Hukum Istri Gugat Cerai Suami Menurut Hukum Islam
HIDAYATUNA.COM – Perkawinan atau nikah menurut bahasa adalah berkumpul dan bercampur. Sedangkan menurut istilah syara’ ialah ijab dan qabul (‘aqad) yang menghalalkan persetubuhan antara lelaki dan perempuan yang diucapkan oleh kata-kata yang menunjukkan nikah, menurut peraturan yang ditentukan oleh Islam.
Pernikahan merupakan sunah Rasul yang apabila dilaksanakan akan mendapat pahala tetapi apabila tidak dilakukan tidak mendapatkan dosa tetapi dimakruhkan karna tidak mengikuti sunah Rasul. Lawan dari pernikahan atau menyudahi pernikahan disebut perceraian.
Adapun perceraian atau istilah “cerai” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti: Pisah; Putus hubungan sebagai suami istri;. Kata “perceraian” mengandung arti noun (kata benda), yakni perpisahan/perpecahan. Adapun kata “bercerai” mengandung arti verb (kata kerja), 1. tidak bercampur (berhubungan, bersatu,dsb) lagi; 2. Berhenti berlaki bini.
Cerai Gugat (khulu’) terdiri dari lafazd kha-la-‘a yang berasal dari bahasa arab, secara etimologi berarti meninggalkan atau membuka pakaian. Dihubungkan kata khulu’ dengan perkawinan karena dalam Al-Qur’an disebutkan:
هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ۗ
Artinya: “Mereka (istri) adalah pakaianmu (suami) dan kamu adalah pakaian mereka.” (QS. Al-Baqarah: 187).
Gugatan cerai yang dilakukan istri kepada suaminya disebut dengan khulu’. Khulu’ ialah perceraian yang dilakukan pihak istri kepada suami, dengan iwadh/ fidyah (uang pengganti/ tebusan), dalam hal ini tetap diucapkan oleh suami dan keputusannya tetap berada ditangan laki-laki (suami).
Cerai gugat (khulu’) merupakan salah satu jalan bagi istri untuk menentukan arah dan tujuan hidupnya, apakah perkawinannya mau dilanjutkan atau diputuskan. Dasar kebolehan khulu’ yaitu: Jika pasangan suami istri saling berselisih dan membenci karena keburukan akhlak, ketaatannya terhadap agama, atau karena kesombongan yang menyebabkan pihak istri khawatir tidak dapat menunaikan hak-hak Allah swt, maka diperbolehkan baginya mengkhulu’ dengan cara memberikan ganti berupa tebusan untuk menebus dirinya dari suaminya.
Adapun hukum dari khulu’ adalah mubah (boleh) sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Baqarah 229:
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا ٱفْتَدَتْ بِهِ
Artinya: “Jika Kalian Khwatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (QS. Al-Baqarah: 229).
Perkawinan adalah sebuah perjanjian suci untuk hidup bersama sebagai suami istri, tetapi jika masing-masing pihak merasa tidak bisa lagi untuk hidup bersama sebagai suami isteri, maka perceraian merupakan jalan terakhir yang dapat ditempuh. Al-Qur’an dalam surat An Nisa’ ayat 128 memberikan solusi untuk mengatasi problem rumah tangga:
وَإِنِ ٱمْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا ۚ وَٱلصُّلْحُ خَيْرٌ ۗ وَأُحْضِرَتِ ٱلْأَنفُسُ ٱلشُّحَّ ۚ وَإِن تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. An Nisa’: 128).
Perdamaian yang dimaksud pada ayat ini adalah tafriq (pisah) yang dimintakan kepada hakim atau dengan cara khulu’. Khulu’ harus didasarkan pada alasan perceraian yang sesuai dengan ketentuan pasal 116 Kompilasi Hukum Islam. Dengan kata lain, perceraian khulu’ dapat dilakukan atas alasan suami zina, peminum-minuman keras, pengguna narkoba yang sulit disembuhkan, sampai dipidana penjara 5 tahun lamanya. Atau dengan alasan suami telah melakukan penganiayaan atau menyakiti hatinya karena pertengkaran dan alasan-alasan lainya.
Perceraian menurut hukum Islam biasanya terjadi disebabkan dua hal:
- Istri atau suami mandul
Jika istri atau suami mandul, tidak dapat melahirkan anak, tentu rumah tangga menjadi sepi, karena anak-anak adalah laksana bunga dan menjadi perhiasan didalam keluarga, sebagai firman Allah swt dalam surat Al-Kahfi ayat 46, yaitu :
ٱلْمَالُ وَٱلْبَنُونَ زِينَةُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ
Artinya: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” (QS. Al-Kahfi: 46).
Salah satu tujuan utama dari perkawinan ialah untuk memperoleh anak atau keturunan. Dengan kemandulan, maka berarti salah satu tujuan pokok dari perkawinan menjadi lenyap, karenanya kemandulan boleh dipakai alasan untuk bercerai.
- Tidak terdapat kerukunan dalam rumah tangga
Kerukunan adalah unsur utama bagi pembinaan rumah tangga, jika hubungan perkawinan dalam situasi kemelut yang melanda rumah tangga, tentu akibatnya akan menimbulkan ketidakbahagiaan dalam rumah tangga mereka.
Sumber:
- Fiqih Wanita Karya Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah
- Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua Karya Tim penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
- Hukum Perceraian cet. 2 Karya Muhammad Syaifuddin, dkk
- Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Indonesia Karya Husein Muhammaad
- Azas-Azas Fikih Munakahat, Hukum Keluarga Islam Karya Dahlan Idhamiy
- Wawasan Qur’an Tafsir Maudhi Atas Berbagai Persoalan Umat Karya M Quraish Shihab