Bagaimana Cara Allah Berbicara atau Kalam dengan Nabi Musa?

 Bagaimana Cara Allah Berbicara atau Kalam dengan Nabi Musa?

Thaha Husein Sang Pelopor Sastra Arab Modern (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Bagaimanakah kalam tanpa suara dan huruf itu bisa sampai pada malaikat dan para Nabi? Sebenarnya pertanyaan semacam ini hanya timbul dari orang yang menyamakan kalamullah dengan kalam manusia.

Sebagaimana dimaklumi bahwa dalam akidah Mayoritas Ahlussunnah Wal Jamaah diyakini bahwa Kalamullah tidak berupa suara dan huruf. Sebab suara dan huruf pastilah makhluk.

Seluruh suara yang kita tahu di alam semesta ini berupa gelombang getar yang merambat hingga sampai ke gendang telinga kita. Semua huruf yang kita tahu di alam semesta juga makhluk yang punya awalan dan akhiran serta kita susun sekehendak kita.

Semua tahu bahwa Dzat Allah tidak melahirkan/mengeluarkan makhluk. Ini adalah premis yang tidak dapat dibantah kecuali oleh orang ingkar pada realitas.

Akan tetapi banyak yang bertanya-tanya

Andai dia hilangkan tasybih (penyamaan) antara manusia dan Allah itu, maka pertanyaan ini tidak akan muncul. Sebab sudah maklum bahwa Allah itu berbeda mutlak dengan manusia atau makhluk apa pun.

Derajat pertanyaan ini sebenarnya sama dengan derajat pertanyaan konyol seperti: “Allah kapan lahir? Allah bentuknya seperti apa? Allah hidup sampai usia berapa? Tempat tinggalnya Allah sebesar apa?” dan sebagainya yang muncul dari pikiran tasybih.

Ketika dia melihat manusia berkalam dengan suara dan huruf, maka daya pikirnya yang terbatas kesulitan memahami bentuk komunikasi tanpa suara dan huruf.

Allah Berkomunikasi dengan Kalamullah

Kalam dalam istilah bahasa Arab bukanlah bicara atau ngobrol dalam bahasa kita. Bila dicari padanan kata yang paling mendekati dalam bahasa sekarang, kalam adalah komunikasi.

Jadi, kalamullah adalah komunikasinya Allah. Kita, bangsa manusia berkomunikasi dengan manusia lain dengan cara berbicara menggunakan suara dan susunan huruf tetapi karena Allah bukan manusia, maka Allah tidak menggunakan keduanya.

Lalu bagaimana kalam Allah bisa sampai pada seorang Rasul seperti Nabi Musa misalnya yang di dalam Alquran dinyatakan berkomunikasi langsung dengan Allah?

Para ulama salaf menggunakan contoh kasus lain untuk menggambarkan komunikasi tanpa suara dan huruf agar masalah ini dapat lebih mudah dipahami. Meskipun di masa itu tidak ada contoh yang betul-betul memadai.

Mereka memakai ilustrasi suara hati (kalam nafsi). Dalam kepala kita masing-masing, seringkali kita “berbicara” atau mungkin “berdebat” dengan khayalan kita.

Secara bahasa arab itu disebut kalam juga, kita pun di Indonesia menyebutnya sebagai “bicara dalam hati” atau “suara hati” meskipun tidak ada suaranya. Ada beberapa dalil dari Alquran, hadis dan atsar yang menyinggung adanya suara hati (kalam nafsi) ini.

Nah, kalau suara hati kita–yang sebenarnya tanpa suara dan huruf itu–hanya ada di kepala kita saja dan tidak bisa sampai ke orang lain. Maka kalam nafsi Tuhan bisa sampai ke benak Nabi atau malaikat yang diberi kalam.

Begitulah cara ulama salaf menjelaskan bab ini yang saya coba olah dengan bahasa seringkas dan sesederhana mungkin. Silakan baca buku saya apabila penasaran dalilnya apa saja, bagaimana kutipan perkataan ulama salaf dan bagaimana perdebatan soal ini secara lebih mendalam.

