Mengenang KH. Azizi Hasbullah
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Perintah menyebut kebaikan orang yang telah wafat dari hadis yang sudah masyhur memang dihukumi daif. Namun Al-Hafidz Al-Iraqi memberi penilaian jayid pada hadis berikut:
ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﻗﺎﻟﺖ: ﺫﻛﺮ ﻋﻨﺪ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻫﺎﻟﻚ ﺑﺴﻮء ﻓﻘﺎﻝ: «ﻻ ﺗﺬﻛﺮﻭا ﻫﻠﻜﺎﻛﻢ ﺇﻻ ﺑﺨﻴﺮ»
Artinya:
“Aisyah berkata bahwa ada orang yang meninggal lalu disebut keburukannya di depan Nabi shalallahu alaihi wasallam. Nabi bersabda: “Janganlah menyebut orang yang wafat di antara kalian kecuali kebaikan.” (HR. An-Nasai)
Di Facebook saya sejak kemarin bertebaran kabar wafatnya Kiai Azizi, baik sekedar doa atau sambil diimbuhi tulisan dan kisah bersama beliau, terkhusus para gus dan ustaz yang pernah belajar kepada beliau saat di Lirboyo.
Semua menyaksikan beliau adalah ahli ilmu dan ibadah.
1. Keilmuannya
Saya bersyukur sekali pernah ditunjuk menjadi notulen di LBM PWNU selama 10 tahun, 2008-2018.
Sehingga saya tahu dapur redaksi penyortiran masalah hukum, proses debatnya dan finalisasi ketetapannya.
Para kiai, gus atau ustaz biasanya aktif di salah satu penyaringan pertanyaan, atau saat pembahasan atau saat penyusunan redaksi.
Beda sama Kiai Azizi. Di semua proses tersebut beliau selalu bersuara dan menyampaikan argumen.
Saat hendak akan dilangsungkan Bahtsul Masail ada beberapa PCNU yang mengajukan pertanyaan, oleh Tim LBM dipilih mana yang layak dibahas dan tidak.
Saat pertanyaan dibaca itulah Kiai Azizi langsung menjawab. Ini tidak sekali dua kali, tapi sering.
Hingga Gus Atho’ Lirboyo dawuh,
“Sudah Azizi, gak usah dijawab sekarang, malah gak jadi Bahtsul Masail nanti”, disertai gelak tawa anggota LBM PWNU Jatim.
Ketika di arena Bahtsul Masail Kiai Azizi sering jadi moderator sendiri. Di momen seperti ini beliau seperti menjadi pemain tunggal.
Pernah beliau bercanda: “Kalau gini ceritanya saya sendiri yang jawab, saya sendiri yang merumuskan dan saya sendiri yang mentashih. Jadi Bahtsul Masail sendirian.”
Luasnya keilmuan dan bacaan kitab-kitab klasik dari Kiai Azizi akan terlihat saat beliau memberi tamsil, contoh-contoh kasus.
Saya beberapa kali menyaksikan itu dan saya bilang dalam hati,
“Ya Allah, ini seperti memberi tamsil dalam kaedah dan pengecualiannya yang ditulis oleh As-Suyuthi dalam Asybah wa Nadzair.”
Saya tidak mampu merekam kealiman beliau selama mengikuti Bahtsul Masail bersama Kiai Azizi.
2. Ibadahnya
Karena para kiai dari berbagai daerah tentu saat melakukan Bahtsul Masail di daerah lain berstatus Musafir.
Dalam kondisi seperti ini saya tidak melakukan salat sunah rawatib atau lainnya. Setahu saya berdasarkan riwayat berikut:
ﺳﺎﻓﺮ اﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ، ﻓﻘﺎﻝ: ﺻﺤﺒﺖ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻠﻢ ﺃﺭﻩ ﻳﺴﺒﺢ ﻓﻲ اﻟﺴﻔﺮ
Artinya:
“Ibnu Umar melakukan perjalanan dan berkata: “Saya menemani Nabi shalallahu alaihi wasallam maka saya tidak melihat beliau salat sunah selama perjalanan.” (HR. Al-Bukhari)
Tapi saat saya berjamaah dengan Kiai Azizi ternyata beliau melakukan salat sunah, apakah Qabliyah atau Ba’diyah.
Kiai Azizi pernah mengalami kecelakaan sebelumnya sehingga mengalami patah tulang di kaki dan ketika Tahiyat akhir terlihat berat bagi beliau tapi masih tetap melakukan salat sunah.
Saya pun tersadar dan berbisik dalam hati,
“Ya Allah, Kiai Azizi yang dalam kondisi masyaqah masih menjalankan ibadah sunah, sementara saya yang sehat dan normal kok tidak menjalankan salat sunah?”
Sejak saat itu saya berusaha menjalankan ibadah sunah. Wa Akhiran…
Keterkejutan saya akan wafatnya Kiai Azizi karena beliau relatif muda dan keilmuan beliau belum tertulis secara lengkap.
Sebab semua ilmu yang beliau miliki akan terkubur sebagaimana sabda Nabi shalallahu alaihi wasallam:
ﺇﻥ اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻻ ﻳﻘﺒﺾ اﻟﻌﻠﻢ اﻧﺘﺰاﻋﺎ ﻳﻨﺘﺰﻋﻪ ﻣﻦ اﻟﻌﺒﺎﺩ ﻭﻟﻜﻦ ﻳﻘﺒﺾ اﻟﻌﻠﻢ ﺑﻘﺒﺾ اﻟﻌﻠﻤﺎء
Artinya:
“Sungguh Allah tidak mengambil ilmu dengan cara mencabutnya dari hamba-hambaNya. Tapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama.” (Muttafaq Alaih dari Abdullah bin Amr)
Semoga Pondok Lirboyo dan pesantren lainnya melahirkan kembali sosok ulama yang ahli ilmu dan ibadah seperti Kiai Azizi. Amin. []