Tradisi Diskursus Talal Asad: Sebuah Ide dalam Antropologi Islam
HIDAYATUNA.COM – Diskursus mengenai apa dan bagaimana memahami Islam secara komperhensif nampaknya telah mengundang perhatian banyak kalangan. Baik yang datang dari kalangan Islam sendiri, atau bahkan dari kalangan luar Islam.
Masing-masing dari kalangan ini nampaknya saling mengisi antara satu sama lain. Namun demikian, jika melihat lebih mendalam, terdapat sebuah perdebatan yang terjadi.
Perdebatan yang secara garis besar berpusat pada pertanyaan: aspek apa dalam Islam yang sebenarnya perlu dilihat oleh kalangan yang ingin memahami Islam. Bagaimana caranya?
Talal Asad, seorang professor antropologi dari City University of New York Graduate Center, adalah salah satu dari sekian banyak kalangan yang melakukan usaha ini.
Dalam ‘The Ide of an Antrophology Islam’ ia menawarkan sebuah gagasan yang cukup menarik. Gagasan yang dapat digunakan untuk memahami Islam, yakni melalui ‘Tradisi Diskursif’ (Asad 2009).
Kritik Talal Asad
Setidaknya terdapat tiga poin penting yang menjadi fokus perhatian kritik Talal Asad terhadap pendekatan yang ditawarkan oleh para sarjana terdahulu.
1. Pendekatan tekstual
Pendekatan ini, oleh Talal Asad, disebutkan sebagai sebuah mekanisme dalam memahami Islam yang didasarkan sepenuhnya pada dimensi tekstual. Pendekatan ini menganggap bahwa Islam yang disandarkan pada dimensi tekstual merupakan universal Islam, atau juga biasa disebut dengan ortodoksi.
Adapun hal-hal yang tidak terdapat di dalam teks, keseluruhannya dianggap merupakan sebuah penyimpangan, juga biasa disebut heterodoksi. Pendekatan yang semacam ini mendapatkan kritik yang tajam Talal Asad.
Dalam pandangannya, ketika Islam hanya berfokus pada dimensi tekstual, ini mengarahkan pada kecenderungan untuk mereduksi esensialisme Islam. Sebab, dalam pendekatan ini, secara sengaja telah mengabaikan praktik-praktik keagamaan yang berlaku di dalam masyarakat.
2. Pendekatan antropologi dalam Islam
Pendekatan ini lahir sebagai respon kalangan sarjana humaniora, yang di antaranya adalah Abdul Hamid Zein dan Clifford Geertz. Pendekatan ini menghendaki ketika memahami Islam untuk memberikan fokus utama terhadap praktik-praktik keagamaan yang berlaku di dalam masyarakat, dan bukan pada dimensi tekstual.
Clifford Geertz, misalnya, yang menyatakan bahwa dalam Islam terdapat beragam praktik keagamaan. Ia melihat bahwa, di satu sisi, Islam sebagai fenomena yang universal, dianggap sebagai pengamalan dan tradisi yang bermakna.
Di sisi yang lain, Islam juga bertindak sebagai fenomena lokal, yakni Islam yang memiliki perbedaan praktik keagamaan di dalam masyarakat. Argumen yang dinyatakan Clifford Geertz mendapat respon yang cukup tajam dari Abdul Hamid.
Dalam pandangannya, disiplin keilmuan antropologi, utamanya ketika ingin digunakan dalam memahami Islam, tidak dikehendaki untuk membedakan praktik-praktik keagamaan dalam masyarakat. Lebih jauh, bahwa dalam disiplin keilmuan ini, pada dasarnya merupakan upaya untuk ekspolari makna dari sebuah pengalaman keberagamaan dalam masyarakat.
Bukan pada dimensi ortodoksi, lebih-lebih pada hirarki wacana dari praktik keberagamaan. Ada dua poin penting yang menjadi kritik Talal Asad terhadap pandangan yang kedua.
Disintegras
Pertama, apa yang diajukan Abdul Hamid nampaknya justru mengarah pada hadirnya disintegras. Yakni bertentangnya kalangan yang memahami Islam secara tekstual, dan apa yang telah diyakini oleh masyarakat muslim itu sendiri.
Selain itu, hal ini mengarah pada adanya justifikasi kebenaran mengenai praktik keberagamaan itu sendiri. Jika melihat bahwa argumentasi Abdul Hamid terkait ‘eksplorasi makna dari praktik keberagamaan masyarakat’.
Pada akhirnya, praktik yang demikian justru cenderung menggantikan posisi para ahli teologi (baca: Ulama, ustaz, dan lain-lain). Ini bukan merupakan tugas kalangan antropologi dalam pandangan Talal Asad.
Mengabaikan perubahan praktik
Pendekatan tersebut secara tidak langsung telah mengabaikan adanya sebuah ‘perubahan praktik’ dalam masyarakat.
Pendekatan ilmu sosiologi dan politik
Pendekatan ini memiliki fokus perhatian pada aktivisme Islam, struktur material dalam Islam yang membentuk ide. Sekaligus Islam sebagai ideologi simbolisme perlawanan terhadap Barat.
Pendekatan ini, oleh Talal Asad, dianggap memiliki kelemaham pada: kecenderungan mengabaikan kehadiran teks yang membentuk sebuah ide dan keterlibatan umat Islam sebagai agensinya.
Tradisi Diskursif: Sebuah Tawaran
Lahirnya tawaran ini berangkat dari keresahan Talal Asad melihat tawaran-tawaran yang ada dalam upaya memahami Islam terkesan ‘ekslusif dan berdiri sendiri-sendiri’. Lebih dari itu, oleh Talal Asad, tawaran-tawaran tersebut dianggap sangat lemah dalam aspek signifikansi metodologinya.
Oleh karenanya, melalui ‘Tradisi Diskursif’ ini, yang merupakan poin penting dalam cabang keilmuan antropologi Islam. Diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu jalan dalam memahami Islam secara komperhensif.
Tradisi Diskursif yang ditawarkan Talal Asad mensyaratkan untuk setiap yang memahami Islam untuk dapat memahami terlebih dahulu landasan dasar cara berfikir (penalaran) umat Islam. Umumnya, penalaran ini berdasarkan pada dua teks yang otoritatif, Alquran dan Hadis.
Kedua teks ini, juga realitas yang mengitarinya (baik sosial, budaya, dan politik) sebagaimana dipahami Talal Asad sebagai tradisi masa lalu. Ini merupakan alat legitimasi bagi masyarakat Islam dalam beragam praktik keberagamaannya.
Perhatian selanjutnya dalam tawaran ini disyaratkan untuk melihat tradisi masa depan (realitas kekinian). Ini berkaitan dengan bagaimana kemudian para aktor yang ingin memahami Islam, Tentu dengan menghadirkan sebuah wacana dan praktik yang terus berkembang dan bertransformasi yang berkesesuaian dengan realitas aktual.
Artinya, secara singkat tawaran ini menghendaki ‘penalaran’ untuk mendialogkan dua teks otoritatif. Tradisi masa lalu, dan hal-hal yang hadir di masa kini di dalam realitas masyarakat kekinian (praktik, budaya, sosial, dan politik) dalam memahami Islam.
Referensi
Asad, Talal. 2009. “The Idea of an Anthropology of Islam.” Qui Parle 17 (2): 1–30. https://doi.org/10.5250/quiparle.17.2.1.