Habib Ali Kwitang, Waliyullah yang Menjadi Pakunya Jakarta

 Habib Ali Kwitang, Waliyullah yang Menjadi Pakunya Jakarta

Mengenal Garis Nasab Joko Tingkir Hingga ke Gus Dur (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Bagi warga Jakarta, khususnya yang bermukim di daerah Kwitang, Jakarta Pusat, tentu sudah familiar dengan sosok Habib Ali Kwitang. Beliau merupakan ulama yang berperan besar dalam penyebaran Islam di tanah Betawi.

Nama lengkapnya ialah al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi. Beliau adalah anak dari al-Habib Abdurrahman al-Habsyi dan Nyai Hajjah Salmah.

Habib Ali lahir pada tanggal 20 April 1870 M di Kampung Kwitang, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat. Penisbatan nama Kwitang di belakang nama Habib Ali, dikarenakan di kampung itulah beliau lahir dan berdakwah sepanjang hidupnya. Hal tersebut yang kemudian membuat masyarakat mengenal beliau dengan nama Habib Ali Kwitang.

Habib Ali adalah keturunan Rasululullah yang memiliki nasab sebagai berikut: al-Habib Ali bin Abdurrahman bin Abdullah bin Muhammad bin Husein bin Abdurrahman bin Husein bin Abdurrahman bin Hadi bin Ahmad al-Habsyi Shahib Syi’ib bin Muhammad bin Alwi bin Abubakar al-Habsyi bin Ali bin Ahmad bin Muhammad Assadullah bin Hasan at-Turabi bin Ali bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khala’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin ‘Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-‘Uraidhi bin Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah az-Zahra binti Rasulullah Muhammad SAW.

Riwayat Pendidikan

Sejak kecil Habib Ali dididik langsung oleh ayahnya. Waktu yang dihabiskan Habib Ali belajar dengan ayahnya bisa terbilang singkat, karena ayahanda Habib Ali wafat pada saat Habib Ali berusia 10 tahun. Setelah ayahnya wafat, Habib Ali berangkat menuju Hadhramaut untuk menimba ilmu dengan para ulama di sana. Selama di Hadhramaut, Habib Ali berguru kepada:

1. al-Imam al-Qutub al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, Penggubah Maulid Simtuddurar

2. al-Imam al-Habib Ahmad bin Hasan al-Attas

3. al-Habib Hasan bin Ahmad al-Aydrus

4. al-Habib Zein bin Alwi Ba’bud

5. Asy-Syeikh Hasan bin Awadh Mukhaddam

6. al-Imam al-Habib Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur, Mufti ad-Dhiyyar al-Hadramiyyah dan juga penulis kitab Bughyah al-Musytarsyiddin, dan masih banyak ulama lain.

Selama di Hadhramaut, Habib Ali menggunakan waktunya untuk belajar dan bersilaturahmi kepada para aulia di sana. Masa yang ditempuh Habib Ali di sana sekitar 7 tahun. Setelah dirasa selesai belajar di Yaman, beliau lalu kembali ke tanah air.

Pulang ke Tanah Air dan Membuka Majelis Ta’lim

Setelah kembali ke Indonesia, Habib Ali masih berguru kepada banyak ulama di Tanah Air. Di antara beberapa guru beliau adalah al-Habib Usman bin Yahya (Mufti Batavia), K.H Abdul Hamid, Jatinegara, al-Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas, Keramat Empang, Bogor, dan masih banyak ulama lainnya.

Pada periode tahun 1940 M hingga 1960 M, ada tiga serangkai ulama yang sangat berpengaruh dalam dakwah di Jakarta. Mereka adalah al-Habib Abdurrahman al-Habsyi Kwitang, al-Habib Ali bin Husein al-Attas Bungur dan al-Habib Salim bin Ahmad bin Jindan. Banyak orang Jakarta berguru kepada mereka bertiga.

Semasa hidup, Habib Ali menghabiskan waktunya dengan menyebarkan Islam kepada seluruh kalangan tanpa membeda-bedakan. Habib Ali membuka majelis ta’lim tiap minggu pagi. Majelis ini adalah majelis pertama di Jakarta dan merupakan cikal bakal berdirinya majelis ta’lim di seluruh Indonesia.

Menurut Abdul Qadir Umar Mauladdawilah dalam 17 Habaib Berpengaruh di Indonesia (2013), di masa awal ketika Habib Ali merintis majelisnya, tidak ada seorangpun yang berani membuka majelis ta’lim karena dakwah waktu itu sangat diawasi dan dibatasi gerak-geriknya oleh pemerintah Kolonial Belanda.

Para ulama kala itu dianggap berbahaya oleh pemerintah. Mereka kerap diasosiasikan sebagai penghasut, provokator, hingga pemberontak terhadap kekuasaan kolonial. Itulah sebabnya mengapa para ulama semua perilakunya diawasi ketat oleh pemerintah.

Barulah setelah majelis Habib Ali berdiri, bermunculan beberapa majelis lain di Jakarta dan di berbagai daerah di luar Jakarta. Kini majelis ta’lim menjadi ciri tersendiri dari model dakwah para ulama di Jakarta, entah yang berasal dari golongan habaib atau kyai biasa.

Hampir di tiap sudut kota Jakarta sekarang pasti ada forum pengajian untuk masyarakat umum. Semua itu tidak mungkin terjadi tanpa ada upaya awal dari Habib Ali.