Berkomunikasi Menggunakan Telepati

Di masa ini sebenarnya kita punya banyak sekali contoh kasus lain dan ilustrasi yang melimpah untuk menjelaskannya. Bahasa manusia pun juga telah mengalami perkembangan sehingga apa yang di masa lalu tidak ada istilahnya sekarang ada.

Mereka yang mencoba diilustrasikan oleh ulama Salaf itu dalam bahasa sekarang adalah telepati. Dulu tidak ada istilah ini sehingga butuh penjelasan yang panjang lebar untuk merujuk pada kejadian di mana satu pihak bisa berkomunikasi pada pihak lain.

Tanpa harus bicara, menulis atau sebagainya yang melibatkan perpindahan suara dan huruf. Tanpa keduanya, apa yang ada di pikiran seseorang sampai dengan komplit ke pikiran orang lain.

Kita biasa melihat ini di film-film atau kisah-kisah karomah para wali yang secara ghaib bisa berkomukasi dengan wali lain tanpa bicara. Sampai saat ini pun masih banyak kisah orang hebat yang dapat mengetahui suara hati orang lain, padahal tidak ada suara atau huruf yang dikeluarkan.

Untuk diketahui, para ulama tidak menyebut isi kepala sebagai “suara dan huruf” meskipun dalam khayalan kita ada seolah suaranya dan ada susunan hurufnya. Ulama menyebut huruf dalam suara hati sebagai “huruf khayalan”.

Lalu apakah artinya Allah bertelepati? Kita tidak boleh menggunakan istilah yang tidak warid atas Allah. Kita hanya boleh bilang Allah berkalam dan kalam-Nya bukan berupa suara dan huruf.

Telepati ini hanya sebuah ilustrasi untuk memudahkan kita paham bahwa ada loh komunikasi tanpa suara dan huruf itu sehingga tidak perlu diherankan apalagi dimustahilkan. Para ulama yang menyebut istilah kalam nafsi bagi Allah juga tidak bermaksud mengatakan bahwa Allah punya hati dan ada suara khayalan di dalam hati Allah.

Proses Komunikasi: Nabi Menyebarkan Kalamullah

Telepati ini secara teknis, contohnya adalah sinyal yang menyebar ke mana-mana itu tidak disebut suara dan tidak pula disebut huruf. Akan tetapi tower BTS berkomunikasi dengan handphone kita dengan baik dan hape kita paham betul isi komunikasi apa yang harus ditampilkan.

Kalau Anda paham ini, maka seharusnya anda akan memahami bagaimana para Nabi memahami komunikasi Allah yang tanpa suara dan huruf itu. Ketika Allah berkalam, maka isi kalam itu akan sampai dengan utuh di benak para Nabi tanpa modifikasi atau tafsiran.

Setelah informasi itu diterima, handphone menyampaikan isi komunikasi itu kepada kita dalam bentuk suara, huruf, gambar, aplikasi, dan lain-lain. Tanpa ada informasi tambahan yang dikarang oleh si hape itu sendiri.

Seperti itu pula, para Nabi pun juga sama menyampaikan isi komunikasi Tuhan itu kepada kaumnya dengan suara dan huruf. Sebab itulah satu-satunya cara manusia berkomunikasi dengan orang lain.

Dalam proses ini Sang Nabi tidak menebak-nebak, menafsirkan sendiri atau mengarangnya tapi apa yang mereka sampaikan betul-betul isi komunikasi yang ia dapat dari Tuhan. Kadang Rasulullah mengungkapkan isi komunikasi Allah yang dia dapat dengan bahasanya sendiri, kalimat dan diksinya sendiri.

Dalam tradisi kita yang semacam ini disebut dengan hadis qudsi. Isinya adalah firman Allah (kalamullah) tetapi diksinya adalah diksi Nabi Muhammad.

Apabila Nabi Muhammad menyampaikan pesan yang diterima apa adanya (redaksi dan makna dari Allah) tanpa ada keterlibatan dirinya sedikit pun. Maka kita menyebut konten kalamullah yang jenis ini sebagai Alquran.

Abdul Wahab Ahmad

Ketua Prodi Hukum Pidana Islam UIN KHAS Penulis Buku dan Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Pengurus Wilayah LBM Jawa Timur.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *