Mengenal Kolonel Bakri Syahid, Penulis Kitab Al-Huda Tafsir Qur’an Basa Jawi
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Aktivitas penafsiran Al-Qur’an telah ada sejak zaman Nabi Muhammad saw. hingga masa kini dan akan selalu ada.
Kendati Al-Qur’an merupakan kitab suci dan menjadi huda li an-Nas, namun Al-Qur’an tidak serta merta dapat memberikan petunjuk secara proaktif layaknya manusia.
Ketika Islam datang ke suatu tempat, ia pasti akan mengalami kontak dengan nilai-nilai dan budaya masyarakat setempat.
Dalam situasi kontak tersebut, sering kali Islam juga turut mengadopsi unsur-unsur lokal dan memodifikasinya agar tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam sendiri.
Begitu juga di Pulau Jawa di mana dalam aktivitas penafsiran yang terjadi juga turut mempertimbangkan nilai dan budaya lokal.
Banyaknya literatur tafsir maupun terjemah yang berbahasa lokal bahkan tak jarang yang memuat unsur vernakularisasi di dalamnya merupakan bukti atas hal ini.
Di Pulau Jawa sendiri, aktivitas penafsiran al-Qur’an telah berlangsung sejak abad XVIII M, dibuktikan dengan ditemukannya naskah berkode Lor 2097-R.15.710.
Tafsir Al-Huda merupakan salah satu wujud dari kontak yang terjadi antara nilai-nilai universal Islam (Al-Qur’an) dengan budaya lokal tersebut, khususnya Budaya Jawa.
Latar belakang penafsir sendiri yakni Kolonel Bakri Syahid juga turut menjadikan nilai keunikan tersendiri bagi keberadaan Tafsir Al-Huda.
Bakri Syahid memiliki nama asli Bakri. Nama Syahid diambil dari ayahnya yaitu Muhammad Syahid.
Ayahnya berasal dari Kotagede, Yogyakarta. Adapun ibunya bernama Dzakariyah dari kampung Suronatan Yogyakarta.
Bakri dilahirkan di kampung Suronatan Kecamatan Nganmpilan Kota Yogyakarta pada Hari Senin Wage, 16 Desember 1918 M.
Ia adalah anak kedua dari tujuh bersaudara. Keluarganya dikenal sebagai keluarga yang agamis. ayah dan ibunya adalah tokoh agama di kampungnya dan aktif dalam kegiatan kemuhammadiyahan.
Sekilas tentang Latar Belakang Pendidikan Bakri Syahid
Pendidikan Bakri dimulai sejak masih kanak-kanak di bawah bimbingan langsung kedua orang tuanya dengan penekanan pada nilai-nilai agama.
Penididikan formal Bakri didapat di Kweekschool Islam Muhammadiyah (KIM) dan lulus pada 1935.
Setelah itu ia mendapat tugas dari Muhammadiyah untuk berdakwah sebagai guru HIS Muhammadiyah di Surabaya kemudian ke Sekayu, Palembang, sampai tahun 1942.
Sepulang dari Sekayu Bakri didaulat menjadi kepala Pusroh TNI AD di Jakarta.
Pada tahun 1957 ia mendapat tugas belajar di IAIN Sunan Kalijaga dan lulus pada tahun 1963. Pada tahun 1964, Bakri mendapatkan tugas dari Jenderal A. Yani untuk melanjutkan studi militer ke Fort Hamiltoun, New York, Amerika Serikat.
Dari sekilas pendidikan yang di laluinya tampak bahwa Bakri adalah sosok yang kaya akan pengalaman pendidikan.
Bakri menikah dengan Siti Isnainiyah, seorang gadis kelahiran tahun 1925. Dari pernikahan tersebut mereka dikaruniai putera pertamanya Bagus Arafah.
Namun tak lama keitka memasuki usia sembilan tahun, Bagus Arafah meninggal karena sakit. Bakri tercatat juga menikah dua kali, istri kedua yaitu Sunarti alumni Madrasah Muallimin.
Dari pernikahan keduannya ia dikaruniai dua anak yaitu Siti Arifah Manishati dan Bagus Hadi Kusuma.
Bakri dikenal sebagai tokoh multitalenta terbukti dari beberapa jabatan yang pernah diemban olehnya mulai dari bidang kemiliteran, jurnalistik sampai bidang pendidikan.
Selain itu, ia juga merupakan seorang aktivis. Ia pernah menjabat sebagai komandan kompi, wartawan perang nomor 6 MBT, Kepala Staf Batalyon STM Yogyakarta, Rektor IAIN Sunan Kalijaga (1972-1976).
Ia juga pernah menjadi anggota MPR dari Fraksi ABRI dan masih banyak jabatan yang pernah diemban olehnya.
Bakri Syahid meninggal dunia pada usia yang ke tujuh pulun enam tahun tepatnya pada tahun 1994 dengan meninggalkan dua orang istri dan dua orang anak.
Ia meninggal pada waktu dini hari sewaktu ia sedang melakukan shalat tahajud dirumah istri pertamanya dan diduga meninggal karena serangan jantung. []