Berangkat dari hal di atas tidak keliru jika dikatakan kalau pengajian umum minggu pagi rintisan Habib Ali merupakan forum ilmu yang sangat berpengaruh di Tanah Air.

Saking berpengaruhnya, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam satu artikel di Majalah Tempo berjudul Kwitang! Kwitang! (1983), menulis bahwa majelis Habib Ali bahkan sampai dijadikan strategi mencari penumpang oleh para kondektur bus kota yang trayeknya melewati lokasi pengajian.

Menurut Gus Dur, tiap minggu pagi para kondektur bus kota yang lewat lokasi pengajian akan berteriak, “Kwitang, Kwitang,” sebagai cara menarik penumpang.

Para kondektur ini tahu bahwa animo masyarakat yang akan hadir ke pengajian Habib Ali sangat besar. Itulah sebabnya mereka berteriak, “Kwitang, Kwitang,” guna mencari penumpang. Tingkah para kondektur ini uniknya hanya terjadi di hari minggu atau di hari ketika pengajian berlangsung.

Di hari biasa, tidak ada kondektur yang berteriak, “Kwitang, Kwitang.” Mereka kembali ke mode normal seperti sebelumnya. Hal demikian menjadi bukti bagaimana besarnya pengaruh/barokah pengajian Habib Ali terhadap lingkungan sekitar. Majelis ta’lim tidak hanya menjadi forum ilmu, tapi juga menjadi sarana orang banyak untuk mengais rezeki.

Habib Ali, Gus Dur, dan NU

Mereka yang hadir dan berguru kepada Habib Ali melalui majelisnya tidak hanya berasal dari kalangan masyarakat biasa. Banyak tokoh publik dan ulama-ulama lain yang menjadi murid beliau.

Sosok seperti Gus Dur dan K.H Idham Cholid adalah contoh dua tokoh besar yang menjadi murid beliau. Keduanya merupakan mantan Ketua Umum PBNU dan sama-sama tokoh berpengaruh dalam dunia Islam Indonesia.

Dalam satu kesempatan, Gus Dur mengatakan bahwa ia sewaktu kecil pernah mengkhatamkan beberapa kitab di hadapan Habib Ali langsung. Gus Dur bisa berkesempatan mengaji langsung kepada Habib Ali karena pengaruh KH. Wahid Hasyim yang tak lain adalah ayahandanya.

Kyai Wahid menurut penuturan Gus Dur kerap hadir di majelis Habib Ali dan mengajak Gus Dur ikut ke sana. Dari situlah awalnya kemudian Gus Dur jadi rutin pula datang ke pengajian Habib Ali.

Gus Dur sangat menghormati Habib Ali. Bentuk penghormatan Gus Dur terlihat melalui sikapnya yang masih kerap hadir di majelis Habib Ali meskipun Habib Ali telah wafat.

Menurut sebuah cerita, konon kala Gus Dur masih menjadi Presiden, Gus Dur pernah tiba-tiba datang ke majelis Habib Ali Kwitang tanpa pemberitahuan apapun.

Ketika ditanya oleh Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Habsyi (cucu Habib Ali) kenapa datang mendadak, dengan santai Gus Dur menjawab, “mending begini Bib, kalau kasih kabar nanti kasihan jama’ah lain bisa repot.”

Kalau dilacak ke belakang, hormatnya Gus Dur kepada Habib Ali memang sangat beralasan. Selain karena faktor keilmuan Habib Ali yang sangat luas serta faktor nasab beliau yang mulia, faktor kedekatan antara Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahid Hasyim selaku kakek dan ayah Gus Dur kepada Habib Ali menjadi faktor lain yang juga berpengaruh.

Menurut cerita yang beredar, ketika NU awal berdiri pada 1926, NU belum bisa masuk ke Batavia (Jakarta). Barulah setelah Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahid Hasyim datang menemui Habib Ali di Jakarta dan meminta izin untuk mendirikan NU di sana, NU selanjutnya bisa masuk dan berdiri pula di Jakarta pada 1928.

Habib Ali sendiri tidak hanya mengizinkan, melainkan beliau juga masuk dan mendaku dirinya sebagai Nahdliyin. Hal inilah yang patut diduga menjadi penyebab mengapa Gus Dur sangat hormat kepada Habib Ali di samping faktor keilmuan dan nasabnya.

Ada faktor kedekatan kultural dan emosional antara keluarga Gus Dur dengan Habib Ali yang membuat Gus Dur menghormati Habib Ali sedemikian rupa.

Gus Dur sendiri dalam satu forum pernah menyebut bahwa Habib Ali adalah pakunya Jakarta bersama al-Habib Husein bin Abubakar al-Aydrus (Habib Keramat Luar Batang) Luar Batang dan Habib Usman bin Yahya (Mufti Batavia). Hal ini menjadi semacam pengakuan akan bagaimana tingginya kedudukan Habib Ali dalam kehidupan umat Islam.

Setelah menghabiskan seluruh waktunya untuk berdakwah, Habib Ali wafat pada 13 Oktober 1968 M di usia 102 tahun. Habib Ali dimakamkan di samping Masjid ar-Riyadh, Kwitang, Jakarta Pusat.

Meski telah tiada, warisan akhlak, ilmu, dan segala kebaikan Habib Ali semasa hidup akan tetap abadi sampai kapanpun. Makam Habib Ali terbuka untuk umum. Siapapun boleh dan bisa berziarah ke makam beliau di Kwitang.

Willy Vebriandy

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *