Perempuan Menjadi Pemimpin, Kenapa Tidak?
HIDAYATUNA.COM – Budaya patriarki masih mengendap dalam diri sebagian masyarakat Indonesia. Literasi-literasi perempuan menjadi pemimpin kerap dipatahkan dengan dalil-dalil tak berdasar.
Perempuan merupakan makhluk Allah SWT dengan berbagai macam kelebihan yang tidak bisa didapatkan oleh laki-laki. Perempuan adalah manusia, sama seperti lelaki. Kenapa tidak perempuan menjadi pemimpin?
Perempuan diberi kesempatan untuk merasakan menstruasi di setiap bulannya. Merasakan bahagianya mengandung seorang makhluk di dalam rahim selama sembilan bulan sepuluh hari. Setelah itu perempuan akan mengalami masanya untuk melahirkan dan menyusui.
Melalui serangkaian proses biologis yang dialami oleh perempuan tersebut. Kemudian muncul pandangan bahwa proses itu adalah keterbatasan seorang perempuan.
Keterbatasan dalam hal apa? Menurut penganut patriarki, perempuan tidak bisa memiliki jabatan-jabatan yang strategis di dalam sektor publik. Inilah yang menggiring perempuan dalam posisi yang termarginalkan. Sementara laki-laki dipandang lebih produktif, lebih potensial, dan lebih kuat untuk menempati sektor publik.
Tidak bisa dipungkiri bahwa hingga saat ini tradisi patriarki masih terasa kental. Tidak terkecuali di negeri ini. Perempuan yang sukses dan berambisi lebih dominan mendapatkan pandangan negatif.
Sedangkan laki-laki sukses dominan mendapatkan pandangan positif. Pada kenyataannya keterlibatan perempuan dalam sektor publik masih dianggap sebelah mata.
Di era modern, akses perempuan untuk mendapatkan informasi terbuka sangat luas. Perempuan bisa menuntut ilmu setinggi-tingginya dan bebas mengejar cita-cita. Sudah banyak pula keterwakilan perempuan di dalam organisasi serta terjun di kancah perpolitikan dengan posisi yang tidak main-main.
Hal seperti ini seharunya tidak perlu menimbulkan rasa aneh yang berlebihan. Di dalam sejarah Islam pun keterlibatan perempuan cukup jelas.
Siti Khadiijah merupakan pendamping yang juga sekaligus penasihat utama Nabi Muhammad SAW ketika tengah berjuang dalam menyebarkan agama Islam.
Disamping itu, Siti Khadijah juga merupakan pengusaha yang sukses dan menjadi donatur terbesar di sepanjang sejarah kenabian Muhammad SAW.
Lalu Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq yang merupakan istri ketiga Nabi SAW. Aisyah menjadi seorang pemimpin perempuan di dalam perang Jamal atau perang unta di Kota Basra, Irak.
Kemudian Hafshah binti Umar yang telah dipercayakan oleh Nabi SAW untuk menjaga mushaf pertama Al-Quran. Perempuan-perempuan ini menjadi bukti nyata bahwa kepemimpinan perempuan patut untuk diperhitungkan.
Meskipun di abad 21 ini akses perempuan sudah semakin luas, namun kepemimpinan perempuan masih memunculkan pro dan kontra. Tetapi hal tersebut rupanya tidak menjadi penghalang bagi para perempuan untuk tetap turut serta dalam dunia perpolitikan.
Hal ini sudah dibuktikan oleh Benazir Bhutto sebagai mantan Perdana Menteri Pakistan, Sheikh Hasina Wajed sebagai mantan Perdana Menteri Bangladesh, dan mantan Presiden Republik Indonesia yang ke-5 Megawati Soekarnoputri.
Perempuan sangat membutuhkan lingkungan yang ramah gender sehingga posisi perempuan tidak hanya ditentukan oleh jenis kelamin semata. Tetapi perempuan juga memiliki potensi, tekat yang kuat, keberanian, dan rasa percaya diri bahwa dirinya memiliki peluang untuk berpartisipasi dan berkiprah di ranah publik.
Meskipun perempuan juga menanggung beban biologis yang berat, namun dirinya juga harus diberikan kesempatan yang sama untuk bisa tampil dalam panggung perpolitikan.
Pandangan perempuan selalu mengutamakan perasaan dibanding logika inilah yang jusru akan mendukung kesejahteraan bagi keluarga, serta melindungi hak-hak anak dan perempuan.
Menyadari bahwa keluarga merupakan pondasi awal untuk membangun karakter bangsa. Sedangkan perempuan nantinya akan melahirkan para generasi penerus yang sejak dini harus dipenuhi hak-haknya.
Oleh karena itu, ruang gerak perempuan yang selama ini dibatasi, sedikit demi sedikit berusaha untuk terus dilonggarkan. Hal ini tentunya tidak terlepas dari usaha perempuan itu sendiri. Sekaligus menjadi dukungan dari perempuan lainnya yang sama-sama memiliki impian yang tinggi. Impian tersebut haruslah diperjuangkan. (Hidayatuna/Wid)