Ikuti Cara Nabi, Libatkan Perempuan Mengambil Keputusan Rumah Tangga

 Ikuti Cara Nabi, Libatkan Perempuan Mengambil Keputusan Rumah Tangga

Rumah Tangga

HIDAYATUNA.COM – Di dalam kehidupan rumah tangga, selama ini sebagian besar orang berpandangan bahwa laki-laki atau suamilah yang memiliki kuasa akan suatu keputusan.

Hal ini dikarenakan laki-laki atau suami adalah imam atau kepala keluarga di dalam rumah tangga tersebut.

Dengan pandangan seperti itu, apakah berarti perempuan tidak memiliki andil untuk mengambil kebijakan dalam urusan rumah tangga?

Belakangan, pembahasan mengenai kesetaraan gender semakin terasa. Hal ini bukan saja berfokus kepada perempuan, tetapi juga turut melibatkan laki-laki di dalamnya.

Di mana laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama, baik hak untuk mengemban pendidikan setinggi-tingginya serta hak untuk menyampaikan pendapatnya. Pertumbuhan budaya patriarki yang mengakarlah yang kemudian memberikan batasan begitu erat di dalam diri perempuan.

Bahkan untuk melibatkan diri dalam berdiskusi dan mengambil keputusan pun, posisi perempuan menjadi serba salah. Pro dan kontra bermunculan tanpa alasan yang logis serta hanya mengandalkan budaya turun temurun. Hal seperti ini sayangnya semakin berlanjut hingga ke generasi berikutnya.

Nabi Muhammad Libatkan Istri Mengambil Keputusan

Melalui fenomena tersebut, akan lebih baik jika kita menilik kembali di masa Nabi saw. Di mana beliau turut melibatkan istrinya dalam pengambilan keputusan rumah tangga.

Sehingga, Nabi saw bukanlah orang yang memutuskan secara sepihak akan kebijakan rumah tangganya, meskipun beliau adalah seorang imam atau kepala keluarga.

Abdullah bin Abbas ra menceritakan, dalam setahun lamanya ia ingin bertanya kepada Umar bin Khatab mengenai makna sebuah ayat. Tetapi ia tidak memiliki keberanian untuk menanyakan karena rasa hormatnya kepada Umar bin Khatab.

Saat tiba musim haji, Abdullah bin Abbas ra pergi berhaji dengan Umar bin Khatab. Dalam kesempatan pulang dari haji, ia bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, siapakah dua orang perempuan di antara para istri Rasulullah saw yang diajak bekerja sama menentukan kebijaksanaan beliau?

Mereka adalah Hafshah dan Aisyah”, jawab Umar bin Khatab.

Hal tersebut telah menunjukkan bahwa Nabi saw tidak pernah melarang untuk melibatkan perempuan dalam keputusan rumah tangga. Beliau justru mengajak istrinya untuk berdiskusi sebelum mengambil keputusan.

Jadikan Istri sebagai Pasangan, Bukan Objek

Di dalam suatu pernikahan antara laki-laki dan perempuan, dalam hal ini bukan hanya sekedar mengajak perempuan untuk menikah dan menjadi istrinya saja.

Tetapi kita juga harus berpikiran bahwa seorang perempuan bukanlah objek, tetapi manusia yang juga memiliki akal dan kecerdasan. Dengan begitu, menikahnya seorang perempuan tidak bisa juga untuk dikesampingkan atau tidak dianggap. Apalagi dalam hal mengambil kebijakan rumah tangga.

Istri atau perempuan perlu untuk dipanggil dan diberitahu kemudian diajak duduk bersama serta mendiskusikan suatu permasalahan yang akan dicari titik temunya.

Tanyakan bagaimana pendapatnya akan masalah tersebut dan solusi seperti apa yang sebaiknya diambil. Dengan cara seperti ini, posisi seorang istri akan merasa sangat dianggap keberadaannya.

Ini adalah kebahagiaan seorang istri untuk bisa turut menyuarakan isi hatinya. Karena nantinya, keputusan yang diambil tentu akan berpengaruh untuk satu keluarga tersebut.

Jika keputusan diambil secara sepihak saja, maka akan ada satu pihak yang tidak menerima. Dan hal inilah yang kemudian mampu menimbulkan konflik di dalam rumah tangga hingga yang paling parah adalah terjadinya perceraian.

Selama ini tidak sedikit perempuan yang memilih untuk diam, daripada menimbulkan konflik yang semakin besar. Rasa pasrah dan menyerahkan segala sesuatunya pada suami.

Oleh karena itu, kedudukan perempuan di dalam rumah tangga haruslah lebih diperjelas. Salah satunya dalam mengambil kebijakan rumah tangga. Bahwa perempuan juga memiliki hak untuk turut serta duduk bersama dan berdiskusi dengan suaminya.

Sehingga, hasil yang didapat adalah kesepakatan bersama yang disetujui oleh kedua belah pihak. Dengan begitu, kebijakan tersebut nantinya bisa diterima dengan baik. Meskipun jika keputusan itu menimbulkan risiko. Paling tidak keduanya sudah memutuskan bersama dan siap menerima apapun hasilnya.

Widya Resti Oktaviana

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *