Abu Hayyan al-Andalusi, Mufasir Spesialis Nahwu dan Pembelaan Mazhab al-Zahiri

 Abu Hayyan al-Andalusi, Mufasir Spesialis Nahwu dan Pembelaan Mazhab al-Zahiri

Abu Nasr Mansur (ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Abu Hayyan al-Andalusi lahir pada akhir bulan Syawal 654 H/1256 M di Granada. Ia dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan akademis.

Ayahnya adalah tokoh tafsir terkemuka di Granada.
Selain mendapat dukungan dari keluarga, faktor lingkungan di mana Abu Hayyan tinggal juga sangat mendukung karir intelektualnya.

Kegiatan-kegiatan ilmiah dalam bentuk halaqah ilmu tersebar di beberapa tempat yang berbeda-beda. Fikih, ushul fiqih, fafsir, hadis, bahasa, dan sastra menjadi menu utama dalam halaqah tersebut.

Di samping itu, seperti yang tertuang dalam buku-buku sejarah. Granada termasuk salah satu gudangnya ilmu pengetahuan dan tempat tinggal para ulama spesialis hadis, fikih, bahasa, dan sastra. Tidak kalah dengan kota-kota lain seperti Kordova, Marsiyah, dan Isybiliyah.

Faktor itulah yang mendorong Abu Hayyan gemar dan tekun mencari ilmu. Berikut pernyataannya, “Aku jadikan ilmu yang aku pelajari sebagai hidangan sahur jika siang tiba.

Jika malam tiba, aku menjadikannya sebagai teman ngobrol. Di saat orang-orang seumuranku masih suka bermain-main, mengikat dirinya dengan hawa nafsu, dan mencari kenikmatan dunia; makan dan minum yang lezat, pakaian dan kendaraan mewah, serta kedudukan, saya bulatkan niat saya untuk mendatangi majlis-majlis ulama’, mengambil pelajaran dari mereka, tidak pernah tidur malam hari, dan memprioritaskan ilmu ketimbang keluarga, harta, dan anak…”. (Abu Hayyan, al-Bahr al-Muhit, juz I, hlm. 28-30. Atau al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz I, hlm. 271).

Kisah Abu Hayyan Meninggalkan Kampung Halamannya

Ada beberapa pendapat yang menyebutkan penyebab Abu Hayyan keluar dari kampung halamannya. Menurut al-Muqri dalam kitabnya Nafh al-Thib mengutip dari Lisanuddin bin al-Khatib dalam kitab al-Ihatah, Abu Hayyan pergi meninggalkan desanya karena perbedaan ideologi dengan gurunya, Abu Ja’far bin al-Thiba’ dan Ibnu al-Zubair.

Bahkan perbedaan tersebut Abu Hayyan tuangkan dalam bentuk karya untuk menentang dan mendustakan riwayat gurunya. Ia pun dipanggil untuk dimintai pertanggungjawaban. Namun, Abu Hayyan menolak dan secara sembunyi-sembunyi pergi ke Timur lewat laut.

Ada juga yang mengatakan bahwa bentuk penentangan Abu Hayyan terhadap gurunya, Abu Ja’far bin al-Thiba’ itu terjadi pada saat Abu Hayyan belajar ilmu qira’at Alqur’an. Penentangan tersebut ia dokumentasikan dalam karya yang berjudul Al-Ilma’ fi Ifsad Ijazah Ibn al-Thiba’.

Merasa tidak terima, Abu Ja’far melaporkan perkara itu kepada gubernur Granada, Muhammad bin Nashr atau yang terkenal dengan sebutan al-Faqih.
Setelah membaca kitab Abu Hayyan yang berjudul al-Nudar, Jalaluddin al-Suyuthi memberikan kesimpulan bahwa yang mendorong Abu Hayyan keluar dari kampung halamannya adalah adanya permintaan dari sebagian ulama’ ahli mantiq (ilmu logika), filsafat, matematika, dan ilmu pasti kepada sang sultan.

Ulama’ itu berkata, “Aku sudah tua dan hampir wafat, maka aku meminta kepadamu untuk mencarikan seseorang yang bisa aku ajari berbagai ilmu yang telah aku kuasai”.

Sang sultan pun menunjuk Abu Hayyan dan memberinya sesuatu yang baik, pakaian dan pesangon, namun ia menolaknya. Abu Hayyan lebih memilih berkelana ke negeri-negeri sebrang karena takut dipaksa menerimanya. (Abu Hayyan, al-Bahr al-Muhit, juz I, hlm. 35-36)

Abu Hayyan adalah salah satu ulama’ yang menitik beratkan penafsirannya dalam aspek bahasa dan nahwu. Oleh karena itulah, Muhammad Husain al-Zahabi mengatakan bahwa kitab ini sangat cocok dijadikan marāji’ bagi peminat studi al-Qur’an yang menggandrungi kajian kebahasaan. Keluasaan pembahasannya terhadap persoalan-persoalan nahwu, menjadikan tafsir ini jauh dari tujuan utamanya, yaitu tafsir al-Qur’an (al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz I, hlm. 272).

Pembelaan Abu Hayyan Terhadap Mazhab Dawud al-Zahiri

Beberapa sumber informasi menyebutkan bahwa Abu Hayyan berpindah dari satu mazhab ke mazhab yang lain, yaitu mazhab Maliki, Zahiri, dan Syafi’i. Ia menganut mazhab Maliki karena waktu itu madzhab inilah yang berkembang pesat di Spanyol. Kemudian keluar dari mazhab Maliki dan bergabung dengan mazhab yang didirikan oleh Abu Dawud al-Zahiri.

Kesetiaan Abu Hayyan terhadap mazhab ini seakan mustahil baginya untuk keluar, karena memang sudah menyatu dalam dirinya. Kesetiaan itu terlihat dari sikapnya yang membela mati-matian terhadap Abu Dawud al-Zahiri.

Di dalam surah al-Baqarah ayat 172, Abu Hayyan mengatakan, “Perlu diketahui bahwa Dawud tidak mengharamkan sesuatu kecuali yang sudah disebutkan Allah dalam al-Qur’an. Yaitu daging bukan lemak.

Anehnya Ibnu ‘Athiyyah malah mengutip dari Abu al-Ma’ali Abd al-Mulk al-Juwaini. Padahal pendapatnya tidak dianggap dalam ijma’, berbeda dengan Dawud yang diakui pendapatnya oleh orang-orang yang memiliki pemahaman sempurna dan mereka yang telah mampu menaiki tangga ijitihad.

Bahkan pendapatnya sering dikutip di dalam kitab-kitab mereka sebagaimana mereka juga mengutip dari ulama’ lain seperti al-Auza’i, Abu Hanifah, Malik, Sauri, Syāfi’i, dan Ahmad…”.

Sesampai di Mesir, Abu Hayyan pindah lagi ke mazhab Syafi’i hingga wafat. Karyanya yang berjudul al-Wihaj fi Ikhtishar al-Minhaj sudah cukup menjadi bukti kesetiaannya terhadap mazhab Syāfi’i.

Abdul Wadud Kasful Humam

Dosen di STAI Al-Anwar Sarang-Rembang

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *