6 Ulama Nusantara Asal Sumatera, Wali Songo Jadi Muridnya?

 6 Ulama Nusantara Asal Sumatera, Wali Songo Jadi Muridnya?

Ahmad Baso: Wali Songo Perkenalkan Master Plan Tentang Peran dan Fungsi Ulama (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Berbicara soal ulama Nusantara, yang selama ini melekat di ingatan sebagian besar umat Islam ialah Wali Sanga (Wali Songo) yang berpusat di Jawa.

Meski secara makna, “Nusantara” sendiri berarti mencakup secara luas alias seluruh wilayah di Indonesia.

Beberapa sejarah banyak mengungkapkan keberhasilan para ulama Nusantara, khususnya di tanah Jawa dalam menyebarkan ajaran agama Islam pertama kali.

Para alim ulama itu kemudian ditemukan jejaknya menyebar ke penjuru Negeri.

Tak salah bila masyarakat cenderung mengingat sosok ulama Nusantara yang banyak berkutat di Jawa.

Terlebih pulau Jawa sendiri sebagai pusat pemerintahan saat itu sehingga lebih mudah diingat, dan bisa jadi sebagai daerah tertua yang lebih dulu menyebarkan agama.

Ulama-ulama yang tersebar di Jawa memang lebih melekat diingatan kita, namun sosok ulama dari tanah Andalas tak kalah tersohornya.

Para ulama asal Sumatera ini beberapa di antaranya bahkan menimba ilmu di Jawa, sebagaimana Buya Hamka atau H. Abdul Malik.

Selain Buya Hamka yang kita kenal dan masih hangat di telinga, ada 6 ulama asal Sumatera lainnya yang lebih dulu turut menyebarkan agama Islam di daerahnya.

Beberapa di antaranya bahkan menjadi guru dari 9 Wali Allah (Wali Songo).

1. Syekh Hamzah Fansuri dari Aceh Darussalam

Jauh sebelum muncul “ulama-ulama Youtube dan media sosial” sehingga dikenal masyarakat luas, ulama dahulu begitu canggih dan luar biasa.

Mereka menyebarkan ajaran agama secara kaffah meski tanpa bantuan iklan, salah satunya ialah Syekh Hamzah Fansuri.

Beliau menjadi salah satu dari banyak ulama hebat yang tersohor di Nusantara berkat pemikiran dan karya-karyanya dalam menyebarkan agama Islam dahulu kala.

Syekh Hamzah Fansuri lahir dan besar di kota Barus, Aceh, pada pertengahan abad ke-15 (wafat 1527 M).

Syekh Hamzah Fansuri merupakan seorang sufi, sastrawan, pujangga, yang menjadi guru agama di daerah asalnya.

Sebagai seorang sufi, pemikiran-pemikirannya hingga kini telah banyak menginspirasi perkembangan Islam Nusantara, terutama di Aceh sendiri.

Ustaz Rizem Aizid mengungkapkan dalam Biografi Ulama Nusantara (hal. 16), bahwa tradisi pesantren di Nusantara banyak dipengaruhi oleh pemikirannya, sebab Syekh Hamzah Fansuri juga pendiri pesantren di Nusantara.

Siapa sangka, ulama ternama Wali Songo seperti Sunan Gunung Jati atau Syekh Nurullah adalah salah satu muridnya.

Syekh Hamzah Fansuri juga menjadi generasi pemula puisi Indonesia, salah satu karyanya sebagai pujangga ialah puisi sufi dalam bahasa Melayu –Indonesia.

Meski para ahli sejarah belum menemukan satu manuskrip pun mengenai sejarah kehidupannya, sebuah hasil kajian Bargansky mengungkapkan, ulama sufi ini diperkirakan hidup hingga akhir periode pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607 – 1636 M), di Kesultanan Aceh.

2. Syekh Syamsuddin as-Sumatrani dari Aceh Darussalam

Serambi Mekah ini turut menyumbangkan tokoh ulama-ulama terbaiknya yang berjasa menyebarkan Islam rahmatan lil alamin seperti Syekh Syamsuddin as-Sumatrani.

Beliau ialah salah satu tokoh tasawuf tersohor di masa Kesultanan Aceh, setelah Syekh Hamzah Fansuri.

Syekh Syamsuddin as-Sumatrani satu perguruan dengan Sunan Gunung Jati, ia juga menjadi murid dari pendahulunya, Syekh Hamzah Fansuri.

Ia banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang unggul bidang tasawuf.

Menganut paham tasawuf wujudiyah, ia bahkan tersohor sebagai salah satu tokoh terkemuda kaum wujudiyah di Aceh, yang terkenal dengan ajarannya “tidak ada (sesuatu pun) dalam wujud, kecuali Tuhan.”

