Hukum Bersuci Bagi Disabilitas Menurut Imam Abu Hanifah
HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Sebelum melakukan shalat, seorang muslim diwajibkan terlebih dahulu untuk wudhu (bersuci). Tujuan dari bersuci ini adalah untuk menghilangkan hadast kecil.
Kaitannya dengan ini, ada sebagian kelompok orang yang tidak mampu untuk melakukan aktifitas bersuci, karena ia berkebutuhan khusus. Dalam bahasa modernnya, mereka ini disebut sebagai kelompok disabilitas.
Lantas bagaimana pandangan dari Imam Abu Hanifah terkait hukum bersuci bagi kelompok disabilitas? Berdasarkan penjelasan yang dipaparkan ulama kharismatik asal Rembang, Jawa Tengah, KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha), definisi ‘mampu dalam bersuci’ yang dimaksud Imam Abu Hanifah adalah ia mampu tanpa dibantu orang lain.
Dengan kata lain, definisi mampu di sini adalah seseorang yang tak mempunyai halangan apapun untuk melakukannya. Ia mampu dengan mengandalkan dirinya sendiri seutuhnya.
Hal itu diungkapkan Gus Baha melalui pengajian fiqih disabilitas yang diunggah akun YouTube Krapyak TV sebagaimana dilansir Hidayatuna.com, pada Kamis (28/12/2023).
“Dalam pikiran Abu Hanifah atau bahasa fiqihnya disebut ijtihadnya Abu Hanifah, kata ‘mampu’ itu asumsinya ya harus dia sendiri yang mampu melakukannya,” kata Gus Baha.
Dengan demikian, apabila tidak ada yang bisa membantunya untuk bersuci, maka seorang yang mengalami keterbatasan khusus ini bisa melaksanakan shalat dengan seadanya.
“Sehingga di fiqih ini, misalnya orang difabel harus ke kamar mandi (untuk bersuci), sementara yang bagian ngantar pergi ke pasar atau sekolah, dalam mazhab Abu Hanifah ia disebut orang yang tidak mampu. Sehingga dia bisa shalat seadanya,” tandasnya.
Sebagai informasi, Imam Abu Hanifah merupakan salah satu dari empat ulama mazhab yang terkenal dalam Islam. Dilansir dari NU Online, Abu Hanifah memiliki nama asli Nu’man bin Tsabit bin Zutha.
Ia adalah seorang ulama besar pendiri mazhab Hanafi. Abu Hanifah, lahir di kota Kufah, Irak pada tahun 80 H bertepatan dengan tahun 699 M, dan wafat di Baghdad pada 150 H atau tahun 767 M.
Dalam Tarikh al-Fiqih al-Islami disebutkan bahwa Abu Hanifah disebgut sebagai promotor golongan rasionalis. Namanya masuk dalam daftar atba’ at-tabi’in (pengikut para tabiin), generasi ketiga setelah Nabi. []