Hakikat Dakwah dalam Filosofi Wayang
Hakikat Dakwah dalam Filosofi Wayang. Selama ini tak banyak yang tahu tentang hakikat dakwah dalam filosofi wayang.
Oleh: A. Mustofa Bisri
HIDAYATUNA.COM – Wayang adalah seni budaya lokal yang digunakan Wali Sanga sebagai media dakwah. Di dunia terdapat simbol prinsip dan etika dakwah pewayangan yang ramah dan beradab. Meski ceritanya dari Mahabharata, wayang mampu dielaborasi oleh banyak nilai-nilai kebijaksanaan Islam.
Di antaranya kisah konflik antara Pandawa dan Kurawa. Jika dipahami dengan jernih, sebenarnya Pandawa dan Kurawa bukan simbol untuk menggambarkan pihak yang berlawanan antara golongan yang baik dan buruk. Dari sudut pandang kemanusiaan, Pandawa adalah simbol golongan yang telah mencapai kebenaran, atau dalam istilah tasawuf, mereka sudah wushul ila al-khaq. Sedangkan Kurawa menyimbolkan golongan yang masih berproses atau mencari, bergerak, dan menuju kebenaran.
Seburuk-buruknya tindakan dan sikap orang lain tampak di mata kita, ja tidak bisa serta-merta musuh yang harus diperangi. Sebab, sebenarnya ia masih berpotensi untuk menjadi baik. Ia masih berproses dan bergerak mendekati kebaikan.
Berdasarkan sejarah Islam periode awal, Khalid bin Al-Walid semula adalah musuh Islam yang menentukan kemenangan pasukan musyrikin di Perang Uhud. Juga Ikrimah bin Abu Jahal, Abu Sufyan, Hindun istri Abu Sufyan, dan Umar bin Khatthab. Mereka semula adalah “Kurawa” yang kemudian berubah menjadi pembela Islam, Berdakwah butuh kebesaran jiwa, kesabaran, dan penghargaan yang tinggi terhadap nilai-nilai kemanusiaan
Dakwah itu harus sekreatif Wali Sanga. Ketika di Jawa gandrung kesenian, Wali Sanga, khususnya Sunan Kalijaga, menciptakan suatu karya monumental, yaitu Sunan Kalijaga mengupayakan agar keindahan wayang. seni wayang itu tidak menabrak rambu-rambu fikih. Tentu ada perbedaan pendapat di antara para wali soal metode tersebut. Tetapi mereka berkoordinasi dengan baik sekali.
Ada hadits yang dipakai ulama-ulama keras, yang berbunyi, “Siapa yang menggambar manusia, nanti akan disuruh memberi nyawa kepada gambarnya itu. “Nah, dalam wayang, Sunan Kalijaga juga mengacu pada hadits tersebut. Wayang yang ditampilkan tidak bisa disebut manusia, disebut gambar binatang juga tidak bisa. Tapi, icbatnya, orang yang menonton menganggap wayang itu manusia atau binatang. Tidak ada manusia yang tangannya melebihi dengkul seperti tangannya wayang. Tak ada juga manusia Tetapi yang tubuhnya gepeng seperti wayang. orang yang menonton merasa itu manusia. Itu luar biasa. Itu satu keindahan yang luar biasa.
Wayang tersebut dipakai Sunan Kalijaga untuk berdakwah. Konon, Sunan Kalijaga sendiri yang mendalang, kemudian orang datang. Nilai-nilai ajaran itu dikemas sedemikian rupa dalam cerita dari Hindu dengan latar Mahabharata dan Ramayana. Meski demikian, cerita dalam sudah penuh muatan-muatan ajaran wayang Islam: tentang keikhlasan, tentang kemanusiaan, tentang buruknya khianat.
Sumber: Cinta Negeri Ala Gus Mus