Dialog Antar Agama: Sebuah Upaya Kerukunan Umat Beragama
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Konflik atas nama agama masih mengalami perkembangan hingga sekarang. Baik penodaan agama, penyerangan atau pengeboman tempat ibadah, terorisme, penyerangan aparatur pemerintah, bahkan aksi pembunuhan dan lain sebagainya masih menjadi kasus yang belum terselesaikan.
Sepanjang tahun 2021, dari data Global Terrorism Indeks (GTI) 2022 menyebutkan terdapat 5.226 aksi terorisme di seluruh dunia dengan korban mencapai 7.141 jiwa.
Bahkan Indonesia menjadi negara dengan dampak terorisme terburuk ketiga di Asia Pasifik dengan skor GTI 5,5 poin serta berada di peringkat ke-24 secara global.
Menurut GTI, jumlah aksi teror di Indonesia pada 2021 turun 24 persen, namun jumlah korban jiwa meningkat menjadi 85 persen.
Pada 2021 rata-rata ada 1,5 kematian per serangan teroris di Indonesia, sedangkan tahun sebelumnya hanya 0,6 kematian per serangan.
Kemudian data yang dimiliki oleh densus 88 terkait aksi terorisme dan penangkapan terhadap pelakunya juga menunjukkan angka yang tinggi.
Fenomena ini tidak bisa lepas dari penyebaran paham dan gerakan radikalisme dan intoleransi yang utamanya menyasar kalangan anak-anak muda hingga masuk ke berbagai wilayah, termasuk pendidikan.
Akibat paham radikalisme yang mengakar, melahirkan sikap fanatisme yang berlebihan. Bahwa agama yang dianutnya adalah agama yang paling benar, mutlak superior dan menyelamatkan.
Sedang orang-orang yang beragama lain adalah sesat, kafir, celaka dan harus dijauhi atau dibujuk agar mengikuti agamanya.
Perlunya Dialog Antar Agama
Sebagai negara yang memiliki beragam agama, budaya, suku, ras maupun bahasa, menjadikan adanya perbedaan di berbagai hal dalam kehidupan sehari-sehari.
Untuk itu perlunya menghargai kemajemukan (pluralitas) masyarakat sehingga terwujud kerukunan dalam beragama.
Karena agama sendiri pada dasarnya mengajarkan untuk saling memahami, saling mengerti, saling menyayangi, saling mengasihi, tolong menolong, saling menghormati dan menghargai satu sama lain, tanpa memandang dan terhalang oleh sekat-sekat perbedaan.
Tidak ada satu pun agama yang melegitimasi tindak kekerasan dan kekejaman terhadap umat beragama lain.
Sumber terjadinya konflik antar agama sebenarnya bukan dari ajaran atau norma-norma agama, melainkan dari sikap keberagamaan yang kurang dewasa dan ideologi radikal.
Sehingga dibutuhkan paradigma baru dalam mencari titik temu atau paling tidak kebersamaan dari doktrin-doktrin agama yang berbeda untuk berdialog saling mengenal satu sama lain.
Agar perbedaan-perbedaan tersebut tidak menjadi masalah serius yang bisa berdampak buruk terhadap orang lain atau timbul konflik yang mengatasnamakan agama.
Melalui dialog antar penganut agama dapat menjadi media untuk saling memahami dan menghormati ajaran dan keyakinan agama lain.
Dilakukan oleh orang-orang dari agama yang berbeda yang bekerjasama dan berinteraksi untuk menciptakan pemahaman yang sama, saling menghormati, membudayakan keterbukaan, saling pengertian, mengembangkan rasa saling menghormati hak-hak setiap manusia.
Kesadaran akan perbedaan prinsip keyakinan dan akidah ini yang harus dimiliki ketika dialog antar agama. Sehingga tidak melahirkan perdebatan masalah-masalah keyakinan dan akidah.
Masing-masing umat sudah harus selesai selesai dengan keyakinan dan akidah agamanya sendiri. Tidak perlu meributkan keyakinan mitra dialognya.
Karena perbedaan adalah keniscayaan hidup bermasyarakat.
Kemudian dialog tidak hanya dalam konteks kelompok atau institusi, namun juga dilakukan antar tetangga, sekolah, lingkungan kerja, dan lain sebagainya baik formal maupun non formal.
