Perbedaan antara Kalam dan Lafadz

 Perbedaan antara Kalam dan Lafadz

Perbedaan antara Kalam dan Lafadz

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Banyak yang rancu membedakan antara istilah “kalam” dan “lafadz” yang berujung pada kerancuan pembahasan soal kalamullah.

Secara ringkas perbedaanya begini:

Kalam (ucapan/pembicaraan/perkataan) selalu dinisbatkan pada mutakallim yang asli, tidak dapat dinisbatkan pada penukil atau media yang menyebarkan kalam. Contoh:

– Tulisan saya ini adalah kalam saya (AWA), tak peduli anda membacanya di mana atau mendengarnya dari siapa, selamanya ini adalah kalam saya, bukan kalam orang lain.

– Ketika Allah berfirman: “Qul Huwallahu Ahad“, maka firman itu adalah kalamnya Allah, tak peduli anda mendengar itu dari manusia, membacanya di kertas apa atau di gadget apa, atau memikirkannya di kepala anda, firman itu tetaplah kalamullah, bukan kalam pihak lain.

Sedangkan istilah “lafadz” secara bahasa adalah sesuatu yang dimuntahkan atau dikeluarkan (lihat: Ibnu Furak, Mujarrad).

Sebab itu lafadz lumrahnya dinisbatkan pada orang atau media yang mengeluarkan atau memuat lafadz itu secara langsung. Contoh:

– Ketika anda berbicara dengan seseorang di telepon, maka yang anda dengar adalah lafadz yang keluar dari speaker telepon, bukan lafadz dari orang yang anda bicara yang letakkan berjauhan itu.

Sebab itu, tatkala speakernya mati maka lafadznya juga hilang. Akan tetapi dari segi kalam, maka yang anda dengar adalah kalam orang yang bicara pada anda sebab dia yang berkata.

– Ketika anda mendengar seseorang membaca: “Qul Huwallahu Ahad“, maka yang anda dengar adalah lafadz berupa suara yang keluar dari mulut orang itu, tapi dari sisi lain itu juga kalamullah.

Sebab itu, Imam ar-Razi berkata bahwa yang anda dengar dari pembaca al-Qur’an ada dua, yaitu: Pertama adalah suara pembacanya (lafadznya) dan kedua adalah kalamullah.

Ketika orang itu misalnya salah membaca sehingga menyebut “Qulu Huwallah”, maka yang salah di sini adalah pelafadzannya, bukan kalamullah-nya.

Demikian juga ketika al-Qur’annya dibakar, yang dibakar hanya lafadz yang tertulis di media kertas mushaf itu, bukan kalamullah-nya.

Namun, kadang “lafadz” ini juga diposisikan sama dengan kalam dalam ungkapan sehari-sehari sehingga yang disebut adalah istilah “kalam”, tapi yang dimaksud sebenarnya adalah “lafadz”, misalnya:

– Ketika obrolan anda di telepon terkendala sinyal, maka anda berkata: “Ucapanmu/bicaramu/kalammu putus-putus”, padahal sebenarnya bukan ucapan/bicara/kalam yang putus-putus tapi lafadz berupa suara yang keluar dari speaker teleponnya.

– Firman Allah “Yasma’una kalamallah tsumma yuharrifunahu” (Q.S. Al-Baqarah ayat 75).

Meskipun ayat itu mengatakan bahwa kalamullah di-tahrif (didistorsi), yang ditahrif sebenarnya adalah lafadz kalamullah yang mereka sampaikan, bukan kalamullah itu sendiri.

Tahrif ini misalnya ketika Allah berfirman A lalu diganti oleh para Rahib menjadi B.

Yang diganti tentu saja hanya lafadznya saja sebab kalamullah yang asli dinisbatkan ke Allah tidak mungkin mengalami pergantian.

Sebab itu, hasil tahrif tersebut tidak lagi disebut sebagai kalamullah. []

Abdul Wahab Ahmad

Ketua Prodi Hukum Pidana Islam UIN KHAS Penulis Buku dan Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Pengurus Wilayah LBM Jawa Timur.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *