Politik Identitas: Bahaya Politisasi Agama dan Ancaman Radikalisme
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Tahun politik 2024 menjadi momen penting dalam perjalanan demokrasi di berbagai negara salah satunya Indonesia.
Menjelang pemilihan umum yang akan dilangsungkan pada tahun tersebut, tentunya berkaitan dengan politik identitas yang kerap dijadikan sarana untuk memperalat dan mengeksploitasi kepentingan gerakan politik.
Politik identitas yakni suatu politik yang menggunakan identitas-identitas sosial untuk memenangkan pertarungan politik atau menyerang lawan-lawan politik.
Entah itu suku, agama, gender, etnik, latar belakang budaya, dan sebagainya.
Adanya politik identitas menghilangkan substansi demokrasi yang bermartabat.
Perdebatan politik bukan tentang visi dari kontestan politik tetapi pada permainan narasi yang saling menghakimi berdasarkan perbedaan identitas.
Iklim demokrasi tidak tumbuh dengan sehat dan kondusif karena maraknya politik identitas.
Sebaran hoaks, fitnah, adu domba dan provokasi lebih banyak mewarnai kondisi politik dari pada pertarungan ide dan gagasan.
Sebagaimana dalam kampanye Pilkada DKI Jakarta tahun 2017, dimana sentimen agama mulai dimainkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan politiknya.
Pada saat itu, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), seorang politisi keturunan Tionghoa yang beragama Kristen menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Kasus penodaan agama yang menjerat Ahok menjadi kapital politik bagi lawan politiknya dalam memainkan sentimen agama.
Sementara Anies Baswedan, seorang Muslim mendapat dukungan kuat dari kelompok-kelompok islam konservatif.
Ia memanfaatkan isu agama dan menarik dukungan dari kalangan agamawan dan kelompok-kelompok islam yang merasa diwakili dan diperjuangkan oleh Anies Baswedan.
Terjadinya politik identitas berbasis agama dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 menimbulkan polarisasi dan perpecahan dalam masyarakat.
Isu agama menjadi pemicu pertentangan antara kelompok pendukung Ahok dan Anies, serta memprovokasi prasangka dan konflik.
Begitu pula ketika Pemilu 2019, di mana ada penggiringan kelompok Islam ke masing-masing kubu yang berkompetisi pada saat itu.
Sebagai dampak tersebut, lahirlah kemudian sentimen terhadap kelompok Islam yang terlihat selalu menentang pemerintah, tidak lain yaitu Front Pembela Islam (FPI).
Bahaya Politisasi Agama
Agama sebagai panglima dari politik pada dewasa ini, setiap gerakan massa selalu dipenuhi oleh simbol-simbol keagamaan tertentu.
Karena sentimen keagamaan mudah untuk disentuh, sehingga tanggapan akan pergerakan massanya cepat dalam setiap keadaan.
Agama sebagai alat politik atau politisasi agama merujuk pada penyalahgunaan agama untuk mencapai kepentingan politik.
Kelompok politik sering kali memanfaatkan identitas keagamaan untuk memperoleh dukungan massa dan memperkuat legitimasi mereka.
Namun, bahaya muncul ketika agama digunakan untuk membenarkan kebijakan yang diskriminatif, intoleran, atau bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Ini salah satu yang menyebabkan terciptanya konflik antar agama. Ketika agama digunakan sebagai alat politik, perbedaan keyakinan agama yang seharusnya menjadi ruang dialog dan toleransi dapat menjadi alasan bagi pihak-pihak yang berkonflik untuk saling menyerang dan menghasilkan kekerasan antar agama.
Seperti konflik berbasis agama di beberapa wilayah di dunia, yang mengakibatkan luka fisik, kehilangan jiwa, dan kerusakan sosial.
Selain itu, politisasi agama dapat mengancam prinsip-prinsip demokrasi. Demokrasi yang sehat bergantung pada prinsip kesetaraan, kebebasan beragama, dan keadilan.
Namun, ketika agama diperlakukan sebagai alat politik, prinsip-prinsip ini tidak lagi diterapkan.
Misalnya, pembatasan kebebasan beragama bagi kelompok-kelompok minoritas, diskriminasi terhadap mereka yang berbeda keyakinan, atau penolakan terhadap proses demokratis yang inklusif.
Memperkuat dan Menyebarkan Ideologi Radikal
Ketika seseorang merasa tidak puas dengan situasi politik yang ada, mereka akan bekerjasama untuk melakukan sebuah perubahan melalui jalur politik.
Beberapa dari mereka lebih memilih untuk menggunakan islam sebagai basis untuk menyuarakan ketidakpuasan dan mencapai tujuan politik.
Dalam beberapa kasus, kelompok-kelompok ekstrem akan memanfaatkan situasi ini untuk memperkuat dan menyebarluaskan ideologi mereka yang radikal.
Hal ini dapat membahayakan keamanan nasional, menciptakan ketegangan sosial, dan memicu tindakan kekerasan.
Kelompok radikal akan menggunakan propaganda politik untuk memperluas basis pendukung dan mempengaruhi opini publik, salah satunya lewat media sosial.
Mereka mencoba menggambarkan bahwa agama islam merupakan solusi atas masalah sosial dan politik yang ada.
Mengklaim bahwa hanya dengan menganut ideloginya, masalah-masalah yang ada dapat terselesaikan.
Dalam konteks ini, hasil penelitian disertasi Haedar Nashir, Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia (2007), menyebutkan ada beberapa kelompok yang selalu berusaha melakukan perubahan secara radikal dengan cara menginstrumentalisasi keyakinannya.
Pertama, kelompok revivalis yang tampil dengan ciri legal-formal yang menuntut perubahan sistem hukum yang sesuai tata aturan dan tuntunan hukum agama.
Kedua, kelompok revivalis yang tampil dengan ciri doktriner dengan cara memahami dan mempraktikkan agama serba mutlak dan kaku.
Ketiga, kelompok revivalis yang tampil dengan ciri militan dan ditunjukkan melalui sikap keagamaan bersemangat tinggi hingga berhaluan keras.
Bahkan, kelompok ini tak segan melakukan penolakan frontal terhadap Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dan bersikukuh ingin menjadikan syariah sebagai penggantinya.
Kelompok tersebut menggunakan beberapa persepsi dan alasan, seperti ketidakadilan yang dialami rakyat, korupsi, krisis ekonomi, politik, dan kesenjangan antara orang kaya dan miskin.
Menurut mereka, ini terjadi karena sistem negara Indonesia yang terlalu berkiblat kepada demokrasi dan menggunakan Pancasila sebagai dasar negara.
Untuk itu, kelompok ini mengajukan syariah sebagai satu-satunya pandangan dunia (world view) yang harus dijadikan sebagai landasan konstitusi maupun dasar negaranya.
Mereka melibatkan berbagai aktor seperti kalangan politisi, agamawan, pengusaha, tokoh masyarakat, dan anak-anak muda sekalipun.
Kemudian memanfaatkan sentimen SARA untuk mendegradasikan lawan politiknya dengan framing dan label negatif serta menyemburkan melalui para buzzer dengan narasi yang provokatif dan ujaran kebencian.
Padahal jika merujuk pada ajaran islam, sesungguhnya sudah jelas mengatakan keharusan berbuat adil termasuk kepada kelompok yang tidak disukainya.
Juga melarang mengolok-olok atau membenci kelompok lainnya. Begitu pula islam mengakui bahwa perbedaan dan keragaman adalah realitas yang harus diterima dan dirayakan.
Untuk itu, perlunya kesadaran semua pihak akan pentingnya menjaga persatuan bangsa, mulai dari tokoh politik, agamawan, masyarakat, dan anak-anak muda.
Salah satunya dengan saling meningkatkan toleransi beragama dan menjalin kerukunan dengan pemeluk lain.
Melalui ruang perjumpaan, dengan berdiskusi atau mengadakan kegiatan bersama antar simpul yang sudah aktif dalam kerja-kerja keberagama, masyarakat, pimpinan daerah, bahkan menjalin komunikasi dengan kelompok-kelompok yang cenderung konservatif.
Harapannya dapat memperkaya pengalaman keberagaman setiap kelompok atau individu lewat penghayatan langsung.
Dengan itu, dapat menumbuhkan kerukunan dan perdamaian yang dapat menjadi pagar atas politik identitas yang mengancam tumbuhnya radikalisme agama. []