Gus Nadir Kritik Fatwa NU-MUI Soal Hewan Kurban
HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Cendekiawan muda Nahdlatul Ulama (NU), Prof Nadirsyah Hosen, atau yang akrab dipanggil Gus Nadir menanggapi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan NU terkait dengan maraknya Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Gus Nadir mengatakan bahwa kedua fatwa yang dikeluarkan MUI dan NU tidak menyentuh akar masalah.
Seperti diketahui, sebelumnya, MUI telah menerbitkan Fatwa Nomor 32 tahun 2022 tentang hukum dan panduan pelaksanaan ibadah kurban saat kondisi wabah PMK. Dalam fatwa itu, MUI menyebutkan bahwa PMK yang terkena PMK ringan masih sah menjadi hewan kurban.
Sedangkan NU, dalam fatwanya memutukan bahwa semua hewan yang terkena wabah PMK tidak sah dijadikan hewan kurban, baik yang PMK ringan maupun yang berat.
“Fatwa NU berbeda dengan fatwa MUI. Bagi NU, ringan atau berat, hewan yang kena penyakit PMK tidak sah jadi hewan kurban. Fatwa MUI bilang yang kena PMK ringan, masih sah jadi hewan kurban,” tulis Gus Nadir melalui aku Twitternya dikutip Rabu (15/06/2022).
Respon NU-MUI
Menurut Gus Nadir ada hal yang lebih penting, yakni tentang dibukanya keran impor sapi dari negara yang belum bebas PMK. Sementara fatwa keduanya hanya fokus pada masalah hewan kurban yang terjangkit penyakit PMK.
Kendati demikian, Gus Nadir tetap mengapresiasi NU dan MUI yang cepat merespons masalah ini.
“Tentu kita apresiasi respons cepat NU dan MUI. Tapi akar masalahnya yaitu dibukanya keran impor sapi dari negara yang belum bebas PMK menjadi biang kerok persoalan. Ini gak ‘disentil’ dalam fatwa tersebut. Pemerintah tidak boleh lepas tangan. Harus tanggung jawab,” jelasnya.
Dosen Fakultas Hukum Monash University Australia ini menilai seharusnya NU dan MUI memikirkan nasib para peternak dan penjual hewan kurban. Tidak sekadar membahas tentang fatwa hewan kurban yang terkena wabah PMK.
“Bagaimana nasib para peternak dan penjual hewan kurban? Sekarang harga sapi melonjak sementara pembeli takut. Peternak sapi menangis. Ibarat mau panen, malah kena hantam PMK. Nah gimana solusi dari NU dan MUI? Mungkin harus dibahas lebih luas dari sekadar fatwa sah atau tidak sah,” tandasnya.