Puasa Sebagai Momen Perenungan Diri

 Puasa Sebagai Momen Perenungan Diri

Oleh: M. Badrul Munir

HIDAYATUNA.COM – Puasa secara keseluruhan merupakan momen spiritualitas dan bagaimana melakukan pengabdian kepada Tuhan secara eksklusif. Semua tindakan manusia dapat diidentifikasi dan dinilai oleh manusia sendiri, kecuali puasa. Untuk tindakan pengabdian ini, akulah yang menilainya. Demikian penyampaian kata-kata Tuhan melalui Nabi SAW (baca:Hadis Qudsi). Dalam Islam, momentum istimewa ini dilaksanakan dalam satu bulan. Hari-hari selama itu disediakan oleh Tuhan bagi mereka yang memiliki keyakinan untuk merenung dan berkontemplasi atas apa yang telah mereka tempuh dalam perjalanan hidupnya. Sesudah itu, manusia diharapkan tampil kembali dengan pribadi yang bermanfaat bagi kemanusiaan.

Puasa bukan hanya diajarkan oleh Islam, tetapi juga oleh agama-agama dan kepercayaan yang lain melalui tata caranya masing-masing. Sejak awal Tuhan telah memberikan kepercayaan pengaturan kehidupan di dunia ini kepada manusia. Dia berharap, manusia mampu membangun kondisi kehidupan bersama yang saling mensejahterkan dan saling menghormati. Untuk keperluan tersebut, Tuhan membekali dengan berbagai perangkat yang memungkinkan mereka dapat merealisasikan dan mengerjakan tugas kemanusiaan tersebut dengan sebaik-baiknya. Tuhan menganugerahkan manusia akal untuk memikirkan, hati untuk mengalami dan hasrat untuk menggerakkan. Tiga hal yang secara genuine diciptakan dalam kondisi baik dan suci.

Namun dalam perjalananya, manusia seringkali menjadi mahluk yang bodoh dan lemah. Ia sering tergoda, lalai, terperangkap, tergelincir keddalam tindakan-tindakan menyimmpang; merendahkan, mendiskriminasi dan menzalimi sesamanya.Manusiapun mudah untuk tertipu dan tertarik hasrat-hasrat rendah dan kesenangan-kesenagan sesaat (duniawi); menuju harta, seks, jabatan keturunan, golonganya sendiri dan sebagainya. Hasrat-hasrat inilah yang sering melalaikan, menindas, memperdaya dan tak menghargai hak orang lain. Manusia seringkali tidak mampu mengontrol hasrat-hasrat yang menyesatkan tersebut.

Mari kita lihat, hari-hari di Negeri ini, masih saja kita saksikan kisah-kisah penderitaan manusia, hamba-hamba Tuhan. Masih begitu banyak masyarakat  menderita dan terlunta-lunta karena kelaparan dan kemiskinan yang tak dimengerti. Hari-hari inipun kita juga masih saja menyaksikan berbagai tindakan manusia yang melukai sesamanya, baik dalam rumahnya sendiri maupun diruang bersama. Berapa banyak buruh dan pekerja kasar yang tak memperoleh hak-haknya? Hanya karena dianggap lemah, mereka diperlakukan seakan-akan manusia yang tak berharga dan boleh diperlakukan sesuka hatinya. Berhari-hari kita menyaksikan dan membaca betapa banyaknya hasil jerih payah dan keringat orang-orang lemah diambil begitu saja, baik secara terang-terangan maupun diam-diam, hanya karena mereka dianggap bodoh, tidak tahu, tidak penting dan tidak punya kuasa. Kata Nabi SAW yang mulia, “Innama tunsharun wa turzaquna bi dhu’afaikum”, yang artinya sesungguhnya kalian ditolong dan diberi rezeki oleh orang-orang yang lemah diantara kamu.

“Puasa merupakan momentum perenungan diri atas hasrat-hasrat rendah dan sesat. Puasa itu menderitakan sekaligus memulihkannya. Pembiaran hasrat-hasrat rendah tak terkendali selalu akan melahirkan malapetaka sosial.”

Puasa pada sisi lain juga merupakan momen guna melatih sensitivitas pikiran, hasrat dan tindakan agar selalu terkontrol dan terkendali. Islam dan agama-agama lain berpendirian bahwa kehidupan yang adil dan sejahtera tidak akan tercipta tanpa perhatian, layanan, perlakuan yang adil dari masyarakat yang berada dan kuat terhadap orang-orang yang lemah. Para fakir, kaum miskin dan kaum perempuan sejatinya merupakan hamba tuhan yang menjadi sendi dan tulang punggung kekuatan suatu masyarakat. Betapa banyak kehidupan kita yang bergantung kepada mereka, kita akan sangat sulit hidup tanpa mereka.

Seyogyanya mereka yang di sisihkan hanya karena mereka lemah, kecil atau minoritas tetap saja harus dihargai hak-hak nya, baik hak hidup maupun hak untuk mengabdi, mengagungkan dan memuliakan Tuhan, apapun nama-Nya. Karena tubuh dan roh mereka adalah milik Tuhan dan akan kembali pada-Nya. Dalam dunia yang adil, setiap warga sepatutnya mendapatkan haknya sesuai dengan kewajiban yang dibebankan atas mereka.

Pada momen puasa akan berakhir, yakni sepuluh hari terakhir, bagi jiwa-jiwa tercerahkan merupakan hari-hari paling mendebarkan. Kekasih tak lama lagi akan pergi. Kandil-kandil yang berkedip kian menghiasi masjid, khanaqah, ribat atau zawiyah pada dini hari iakan diredupkan. Ruang-ruang sujud itu akan menjadi temaram. Para malaikat akan turun, hadir dan siaga di masjid, beribadah dan mendoakan ampunan serta rahmat bagi para hamba yang mencintai seluruh ciptaan Tuhan. Jiwa-jiwa yang tercerahkan akan seera bergabung. Perenungan mereka semakin dalam dan mereka semakin mendesah, menikmati puncak ibadahnya.

Akan seberapa seringkah kau kan berenang dilautan salah
Kau pertontonkan dan banggakan itu di hadapan Dia Yang Senantiasa Melihatmu dan kau tak melihat-Nya
Kau seringkali tampil bagai orang bersih nan saleh
Tetapi, lakumu penuh dengan hasrat rendah
Wahai, engkau yang sering selingkuh
Mata Tuhan selalu menatapmu
Kembalilah kepada-Nya sebelum kau pulang,
Sebelum hari dimana setiap hamba menjumpai hasil kerjanya kemarin.


Akademisi dan Peneliti dalam bidang pendidikan Sekolah Pasacasarjana UIN Syarif Hiyatullah Jakarta, Dosen STAI Nida El Adabi.

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *