Teladan Perjuangan Imam Nawawi dalam Menuntut Ilmu
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Sebelum membahas mengenai bagaimana perjuangan Imam Nawawi dalam menuntut ilmu, alangkah baiknya mengetahui biografi beliau terlebih dahulu sebagai bentuk tabarukan.
Sosok Imam Nawawi merupakan ulama legendaris abad ke-13 Masehi. Ia memiliki nama lengkap Yahya bin Syaraf bin Murry bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam Al-Nawawi.
Namun ia lebih dikenal dengan sebutan Al-Imam Al-Nawawi atau Imam Nawawi. Nama Nawawi adalah bentuk penisbatan terhadap kota Nawa, yakni tanah kelahirannya di Damaskus yang saat ini menjadi Ibukota Suriah.
Banyak sekali kitab-kitab dan buku-buku baik klasik atau modern yang membahas tentang Imam Nawawi. Salah satu kitab yang terkenal membahas secara detail biografi Imam Nawawi adalah kitab Tuhfat Al-Thalibin fi Tarjamati Al-Imam al-Nawawi.
Kitab tersebut ditulis oleh murid kebanggaan beliau yakni ‘Alauddin ‘Ali bin Ibrahim bin Daud bin Salman bin Sulaiman Abu Al-Hasan Ibn Al-‘Aththar atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu ‘Aththar.
Ibnu ‘Athar juga dinilai sangat berjasa dalam menuliskan Kembali fatwa-fatwa Imam Nawawi di setiap majelis ilmu yang beliau isi.
Sebab Ibnu ‘Aththar sangat produktif dalam menulis fatwa-fatwa Imam Nawawi adalah, karena beliau sangat sering sekali bertemu dan bermulazamah dengan Imam Nawawi.
Dalam kitabnya Ibnu ‘Aththar menjelaskan bahwa Imam Nawawi semasa hidupnya memiliki banyak sekali kuniah (julukan), seperti Abu Zakariya kuniah tersebut diambil dari nama asli beliau adalah Yahya.
Hal inilah yang mengantarkan beliau dijuluki Abu Zakariya, karena memandang Nabi Allah, Yahya dan ayahnya yakni Zakariya.
Selain berkunyah Abu Zakariya beliau juga memiliki kuniah Muhyiddin yang artinya adalah orang yang menghidupkan agama.
Pada dasarnya beliau sangat tidak suka dengan julukan tersebut, Imam Nawawi pernah berkata,
“Aku tidak akan memaafkan orang yang memberiku julukan Muhyiddin,”
Namun julukan atau gelar tersebut sangat pantas disandangnya, melihat betapa istikamahnya beliau dalam menghidupkan sunah-sunah nabi, melenyapkan perbuatan bid’ah, dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
Sebelum beliau menjadi orang yang sangat masyhur saat ini, diceritakan bahwa sang ayah sudah dapat merasakan bahwa anaknya suatu saat akan menjadi orang ‘alim, wara’, dan zuhud.
Hal ini didasarkan pada sebuah kisah yang menceritakan bahwa pada suatu malam yang gelap gulita, tepatnya pada malam ke-27 di bulan suci Ramadhan, Imam Nawawi kecil tengah tidur di samping ayahnya.
Tiba-tiba Nawawi kecil melihat cahaya terang yang menyinari rumahnya. Lantas ia membangunkan ayahnya dan keluarganya seraya menceritakan kejadian aneh yang sedang dialaminya.
Ternyata tidak seorang pun dari keluarganya yang melihat cahaya yang ia maksud. Tidak berselang lama, ayahnya menyadari bahwa pada malam itu adalah malam yang sangat mulia di bulan suci Ramadhan, yaitu malam lailatul qadar.
Atas kejadian ini ayah Imam Nawawi merasa bahwa kelak anaknya akan menjadi orang yang bermanfaat bagi agama dan umatnya.
Firasat semacam itu juga pernah disampaikan oleh seorang guru besar yang Bernama Syaikh Yasin bin Yusuf Al-Zarkasyi kepada guru yang mengajarkan Al-Quran kepada Imam Nawawi kecil.
Syaikh Yasin bin Yusuf Al-Zarkasyi mendatangi guru yang mengajari Al-Qur’an Imam Nawawi kecil seraya berkata,
“Kelak anak ini akan menjadi orang yang paling ‘alim di zamannya, paling zuhud, dan bermanfaat bagi banyak manusia.”
Guru Imam Nawawi kemudian menyampaikan pesan dari Syaikh Yasin bin Yusuf Al-Zarkasyi kepada ayah Imam Nawawi.
Mendengar cerita tersebut ayah Imam Nawawi merasa sangat senang dan kemudian Imam Nawawi kecil dibawa ayahnya ke Damaskus untuk lebih lanjut menimba ilmu.
Selama perjalanan menuntut ilmu, Imam Nawawi selalu tekun dan tidak pantang menyerah meskipun cobaan datang bertubi-tubi.
Kesungguhan beliau dalam menuntut ilmu dapat kita lihat pada usaha beliau melatih nafsu atau dalam dunia tasawuf hal ini disebut sebagai riyadhoh.
Pada saat beliau belajar di Damaskus Imam Nawawi berkata bahwa selama dua tahun beliau tidak pernah meletakkan lambungnya di bumi dan beliau hanya makan roti kasar (jiroyah) yang disediakan oleh madrasah yang ia singgahi.
Perkataan tersebut mengisyaratkan bahwa Imam Nawawi tidak pernah tidur dan ia selalu melatih nafsunya dengan cara mengontrol pola makan.
Selain itu terdapat kisah yang sangat unik yang tidak biasa terjadi pada dunia anak-anak, yakni pada suatu Ketika Imam Nawawi kecil dipaksa oleh teman-temannya untuk bermain.
Namun Imam Nawawi kecil menolak, menghindar, dan menangis atas paksaan tersebut. Hal ini disebabkan karena ia tidak mau meninggalkan aktivitas belajarnya untuk sekedar bermain-main.
Ketekunan Imam Nawawi dalam belajar juga dapat kita lihat pada saat beliau disuruh ayahnya untuk menjaga toko, Imam Nawawi selalu mengisi waktunya untuk membaca Al-Qur’an di sela-sela waktu yang tidak ada pembeli.
Atas kerja keras dan kesungguhannya dalam belajar menghantarkan Imam Nawawi pada puncak kesuksesannya dalam menuntut ilmu, sehingga beliau menjadi ulama besar dan masyhur hingga sekarang. []