Tidak hanya melalui seminar, diskusi, simposium, workshop, lokakarya, atau semacamnya. Namun sebagai proses komunikasi yang terus-menerus untuk memahami pemikiran, ajaran, tradisi, budaya, sistem kepercayaan, dan filosofi hidup komunitas keagamaan lain.
Dalam kehidupan sehari-hari misalnya berteman dengan non muslim, saling menyapa, mengundang acara makan malam bersama keluarga atau sebuah acara, bekerjasama dalam hal muamalah, sosial politik, dan sebagainya.
Sebagaimana dicontohkan dalam buku Mendakwahkan Smiling Islam karya Abdurrahman Mas’ud, bagaimana penulis memperkenalkan wajah Islam yang sesungguhnya di Amerika.
Beliau mengundang para koleganya yang ada di Amerika untuk makan malam di apartemennya dengan menyuguhkan makanan khas Indonesia.
Sehingga mereka mulai mengenal tradisi Indonesia, mulai masakannya, tradisi keberagamannya, hingga pada level tertentu mereka mulai mengenal ciri khas keislaman Indonesia.
Selama ini mereka mengenal islam selalu menggunakan standar Timur Tengah yang kerap tampil dengan wajah garang dan kurang ramah.
Makan malam penuh keakraban yang digelar ini dijadikan media untuk menjelaskan beberapa hal yang sering mereka salahpahami.
Contohnya, Islam dituduh tidak bisa memahami tetangga, Islam tidak bisa berkawan dengan yang lain, Islam sangat eksklusif dan sebagainya.
Sehingga dapat membuktikan bahwa Islam Indonesia sebagaimana dikenal orang Amerika adalah islam yang ramah.
Rasulullah Juga Mengupayakan Dialog
Rasulullah selalu menganjurkan etika saling menghormati, berempati, memberi ruang pada orang lain, menghargai dan membantu mereka yang sedang kesulitan.
Dalam dakwahnya, Rasulullah tidak memperkenalkan ancaman secara fisik, apalagi kekerasan. Ajakan beliau adalah anjuran penggunaan akal sehat, hadiah dan hukuman di hari akhir nanti. Serta dialog untuk mencapai kebenaran dan menjauhi kesesatan.
Dalam kitab Ghairu al Muslim fi almujtama’ al Islami karya Yusuf Qardhawi bahwa Rasulullah Saw ketika hidup di Makkah dan Madinah tidak sungkan untuk bergaul dengan non muslim.
Nabi kerap menyempatkan diri untuk bertandang dan bersilaturahmi dengan para tetangga non muslim.
Begitu pun ketika ada tetangga non muslim yang sakit, Nabi selalu mengunjungi dan berbela sungkawa bila ada yang meninggal.
Selanjutnya, Nabi Muhammad selama di Madinah juga memiliki sahabat dekat seorang Yahudi bernama Mukhairiq.
Ia adalah seorang pendeta Yahudi yang sangat alim, sekaligus seorang hartawan kaya raya.
Sumber kekayaan Mukhairiq adalah kebun kurma yang terbentang di sepanjang kota Madinah.
Saat perang Uhud pada tahun ke tiga hijriyah, Mukhairiq ikut serta membantu Rasulullah dan kaum muslim.
Sebelum terjun ke medan tempur, ia sempat berwasiat seandainya dirinya meninggal dalam peperangan ia akan meninggal dalam peperangan ia akan menghibahkan seluruh hartanya untuk digunakan Rasulullah demi kepentingan untuk muslim Madinah.
Untuk itu, Imam Syaukani dalam kitab Nailul Authar mengatakan bahwa memberikan cahaya Islam kepada orang-orang yang berada dalam kesesatan lebih baik dari memeroleh nikmat yang didapatkan di dunia.
Maka Islam melarang umatnya untuk memusuhi pihak lain atau bahkan memerangi mereka, karena hal demikian bertentangan dengan prinsip dasar Islam, yaitu menciptakan perdamaian bagi seluruh manusia, mengajak dan mengenalkan Islam serta berdialog dengan mereka tanpa melibatkan keyakinan yang dipegang.
Sehingga dialog yang ada dapat menjadi media antar agama untuk saling mengenal agama satu sama lain, sehingga harapannya tercipta kerukunan antar umat beragama. Sebagaimana kata pepatah “tak kenal maka tak sayang”. []