Pemikiran neo-platonisme yang terilhami dari Ibn ‘Arabi.

Namun di lain waktu, pemikiran-pemikiran Syekh Syamsuddin as-Sumatrani ditentang oleh ulama lain dari Kesultanan Aceh di era Raja Iskandar Tsani (1636-1641 M).

Beberapa karyanya dianggap sesat dan dibakar oleh Nuruddin ar-Raniri, di bawah kekuasaan Sultan Iskandar Tsani.

Meski begitu, Syekh Syamsuddin as-Sumatrani pernah menjadi ‘tangan kanan’ Sultan Aceh Sayyid Mukammil selama 40 tahun.

Dalam perjalanan dakwahnya di istana, Syekh Syamsuddin as-Sumatrani telah banyak mengembangkan ajaran tasawuf wujudiyah.

Ia juga menyumbangkan pemikiran penting di bidang kenegaraan, ia mengkodifikasi hukum Meukuta Alam, yang diakui seluruh dunia mulai dari Tiongkok hingga Inggris.

Bahkan peraturan Meukuta Alam ini meneladani beberapa Negara tetangga dalam mengambil kebijakan hukum.

3. Syekh Nuruddin ar-Raniri

Meski sempat menentang pemikiran dari dua ulama sebelumnya, namun sumbangsih Syekh Nuruddin ar-Raniri terhadap penyebaran Islam di Aceh tidak kalah besarnya.

Ia menjadi pujangga dan ulama yang tersohor di lingkup pengarang-pengarang Barat.

Pemikirannya dalam bidang agama lebih berkesan di hati masyarakat Melayu.

Syekh Nuruddin ar-Raniri menguasai berbagai pengetahuan keislaman, yang dengan pengetahuannya itu ia kemudian diangkat sebagai penasihat kerajaan Aceh di era pemerintahan Sultan Iskandar Tsani.

Semasa berkiprah di bidang politik sebagai penasihat kerajaan, Syekh Nuruddin ar-Raniri berhasil meruntuhkan paham wujudiyah yang dibawa Syekh Syamsuddin as-Sumatrani.

Dalam bidang keilmuan, ia sangat ahli dalam keilmuan mantik (logika) dam ilmu balaghah (retorika).

Ia menganut mazhab Syafi’i dalam ilmu fikih, namun menguasai mazhab lainnya juga.

Sedangkan akidahnya mengikuti Alhus Sunnah wal Jamaah dari Syekh Abul Hasan al-Asy’ari dan Syekh Abu Manshur al-Maturidi.

Ulama yang kesehariannya mengajar ini memiliki peranan penting dalam menyebarkan Islam Sunni Islam di Nusantara.

Syekh Nuruddin ar-Raniri berhasil menghubungkan tradisi lokal ke tradisi Islam di Timur Tengah yang dibawanya, tanpa menyingkirkan ulama lain.

4. Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi

Bergeser dari Aceh, kita menjumpai ulama dari tanah Minang, Sumatera Barat yang menjadi orang penting di Mekah.

Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi merupakan Imam Masjidil Haram, Mekah yang tersohor di akhir abad ke-19 dan awal abad 20.

Syekh Ahmad Khatib lahir di Koto Tuo-Balai Gurah, IV Angkek Candung, Agam, Sumatera Barat.

Ia lahir pada 6 Zulhijah 1276 H (1860 M), kakeknya seorang ulama ternama yang berprofesi sebagai khatib dan imam di Koto Gadang, Abdullah yang bergelar “khatib nagari”.

Pemikirannya sangat luas dalam berbagai keilmuan, ia juga ahli dalam bidang tarekat.

Dalam keilmuan tersebut, Syekh Ahmad Khatib banyak menentang praktik tarekat Naqsyabandiyah al-Khalidiyyah di Minangkabau, lantaran menurutnya praktik tersebut ialah bid’ah.

Dari penolakannya itu kemudian melahirkan karya yang ia tuangkan dalam buku Izhharu Zaghlil Kazibin fi Tasyabbuhihim bish Syadiqin (Menjelaskan Kekeliruan Para Pendusta).

Ia juga ahli hukum waris sehingga membawa pembaharuan adat Minang yang bertentangan dengan Islam.

Syekh Ahmad Khatib dengan pemikirannya berhasil melahirkan ulama-ulama besar Nusantara yang menjadi pembaharu Islam di tanah Jawa.

Di antara ulama yang berguru pada Syekh Ahmad Khatib ialah K.H. Hasyim Asy’ari (Pendiri NU), K.H. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), Syekh Muhammad Jamil Jaho dari Padang Panjang (pendiri dan pengasuh madrasah PERTI).

5. Syekh Sulaiman ar-Rasui al-Minangkabawi

Ulama golongan Kaum Tua, ia gigih dalam mempertahankan mazhab Syafi’i. Syekh Sulaiman (1871-1970 M) merupakan pendiri Madrasah Tarbiyah Islamiah di tanah kelahirannya, Candung, Sumatera Barat.

Perjalanan intelektualnya berawal dari masa kanak-kanak, ia berguru langsung dengan ayahnya dan Syekh Yahya al-Khalidi Magak, Bukittinggi di surau.

Ia kemudian melanjutkan pendidikan hingga ke Mekah satu angkatan dengan ulama Nusantara lainnya.

Di antaranya, K.H. Hasyim Asy’ari dari Jawa Timur, Syekh Hasan Maksum dari Sumatera Utara, Syekh Khatib Ali al-Minangkabawi dari Sumatera Barat, Syekh Muhammad Jamil Jaho dari Padang Panjang, dan lainnya.

Selain ulama Nusantara, Syekh Sulaiman juga satu angkatan dengan ulama besar asal Malaysia, Syekh Utsman Sarawak, saat menimba ilmu.

Selesai belajar di negeri orang, ia kemudian pulang ke kampungnya di tanah Minang untuk mengajarkan ilmu yang didapatnya dan berdakwah.

Ia mendirikan majelis pengajaran dengan konsep lesehan, duduk bersila. Kemudian majelisnya mulai menggunakan bangku sebagaimana sekolah modern di tahun 1928.

Setelah itu, masih di tahun yang sama, Syekh Sulaiman bersama beberapa ulama mendirikan Perti.

Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) memegang teguh tarekat yang bersumber dari mazhab Syafi’i. Dalam sejarah berdirinya, pada tahun 1942 Perti telah memecahkan rekor dengan membawahi kurang lebih 300 sekolah dengan jumlah murid 45.000 orang.

Perti menjadi salah satu saksi perjuangan kemerdekaan yang digelorakan para ulama, khususnya Syekh Sulaiman dan rekan-rekan pendirinya dalam Perti. Pasca kemerdekaan, ia dilantik sebagai anggota Konstituante dari Perti (1950 M).

Atas jasanya mendukung kemerdekaan RI tersebut, Syekh Sulaiman diganjar penghormatan terakhir saat wafat, 1 Agustus 1970. Gubernur Sumatera Barat, Harun Zein memerintahkan agar mengibarkan bendera setengah tiang selama delapan hari untuk menghormati Syekh Sulaiman.

6. Syekh Ismail al-Khalidi al-Minangkabawi

Masuk dalam deretan ulama Nusantara yang besar di tanah Minang, Syekh Ismail al-Khalidi membawa pemikiran untuk mengenal Tuhan. Ia mengajarkan sifat-sifat Tuhan sebagai metode agar manusia mengenal Tuhannya.

Syekh Ismail beranggapan bahwa Tuhan tidak dapat dikenali selain dengan mengintimi sifat-sifat Tuhan itu sendiri. Ia juga mempelajari dan mengenalkan rukun iman kepada umat Muslim, terutama di Sumatera Barat sehingga dapat mengenal Tuhannya.

Kesehariannya sebagai pendidik dan pembina keagamaan masyarakat Minang, dilakukannya dengan menyebarkan ilmu syariat berlandaskan mazhab Syafi’i.

Dengan itulah ia menorehkan sumbangan besar terhadap perkembangan pemikiran Islam dari ulama-ulama Nusantara.

Sebagai ulama Nusantara, Syekh Ismail sejak kecil sudah sangat akrab dengan kitab kuning berbahasa Arab dan kitab-kitab berbahasa Melayu, disamping mempelajari Al-Qur’an di surau.

Ia juga mempelajari bidang keilmuan lain, seperti fikih, tauhid, tafsir hadis, bahasa Arab, nahwu, saraf, dan balaghah (retorika).

Barisan ulama Nusantara asal tanah Andalas, Sumatera ini menjadi bukti kejayaan Islam di masa lalu.

Semoga tulisan ini dapat menjadi pengingat untuk generasi kita agar dapat melanjutkan perjuangan dalam mengembangkan pemikiran Islam di Nusantara, khususnya di daerah kita. []

Referensi :

Aizid, Rizem. 2016. Biografi Ulama Nusantara: Disertai Pemikiran dan Pengaruh Mereka. Yogyakarta: Diva Press.

Pipit Enfiitri

https://hidayatuna.com/

Suka menulis hal-hal random yang dekat dengan dirinya.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *