Wanita Suriah Diperdagangkan Sebagai Budak Seksual di Libanon
Di Era Modern Ini Ternyata Perbudakan Manusia Masih Terjadi. Baru Baru Ini Wanita Suriah Diperdagangkan Sebagai Budak Seksual di Libanon.
HIDAYATUNA.COM – “Bagaimana saya tahu sebagian besar wanita yang bekerja sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK) itu dikendalikan? (Karena) terakhir kali saya mencoba membantu salah satu dari mereka untuk berhubungan dengan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), saya dipukuli dan diancam oleh para penculiknya,” kata Paul, seorang sukarelawan dari Jesuit, sebuah ordo religius Gereja Katolik Roma.
“Kami (Paul dan istri) telah bertemu bermacam-macam wanita yang berasal dari Libanon, Afrika Timur dan, dalam beberapa tahun terakhir, tentu saja banyak yang berasal dari Suriah,” katanya.
“Menurut pengalaman kami, mereka semua ingin meninggalkan pekerjaan itu (PSK), tetapi satu-satunya yang pernah saya lihat saat mereka meninggalkan pedagang manusia itu adalah ketika mereka diserahkan kepada (pedagang manusia) lainnya,” tambahnya.
Bukan hal yang sangat mengejutkan bagi Paul ketika pada tahun 2016, muncul berita bahwa 75 wanita Suriah telah diperdagangkan dan disekap di sebuah rumah bordil di kota Jounieh selama bertahun-tahun. Sebuah kasus yang kemudian lebih dikenal sebagai kasus ‘Chez Maurice’, setelah rumah bordil tempat dimana para wanita yang berasal dari Suriah itu disekap, terungkap karena empat orang wanita yang telah berhasil melarikan diri dari sana.
Legal Agenda, sebuah LSM yang berada di Libanon, telah mengumpulkan beberapa kesaksian dari para korban yang selamat dari rumah bordil ‘Chez Maurice’, yang menggambarkan tempat itu sebagai ‘bilik penyiksaan’.
“Saya tidak berpikir bahwa ada negara (hukum dan peraturan) di Libanon. (Salah satu pedagang manusia) memberi tahu saya bahwa dia telah membeli negara ini dengan uangnya. Saya mempercayainya ketika saya ditahan di Gedung Keamanan Umum selama 24 jam dan kemudian dibebaskan tanpa adanya hukuman,” kata salah satu wanita yang korban perdagangan manusia kepada Legal Agenda.
Kantor berita Al Jazeera juga telah mendengar kisah tentang beberapa skenario dimana wanita dan anak-anak yang berasal dari Suriah berakhir di tangan para pedagang manusia. Salah satunya melalui prosesi pernikahan, baik di Suriah ataupun di Libanon, dimana ‘sang suami’ itu kemudian menyatakan dirinya sebagai pedagang manusia. Ada juga kasus-kasus wanita dan anak perempuan yang direkrut secara paksa dari kamp-kamp pengungsian, atau bahkan mereka dijual oleh keluarganya sendiri kepada para pedagang manusia.
Dan pada akhirnya mereka semua tiba di Libanon untuk diperdagangkan. Kelompok-kelompok hak asasi manusia dan juga para pekerja bantuan mengatakan bahwa yang selama ini dilakukan oleh pemerintah untuk para korban tidaklah cukup.
“Tidak ada kepercayaan dalam sistem (di Libanon). Para korban tidak melaporkan dan juga tidak meminta bantuan. Dan pada saat yang sama tidak ada program untuk menjangkau para korban tersebut,” kata Ghada Jabbour, seorang kepala unit anti-perdagangan manusia di LSM Kafa (yang berarti Cukup dalam bahasa arab), yang berfokus pada kekerasan berbasis gender.
“Sendirian, kami tidak bisa berbuat banyak,” kata Jabbour.
Bersama-sama dengan jaringan LSM Katolik Caritas, Kafa telah mengelola tempat penampungan bagi perempuan yang selamat dari tindakan kekerasan, terutama para Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang telah dilecehkan oleh majikan mereka sendiri. Internal Security Forces (ISF) Libanon juga kadang-kadang merujuk korban perdagangan manusia kepada mereka.
Tetapi sumber daya mereka sangatlah terbatas, sejak tahun 2015, Kafa telah mampu menawarkan perlindungan kepada sekitar 100 orang wanita, yang 20 di antaranya adalah warga Suriah yang menjadi korban perdagangan manusia.
“Tempat penampungan ini hanyalah titik awal, yang kita butuhkan adalah solusi untuk jangka panjang,” kata Jabbour.
Beberapa dari wanita ini telah dipindahkan ke luar negeri, beberapa juga telah menikah, tetapi yang lainnya, tanpa adanya mekanisme dukungan yang tepat, kembali bekerja menjadi PSK, baik karena dipaksa ataupun keputusasaan.
“Menanggulangi perdagangan manusia dan mengidentifikasi para korban adalah sesuatu yang tidak dapat diselesaikan oleh LSM. Itu adalah tanggung jawab dari negara,” kata George Ghali, seorang direktur dari Alef. Dia juga menambahkan bahwa permasalahannya bukanlah pada hukum yang ada, melainkan pada proses pengimplementasian hukum itu sendiri. (Aljazeera.com)