Dhaifnya Hadis Jumlah Rakaat Shalat Tarawih
HIDAYATUNA.COM – Salah satu ritus ibadah yang umumnya dilakukan berjamaah dalam bulan Ramadan di Indonesia adalah shalat tarawih. Sedangkan salat tarawih sendiri mengandung banyak tanda tanya mengenai keabsahan berapa banyak jumlah rakaat yang musti dilaksanakan.
Umumnya di belahan dunia Islam ada dua kutub besar mengenai jumlah rakaat salat tarawih, yaitu dua puluh rakaat dan delapan rakaat. Berdasarkan hadis yang disandarkan kepada Nabi, yang diriwayatkan oleh Imam al-Thabari dan Khatib al-Baghdadi. Bunyi hadis tersebut adalah:
عَنْ ابْنِ عَبَاسِ قاَلَ , كاَنَ النّبِيُّ صَلّى الَّله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى فِى رَمَضَانَ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً وَاْلوِتْرِ
Artinya: “dari Ibnu Abbas, katanya “Nabi SAW salat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan witir”
Hadis yang menerangkan tentang jumlah rakaat salat tarawih di atas ini kualitasnya cukup lemah sekali. Sedangkan hadis yang cukup lemah tidak dapat dijadikan dalil bagi ritual peribadatan. Factor kelemahan hadis ini kerena disalah satu periwayatnya terdapat nama Abu Syaibah Ibrahim bin Utsman.menurut Imam Bukhari ulama tidak mau berkomentar mengenai Abu Syaibah, Imam Tirmidzi mengatakan bahwa Abu Syaibah mungkar hadisnya, Imam al-Nasai mengatakan Abu Syaibah adalah matruk hadisnya, sedangkan Imam Syu’bah, berpendapat bahwa Abu Syaibah adalah seorang pendusta.
Karenanya hadis Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Nabi SAW salat tarawih dua puluh rakaat dan witir ini dapat disebut sebagai hadis sekurang-kurangnya hadis matruk (semi palsu) karena ada rawi yang cacat kredibilitasnya, dan pendusta. Sehingga hadis ini menjadi salah jika dijadikan sandaran dalil bagi pelaksanaan shalat tarawih dua puluh rakaat.
Selain itu, ada hadis lain yang menerangkan bahwa jumlah rakaat salat tarawih adalah delapan rakaat dan witir. Hadis ini terdapat dalam kitab Shahih Ibnu Hibban.
حَدَّثَنَا جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ : جَاءَ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، كَانَ مِنِّي اللَّيْلَةَ شَيْءٌ فِي رَمَضَانَ ، قَالَ : وَمَا ذَاكَ يَا أُبَيُّ ؟ قَالَ : نِسْوَةٌ فِي دَارِي قُلْنَ : إِنَّا لاَ نَقْرَأُ الْقُرْآنَ ، فَنُصَلِّي بِصَلاَتِكَ ، قَالَ : فَصَلَّيْتُ بِهِنَّ ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ ، ثُمَّ أَوْتَرْتُ ، قَالَ : فَكَانَ شِبْهُ الرِّضَا ، وَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا.
Artinya: “dari jabir bin Abdullah. Ia berkata, “ Ubay bin Ka’ab datang menghadap Nabi SAW lalu berkata, “Wahai Rasulullah, tadi malam ada sesuatu yang saya lakukan, maksudnya, pada bulan Ramadan.” Nabi SAW kemudian bertanya, “apakah itu, wahai Ubay? “Ubay menjawab, “Orang-orang wanita dirumah saya mengatakan mereka tidak dapat membaca Alquran. Mereka minta saya unutk mengimami salat mereka, maka saya salat bersama mereka delapan rakaat, kemudian saya shalat witir.” Jabir kemudian berkata, “maka hal itu merupakan ridha Nabi, karena beliau tidak berkata apa-apa”
Hadis di atas ini mengunakan taqrir (ketetapan Nabi) namun yang menjadi masalah, hadis ini bekualitas sangat lemah, karena salah satu perawinya yang bernama Isa bin Jariyah, menurut kritikus-kritikus hadis yang masyhur, semisal Ibnu Main, Imam al-Nasa’i. mengatakan bahwa Isa bin Jariyah sangat lemah hadisnya. Bahkan Imam Nasai pernah mengatak bahwa ia adalah pendusta.
Sehingga dengan ini dapat dipahami jika hadis yang mengatakan dua puluh atau delapan jumlah rakaat shalat tarawih adalah sanggat lemah, dan tidak dapat digunakan sebagai pegangan untuk, melakukan ibadah. Hal ini mengacu pada pedoman pengamalan hadis dhaif, yang hanya dapat digunakan dalam ranah untuk motifasi dan keutamaan amal. Itupun jika kualitas hadisnya tidak menyentuh matruk dan mungkar. Sedangkan dalam dua hadis diatas sekurang-kurangnya menyandang predikat sebagai hadis yang matruk (semi palsu), kalo tidak elok jika dinamakan palsu.
Wallahu a’lam
*Disarikan dari buku hadis-hadis palsu seputar Ramadan. Prof. K.H. Musthafa Ali Yaqub,M.A.