Mewaspadai dan Menangkal Ancaman Ekstremisme di Dunia Pendidikan Indonesia
HIDAYATUNA.COM – Malam itu, di ruang kopi, tiba-tiba ada teman yang menyeletuk bertanya kepadaku soal Ekstremisme. Ia menanyakan perihal ekstremisme. Apakah ekstrimisme itu dikehendaki oleh manusia? Apakah ekstrimisme bisa menyebar lewat dunia Pendidikan?
Sembari sambil saya mengambil secangkir kopi dan menyeruputnya, saya mencoba menjawabnya. “Tentuk tidak dan tentu sangat bisa sekali menyebar di dunia pendidikan.” Selepas itu ia tidak merespon lagi.
Berangkat dari ektremisme yang kini sangat masif penyebaranya, tidak terkecuali menyasar kepada kaum milenial yakni mahasiwa atau peserta didik. Ektremisme merupakan ideologi dengan sistem berfikir untuk mencapai sistem politik, sosial maupun budaya yang melampaui batas.
Konsekuensinya, lahir sebuah bahaya serta kerusakan bagi individu, kelompok maupun lingkungan secara luas termasuk di lingkungan Pendidikan. Oleh sebab itu, ekstremisme merupakan sesuatu yang tidak dikehendaki oleh manusia.
Kita bisa melihat konflik-konflik komunal di Indonesia sendiri misalnya seperti yang ditulis oleh Fajar Riza ul Haq (2017). Dalam hubungan antar komunitas agama dalam satu negara sering dirusak oleh ulah kelompok-kelompok ekstrem dari masing-masing pihak.
Kalaupun terjadi friksi, bahkan benturan antar komunitas dengan latar belakang antar agama yang berbeda. Biasanya hal tersebut dipicu oleh pandangan ektrem satu kelompok yang mengancam eksistensi kelompok lain.
Pada kasus-kasus yang ada, kelompok besar itu diseret paksa oleh sindrom mayoritas pada jebakan politisasi agama hingga menimbulkan diskriminasi. Hal tersebut dominan terjadi dengan kelompok lain yang lemah secara politik maupun ekonomi,
Tak heran bila benturan yang amat sengit antarpaham ektremisme yang dijustifikasi keyakinan kerap terjadi. Bukan konflik antaragama atau kelompok itu sendiri. Isu konflik sektarian ini juga bereskalasi begitu masif melintas batas-batas termasuk menyasar kepada lingkungan Pendidikan.
Apakah Ekstremisme bisa menyebar melalui Dunia Pendidikan ?
Tentu jawabnya, sangat bisa dan mudah ekstremisme menyebar di dunia pendidikan. Misalnya melalui aktivitas pembelajaran di kelas, melalui buku yang di duga mengandung konten intoleran. Bisa juga terpengaruh intervensi alumni, lemahnya kebijakan sekolah atau kampus dalam penjagaan masuknya pengaruh radikalisme.
Fajar Riza ul Haq menjelaskan salah satu temuan penelitian MAARIF Institute pada 2011 mengenai pemetaan gejala radikalisme di 50 SMAN di beberapa kota. Penelitian itu memperlihatkan guru pengampu Pendidikan Agama Islam berkontribusi terhadap tumbuhnya eksklusivime orientasi keberagaman para siswa. Penelitian Balitkom PGI di lingkungan sekolah-sekolah Kristen mengungkap bahwa peran keluarga sebagai faktor utama yang memengaruhi pola pikir anak. (Riza Ul Haq, 2017, hlm 156)
Sebab lain, bahwa kaum milenial yang akhirnya bergabung dengan kelompok kekerasan bisa disebabkan karena adanya personal faktor. Misalnya trauma, kesepian, galau, hingga pada keadaan frustasi.
Lalu pemicunya, lahirnya masalah lingkungan maupun keluarga, serta tergiurnya dengan bujuk rayu. Seperti akan diberi imbalan, prestise dan yang lebih konyol adalah diberi janji surga. Hal ini biasanya menyasar pada kaum milenial yang kaku sekaligus dangkal dalam pemikiran.
Ini juga berarti bahwa kerentanan masyarakat terhadap ekstremisme bisa dipengaruhi status sosial. Di antaranya status ekonomi, perbedaan budaya, rasa kesukuan, dan tingkat keyakinan dalam beragama, serta faktor psikologisnya.
Cara Menangkal Ekstremisme di Dunia Pendidikan
Melansir dari Republika.co.id (Sabtu, 2/6/18), Agus Yulianto menjelaskan bahwa guru sebagai ujung tombak pendidikan nasional. Ia memiliki peran strategis dalam rangka “mencerdaskan kehidupan bangsa” sekaligus menangkal ekstremisme.
Sebagaimana terkandung dalam UUD 45. Artinya siapa pun gurunya, apa pun mata pelajaranya dan jenjang sekolah tempat mengajar, semestinya paham. Mereka adalah insan pedagogis yang sedang melakukan aktivitas kebangsaan, berlomba-lomba mencapai tujuan bernegara.
Tetapi faktanya terbalik. Satriwan Salim mengungkap lewat sebuah artikel berjudul Strategi Mencegah Radikalisme di Sekolah yang ditampilkan di Republika online. Ada oknum guru yang justru terang-terangan mengajarkan kepada siswa untuk bersikap ekstremisme dengan memusuhi negara ini dengan segala konsensus dan simbol-simbol kebangsaanya.
Seperti misalnya, mengatakan pancasila adalah thogut, UUD 1945 adalah buatan manusia sehingga tak wajib dipatuhi. Hormat bendera merah putih adalah haram atau bid’ah. Bahkan ada oknum guru yang terlibat aktif menjadi anggota kelompok yang lantang menyuarakan ekstremisme.
Oleh sebab itu, minimal ada dua cara untuk menangkal paham ekstremisme ini. Pertama, dengan konteks dakwah pendidikan wasathiyah. Di antaranya seperti cara berfikir, bersikap, bertindak yang mengupayakan keseimbang. Dilengkapi dengan sikap toleransi, mengambil jalan tengah, tidak egaliter, tidak membeda-bedakan, diskriminatif dinamis dan pendidikan perdamaian.
Kedua, seorang pengajar harus menginternalisasikan perspektif kewarganegaraan dalam proses penyususan instrumen pembelajarannya. Pendekatan kritik sejarah di sini memiliki peran penting untuk menangkan ekstremisme di dunia pendidikan.
Kiranya perlu pula dilakukan pengawasan kepada kegiatan ekstra atau kegiatan yang berorientasi pada keagamaan. Misalnya rohis atau sejenisnya yang sekaligus menjadi infiltrasi ideologi yang nantinya tidak sejalan dengan Pancasila. Tentu tidak salah mencegah penyebaran paham ekstremisme sejak dini
Terakhir, seorang pengajar harus meningkatkan pemahaman dan pembinaan yang bersifat lintas kelompok maupun golongan. Hal ini bisa dilakukan dengan menggandeng pelbagai komunitas masyarakat berpaham kebangsaan. Ini semua demi habitus pencerahan generasi muda agar berwatak welas asih untuk menjaga kondusifitas lingkungan Pendidikan Indonesia. Sehingga terhindar dari paham ekstremisme.
Tabik.