Syafrudin Prawiranegara : Da’i dan Presiden Indonesia dalam 207 Hari
HIDAYATUNA.COM – Syafrudin Prawiranegara, adalah seorang tokoh perjuangan yang memiliki catatan perjuangan yang panjang plus jejak dakwah yang memesona. Beliau lahir di Banten, 28 Februari tahun 1911. Ia adalah seorang pejuang kemerdekaan, Gubernur Bank Indonesia, Wakil Perdana Menteri, dan juga seorang Presiden dalam Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.
Banyak dari masyarakat Indonesia yang belum mengenal sosok yang satu ini. Bahkan mungkin banyak pula yang tidak tahu bahwa orang ini sesungguhnya pernah menjabat sebagai Presiden Indonesia. Presiden yang dimaksud disini adalah Presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia atau PDRI.
Masa Muda
Syafrudin memiliki nama kecil “kuding”, yang berasal dari kata Udin pada nama Syafrudin. Ia memiliki darah keturunan Banten dari pihak ayah dan Minangkabau dari pihak Ibu. Buyutnya dari pihak ibu, Sutan Alam Intan, masih merupakan keturunan kerajaan raja Pagaruyung di Sumatera Barat, yagn dibuang ke Banten karena terlibat perang Padri. Ia kemudian menikah dengan putri bangsawan di Banten, melahirkan kakeknya yang kemudian memiliki anak bernama Raden Arsyad Prawiraatmadja.
Ayah Syafrudin bekerja sebagai jaksa, namun cukup dekat dengan rakyat. Kedekatannya itulah yang membuat ayahnya kemudian diasingkan ke Jawa Timur oleh Belanda. Syafruddin kemudian menempuh pendidikan ELS pada tahun 1925, dilanjutkan ke MULO di Madiun pada tahun 1928, dan AMS di Bandung pada tahun 1931. Pendidikan tingginya diambilnya di Rechtshoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta (sekarang Fakultas Hukum Universitas Indonesia) pada tahun 1939, dan berhasil meraih gelar Meester in de Rechten (saat ini setara dengan Magister Hukum).
Sebelum bergabung dengan pemerintahan, Syafrudin pernah bekerja sebagai pegawai siaran radio swasta (1939-1940), petugas pada Departemen Keuangan Belanda (1940-1942), serta pegawai Departemen Keuangan Jepang. Setelah kemerdekaan, Syafrudin menjadi anggota Badan Pekerja KNIP (1945), yang bertugas sebagai badan legislatif di Indonesia sebelum terbentuknya DPW dan MPR. KNIP diberikan kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.
Presiden PDRI
Syafrudin mendapat berbagai amanat yang disematkan atasnya, antara lain Wakil Perdana Menteri, Menteri Keuangan, dan Menteri Kemakmuran. Ia menjabat sebagai Wakil Keuangan pada tahun 1946, dan Menteri Kemakmuran pada 1947. Pada saat mejabat Menteri Kemakmuran inilah, terjadi agresi militer II dan menyebabkan terbentuknya PDRI.
Syafruddin adalah orang yang ditugaskan oleh Soekarno dan Hatta untuk membentuk Pemerintahan Darurat RI (PDRI), ketika Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap pada Agresi Militer II, kemudian diasingkan oleh Belanda ke Pulau Bangka, 1948. Hatta yang telah menduga Soekarno dan dirinya bakal ditahan Belanda segera memberi mandat Syafruddin untuk melanjutkan pemerintahan, agar tak terjadi kekosongan kekuasaan.
Syafrudin memimpin PDRI dari Bukittinggi. Maka, di saat itu bisa dibilang Syafrudin telah menyelamatkan Republik Indonesia ini. Syafrudin menjadi memerintah Indonesia selama 207 hari, dan atas usaha PDRI, Belanda terpaksa berunding dengan Indonesia. Perjanjian Roem-Roiyen mengakhiri mimpi Belanda, ditandai dengan pembebasan Soekarno-Hatta. Pada 13 Juli 1949, diasakan sidang antara PDRI degan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta, serta sejumlah menteri kedua kabinet. Serah terima pengambilan mandat dari PDRI secara resmi terjadi pada 14 Juli 1949 di Jakarta.
Kesederhanaan Syafrudin
Dalam sebuah buku berbasis riset ilmiah dengan judul Presiden Prawiranegara : Kisah 207 Hari Syafrudin Prawiranegara Memimpin Indonesia yang ditulis oleh Akmal Nasery Basral dan berformat novel, berisi fakta-fakta mengejutkan tentang kesederhanaan hidup keluarga Syafrudin yang didapat dari wawancara dengan keluarga atau ahli waris Syafrudin. Buku itu juga merupakan napak tilas keempat tempat utama ibukota PDRI, artefak-artefak sejarah yang masih ada, dan testimoni dari warga sekitar tempat itu.
Kesederhanaan kehidupan keluarga ini tergambar dari deskripsi istri Syafrudin saat sang suami menjabat sebagai Menteri Keuangan pada era pemerintahan Soekarno. Keluarga ini bahkan tak mampu untuk membeli gurita (kain pembebat dada dan perut) bayi. “ayahmu Menteri Keuangan Icah” Lily menyeka matanya yang basah. “Ayah mengurusi uang negara, tetapi tidak punya uang untuk membeli gurita bagi adikmu, Khalid yang baru saja lahir. Kalau ibu tidak alami sendiri kejadian itu, ibu pasti bilang itu khayalan pengarang. Tapi ini nyata. Ayahmu sama sekali tak tergoda memakai uang negara, meski hanya untuk membeli sepotong kain gurita.”
Kalimat di atas merupakan ucapan Teungku Halimah atau yang biasa dipanggil Lily, istri Syafrudin. Ucapan itu disampaikan Lily kepada Aisyah atau Icah, putri pertama Syafrudin dan dimuat di lembar pertama dari buku Presiden Prawiranegara. Dibagian lain dituliskan juga, bahwa kondisi ekonomi Syafrudin ternyata lebih miskin setelah menjadi Menteri Keuangan jika dibandingkan saat menjabat sebagai Inspektur Pajak di Kediri.
Kecuali soal gurita bayi yang tidak terbeli, buku itu juga menyingkap rahasia bahwa Lily harus berjualan sukun goreng untuk menghidupi empat anaknya yang masih kecil. Perjuangan hidup yang berat itu dijalani Lily selama suaminya berada di Sumatera menjalankan tugas negara. Saat berjualan sukun itu, ada protes kecil dari Icah. “Kenapa kita tidak minta bantuan saja pada Presiden Om Karno dan Wakil Presiden Om Hatta serta Om Hengky,” tanya Icah.
“Ayahmu sering mengatakan kepada ibu agar kita jangan bergantung pada orang lain Icah. Kalau tidak penting sekali jangan pernah meminjam uang, jangan pernah berhutang,” kata Lily.
Da’i yang Istiqomah
Tetnag kiprah dakwah Syafrudin, ia adalah orang yang aktif di Masyumi. Ketika Masyumi dipaksa bubar oleh rezim Orde Lama, para aktivisnya lalu membentuk Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Syafrudin pun semakin istiqomah dalam berdakwah. Pada 2012 di Universitas Muhammadiyah Surakarta, Sriyanto membuat karya tulis berjudul “Pemikiran Dakwah Mr. Syafrudin Prawiranegara”.
Sriyano mengatakan bahwa Syafrudin Prawiranegara termasuk dai yang hebat. Pemikirannya selalu berlandaskan kepada iman. Ketegasannya terlihat ketika dia menjadi ketua aktif Korps Mubaligh Indonesia. Dia menganjurkan agar para dai tidak sekedar menjadi “jaksa” yang hanya menyalahkan, namun juga berdakwah hendaknya dengan mencerahkan, memahamkan dan penyadaran serta pertaubatan.
Sriyanto menegaskan bahwa Syafrudin adalah mubaligh yang hebat. Dia adalah tipikal Muslim sejati. Selama Orde Lama dan di masa Orde baru, peran Syafrudin sering dihalang-halangi. Dia misalanya pernah diperiksa berkaitan dengan isi khutbahnya pada Hari Raya Idul Fitri 1404 H di Masjid Al-A’raf, Tanjung Priok, Jakarta. Ketika itu Syafrudin berpidato yang berisi, “Saya ingin mati di dalam Islam. Dan ingin menyadarkan, bahwa kita tidak perlu takut kepada manusia, tapi takutlah kepada Allah” pesannya.
Syafrudin Tutup Usia
Syafrudin Prawiranegara meninggal dunia pada 15 Februari 1989 id usia 77tahun. Lelaki sederhana itu telah pergi. Da’i yang teguh dalam berdakwah itu telah tiada. Tapi bagi kita, dua spirit itu sederhana dan teguh dalam berdakwah, tak boleh pergi selama kita hidup.