarah intelektual ulama Nusantara di Timur Tengah. Pada kurun masa tersebut, terdapat puluhan ulama Nusantara yang berkarir di kota suci Makkah sebagai pengajar, imam dan guru besar di Masjidil Haram dan institusi-institusi pendidikan lainnya.
“Babakan masa keemasan ini tercatat dalam pelbagai sumber yang sezaman (mashâdir mu’âshirah), baik sumber-sumber Eropa, Arab, atau pun pribumi-Nusantara itu sendiri,” jelasnya.
Di antara sumber tersebut adalah buku Snouck Hurgronje yang berjudul “Makka” (1888), catatan anonymous bertajuk “De Djawakolonie en de Mystieke Broederschappen in Mekka” (1915), atau buku katalogus ‘Alî Hilmî al-Dâghastânî yang berjudul “Fihrist al-Kutub al-Turkiyyah wa al-Fârisiyyah wa al-Jâwiyyah al-Mahfûzhah bi al-Kutubkhânah al-Khidyawiyyah al-Mishriyyah” (1889), juga buku katalogus Ilyâs b. Mûsâ Sirkîs yang berjudul “Mu’jam al-Mathbû’ât” (1927). Adapun sumber pribumi-Nusantara yang sezaman dengan masa itu adalah catatan perjalanan haji Bupati Bandung R.A.A. Wiranatakusumah V pada tahun 1924, atau rekaman perjalanan Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) pada tahun 1927.
“Banyak pula di antara ulama Nusantara di Makkah itu yang melahirkan sejumlah karya intelektual dan dicetak di beberapa pusat percetakan di Timur Tengah, seperti Makkah, Kairo, Istanbul, Beirut dan lain-lain. Karya-karya tersebut meliputi pelbagai bidang ilmu-ilmu keislaman yang ditulis dalam bahasa Arab, atau bahasa Melayu, Jawa, Sunda dan Aceh dalam aksara Arab,” tandasnya.